Sabtu, 01 Agustus 2020

[Cerpen] - My Lovely Rose


Mira meletakkan vas bunga krisan di atas rak kayu pendek di depan kios bunganya. Di sebelahnya, vas bunga sedap malam dan tulip yang sudah berderet rapi.


Suara rem sepeda motor berdecit. Seorang lelaki turun dari Honda RX King hitam, melepas helmnya, lalu berjalan ke arahnya.

“Punya bunga mawar?” tanya lelaki yang secara penampilan hampir sebaya dengannya itu.

“Ada di dalam,” jawab Mira. “Ada kuning, putih …” jelas Mira sambil berjalan ke dalam, disusul lelaki itu di belakangnya.

“Aku mau mawar merah.” Sahut lelaki itu.

“Berapa?” Mira beralih ke deretan rak mawar.

“Tiga tangkai.”

Mira mengambil mawar merah yang hampir merekah lalu menghitungnya. “Ada yang lain?”

“Tidak,” jawab lelaki itu singkat.

Mira membungkus mawar tersebut dengan kertas lalu mengikatnya. Lelaki itu dengan cepet menerimanya, membayar sesuai jumlah tagihan lalu kembali ke sepeda motornya.

Mira mengangkat kedua alisnya. “Aneh! Belinya sih mawar merah. Tapi kok sikapnya nggak ada hangat-hangatnya.” Guman Mira.

***

Lelaki itu selalu datang awal, bahkan sebelum Mira menata bunga koleksinya di depan kios. Ini hari ketiga puluh. Tak ada yang berubah dari lelaki berambut cokelat madu itu.

Lelaki itu selalu memesan 3 tangkai mawar merah setiap hari. Dia tak banyak bicara, juga tak pernah berlama-lama. Hanya mengambil yang diperlukannya, membayarnya, lalu pergi. Begitu setiap hari.

Terbesit rasa penasaran di hati Mira. Di balik sikap dinginnya, Mira menebak dia sosok yang romantis. Buktinya, dia membeli bunga mawar setiap hari. Lelaki itu tak perlu menunjukkan perhatiannya dengan kata-kata. Cukup dengan perbuatan. Duh! Beruntung sekali perempuan yang setiap hari dikiriminya bunga. Dan itu membuat iri Mira.

Terkadang Mira berangan, andai Jono -kekasih yang sudah dipacarinya selama 2 tahun ini- juga bersikap semanis itu padanya. Tidak harus mengiriminya bunga setiap hari. Cukup menanyakan sudah makan belum, bagaimana hari ini, atau semacamnya. Itu saja sudah membuat Mira bahagia.

***

Ponsel di saku celana Mira berdering. Tepat di deringan ke lima Mira mengangkatnya.

“Bisa kau kirim mawar merah untukku?”

Mira mengernyit. Dia seolah mengenali suara lelaki di ujung ponsel. Pantas saja lelaki itu tidak nampak pagi ini. “Oh, tentu! Tiga mawar merah akan segera kukirim.” Mira langsung menebak pesanan lelaki itu.

Mira sengaja menyantumkan nomor ponselnya di plang nama kiosnya. Bagi Mira, itu bagian dari pelayanan kepada pembeli agar mereka mudah jika perlu sesuatu yang lain. Tinggal telpon saja. Mira akan menyiapkan pesanan mereka. Kalau sudah siap, mereka bisa mengambilnya atau Mira yang akan mengantarnya.

“Bukan tiga, tapi empat!” Suara di ujung ponsel mengoreksi ucapan Mira.

Alis Mira terangkat. “Oh, baik. Empat mawar merah. Dikirim kemana?”

“Nanti aku share lock,” ucap lelaki itu.

Setelah menerima pembayaran transfer dari lelaki yang mengaku bernama Rio itu, Mira menyiapkan pesanannya. Empat tangkai mawar merah lengkap dengan kartu ucapan. Dia meminta Dara, asistennya, melayani pembeli yang baru datang, sementara dirinya mengantarkan pesanan Rio.

