Jumat, 17 April 2020

[Book Review] : Di Bawah Lindungan Ka’bah

Data Buku
Judul      :   Di Bawah Lindungan Ka’bah
Penulis   :   Hamka
Penerbit :    Gema Insani
Tebal      :   91 halaman
Tahun    :   2017.

Sinopsis
Hamid sudah ditinggal bapaknya saat masih kecil. Semenjak itu hidupnya bersama ibunya dalam kemelaratan. Bahkan dia tak bersekolah. Hanya di rumah membantu ibunya. Sesekali dia menjual pisang goreng untuk membantu perekonomian keluarga.

Ia meninggalkan saya dan ibu di dalam keadaan yang sangat melarat. Rumah tempat kami tinggal hanya sebuah rumah kecil yang telah tua, yang lebih pantas kalau disebut gubuk atau dangau. [Hal : 12]

Di waktu teman-teman bersukaria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah di dekat ibu, mengerjakan apa yang dapat saya tolong. [Hal : 14]

Tiap-tiap pagi, saya melewati depan rumah itu menjunjung jualan berisi goring pisang. Mata saya senantiasa memandang ke jendela-jendelanya yang berlansir kain sutra kuning, hendak melihat keindahan perabot rumah. [Hal : 17]

Beruntung dia memiliki tetangga yang baik. Namanya Haji Ja’far. Beliau pula yang menyekolahkan Hamid hingga berpendidikan tinggi. Istri Haji Ja’far, Mak Asiah juga sudah menganggap Hamid seperti anaknya sendiri. Pun demikian anak semata wayang mereka, Zainab. Perempuan itu telah menganggap Hamid sebagai abangnya.

Besok paginya, saya tidak menjunjung jualan tempat kue lagi, tetapi telah pergi ke sekolah mengepit buku tulis. Agaknya dua macam faedah yang akan diambil Engku Haji Ja’far menyerahkan saya. Pertama untuk menolong saya, kedua untuk menjadi teman anaknya. [Hal : 21]

Segala cita-cita yang telah saya reka selama belajar dan yang telah saya susun di jalan Padang Panjang dengan Padang, semuanya dapat saya jalankan. Ibu saya titik air matanya karena kegirangan. Engku Haji Ja’far tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memuji saya sebagai anak yang berbudi. [Hal : 29]

Waktu berlalu. Banyak peristiwa terjadi. Kematian Haji Ja’far dan ibu Hamid membuat suasana kedukaan menyelimuti Mak Asiah, Zainab, dan juga Hamid.

“Ah, luka yang lama belum sembuh, sekarang datang pula luka baru. Belum lama saya menjagai suami saya sakit, sekarang saya mesti melihat pula sahabat saya menanggung sakit.” [Hal : 33]

Hamid dan Zainab kini menjelma bujang dan gadis. Mak Asiah berencana menikahkan Zainab dengan sepupunya. Dia meminta Hamid membujuk Zaenab. Namun Zainab menolak. Saat pertemuan itulah, baik Hamid maupun Zainab merasakan ada perasaan yang berbeda di antara mereka.

Di luar dari kekang kerendahan saya dan kemuliaannya, saya merasai bahwa Zainab adalah diri saya. Saya merasa ingat kepadanya adalah kemestian hidup saya, rindu kepadanya membukakan pintu angan-angan saya menghadapi zaman yang akan datang. [Hal : 30]

“Hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, jangan ditimbul-timbulkan juga. Engkau tentu memikirkan juga bahwa emas tak setara dengan loyang, sutra tak sebangsa dengan benang.” [Hal : 36]

“Memang Anak, … cinta itu “adil” sifatnya, Alloh telah menakdirkan dia dalam keadilan, tidak memperbeda-bedakan di antara raja-raja dengan orang minta-minta, tiada menyisihkan orang kaya dengan orang miskin, orang hina dengan orang mulia, bahkan kadang-kadang tiada juga berbeda baginya antara bangsa dengan bangsa. Tetapi aturan pergaulan hidup, tidak membiarkan yang demikian itu berlaku.” [Hal : 37]

Selama ini saya masih ragu, adakah Zainab membalas cinta saya. Pertemuan saya dengan dia itu memberikan perharapan sedikit pada saya, tetapi sebelum perharapan itu dapat saya yakini, tibalah penyerahan ibunya yang berat itu. [Hal : 51]


Baca juga >>> The Undomestic Goddess

Review
Cinta datang tanpa mengenal kasta. Pernah nggak sih kamu menggangap cintamu bagai pungguk merindukan bulan?  ️.

Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah salah satu karya fiksi dari Prof. Hamka. Ini adalah kisah cinta beda kasta yang melibatkan Hamid yang miskin dan Zainab anak orang kaya. Mereka berteman sejak kecil dan tumbuh bersama. Kebaikan orang tua Zainab membuat Hamid mampu mengenyam pendidikan tinggi.

Ibarat kata, keluarga Hamid banyak berutang budi kepada keluarga Zainab. Inilah yang membuat Hamid begitu menaruh hormat kepada Haji Ja’far dan Mak Asiah. Mereka sudah seperti orang tua sendiri. Pun demikian dengan Zainab yang telah dianggapnya seperti adik sendiri.

Hamid dan Zainab tetaplah manusia biasa. Meski telah menjadi “kakak –adik” semenjak kecil, benih cinta tetap tumbuh di antara mereka. Namun tetap saja, Hamid dan Zainab tak punya hubungan darah. Mereka tetap boleh menikah. Sayangnya, tak ada kejujuran perasaan antara satu dengan yang lain. Penghormatan mereka terhadap keluarga, agama, dan budaya lebih tinggi.

Jujur, mulai dari sini tuh aku gemes banget. Mereka tak jujur satu sama lain. Menurutku, kisah cinta mereka lebih tragis dari Romeo dan Juliet. #sad. Memang, sih. Hamid punya banyak pertimbangan untuk memendam perasaannya. Salah satunya adalah perbedaan status sosial antara keluarganya dengan keluarga Zainab. Belum lagi dia merasa berhutang budi kepada keluarga Zainab yang telah banyak menolong keluarganya. Ingat! Hutang budi dibawa mati! #duh.

Sebenarnya, tak ada salahnya sih mengungkapkan perasaan kita ke orang yang kita suka. Barang kali saja orang yang kita suka punya perasaan yang sama. Kalau tentang haling rintang, bukankah masalah itu akan selalu ada dalam kehidupan. Namun masalah itu bisa dicari jalan keluarnya. Duh, berasa curhat. #eh.😅

Setting kisah ini mengambil tempat di beberapa kota di Sumatra dan juga Timur Tengah, lebih tepatnya kota Mekkah. Di sanalah Hamid pada akhirnya menghabiskan hari-hari terakhirnya untuk ikut melaksanakan ibadah haji.

Kisah ini ditulis dengan POV pertama tunggal. Meski menggunakan subjek “saya” tapi ada dua sudut pandang. Di awal kisah, “saya” adalah teman Hamid yang mengisahkan tentang Hamid. Namun di beberapa bab setelahnya, “saya” adalah Hamid yang mengisahkan dirinya sendiri.

Bahasa yang digunakan dalam kisahnya sangat kental dengan dialek melayu. Bagiku pribadi, membacanya harus sedikit dengan mengerutkan dahi. Tak jarang aku harus menebak-nebak maksud dari kalimat yang tertulis. Namun untungnya tidak begitu susah memahaminya.

Tokoh yang kusuka di kisah ini adalah Zainab. Aku membayangkan betapa Zainab ini adalah sosok perempuan yang santun, penurut, dan mampu menjaga kehormatannya. Dia sangat patuh kepada kedua orang tuanya. Hanya saja untuk urusan perasaan, dia memberanikan diri untuk bersuara, menolak perjodohan dengan sepupunya. Hingga menutup mata, Zainab tetap menjaga cintanya untuk Hamid. #sad. 😢

Baca juga >>> This Guy is Mine


Skor
🌠4/5


~ Hana Aina ~





2 komentar:

  1. Aku baca buku ini waktu SMP, tahun 80 sekian....kisahnya sedih dan bikin aku nangis bombai. Belum aku baca lagi sih...

    BalasHapus

Terimakasih telah berbagi komentar ^^