***



Matahari mulai terik saat Mira sampai di tempat sesuai share lock yang diberikan Rio. Mira mengerutkan dahi lalu menekan nomor Rio.

“Rumahnya yang mana, ya?” tanya Mira.

“Lurus aja masuk kampung, berhenti di ujung gang. Cari pohon beringin yang paling besar.” Rio memberi instruksi.

Mira menuruti instruksi Rio hingga berhenti di ujung gang lalu mencari pohon beringin besar tak jauh darinya. Dia memarkirkan sepeda motornya lalu berjalan menuju ke pohon itu. Sangat tidak mungkin dia mengendari motornya hingga ke sana. Jalan menuju ke pohon besar itu berupa jalan setapak.

“Duh! Ini tempat nyempil banget. Aku yakin, tempat ini pasti nggak ditemukan di peta!” Gerutu Mira sambil terus menapaki jalan yang sebagian terdiri dari tanah merah dan belukar.

Mira menghentikan langkannya beberapa meter di dekat pohon besar. Matanya terbelalak. “Ini nggak salah, kan?”

Mira tidak menemukan satu rumah pun di sana, melainkan kuburan. Bulu kuduk Mira meremang. Napasnya tercekat, hingga sebuah sentuhan di bahunya mengagetkannya. “Neng, mau ngapain di tempat ini?”

Mira berbalik dan menemukan lelaki tua berukuran tubuh lebih pendek darinya, berdiri di depannya sambil memperlihatkan deretan giginya yang tak lagi komplit. Mira menyapukan pandangannya dari bawah ke atas, memastikan lelaki tua itu menapakkan kakinya di atas tanah.

“Itu kuburan, Mbah?”

“Lah, iya. Emang kelihatan kek empang, ya?”

Mira tak menghiraukan ucapan lelaki tua itu. “Kuburan siapa?”

“Rosemalina. Orang sini manggilnya Neng Rose. Dia anak orang kaya di kampung ini. Dulu, sebelum keluarganya pindah keluar kota.”

“Mati kenapa?” tanya Mira penasaran.

“Bunuh diri. Nggak mau dijodohin sama orang tuanya karena sudah punya pujaan hati. Dari pada dipaksa kawin, dia pilih bunuh diri.”

Mira manggut-manggut. Lelaki itu melanjutkan. “Pacar Neng Rose yang namanya Mas Rio itu masih berkabung sampai sekarang. Namanya juga ditinggal mati pujaan hati. Dia masih sering datang kemari dan ngasih mawar merah di atas makamnya.”

“Mbah tahu dari mana?”

“Saya penjaga kubur sini. Neng tahu makam ini dari mana?” Lelaki itu balik bertanya.

“Tadi Rio menelpon saya. Dia minta saya mengirimkan bunga ini kemari.”

“Ah, yang bener, Neng? Mas Rio sendiri yang nelpon?” Dahi lelaki itu berkerut. Mira hanya mengangguk. Lanjut lelaki itu. “Mas Rio sudah meninggal. Dia ditemukan gantung diri di kamarnya subuh tadi. Kan saya tetangganya Mas Rio.”

Mata Mira membulat. Dia bergegas mengambil ponsel dari saku celananya lalu menghubungi nomor yang digunakan Rio menelponnya. Mira mendengar suara di seberang ponsel. Bukan suara lelaki, melainkan perempuan. “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi …”

“Mbah …” Mira melihat sekitar. Lelaki tua penjaga makam sudah tak terlihat lagi, seolah lenyap disapu angin yang tiba-tiba berhembus kencang. Sekarang tinggallah dia sendiri. Tak jauh dari makam Rose, Mira melihat deretan makam yang lain.

Mira mengatur napasnya. Dia melihat empat tangkai mawar merah ditangan lalu mengambil kartu ucapan yang terikat di tangkainya. Perlahan Mira membuka lipatan kartu dan membaca sekali lagi kalimat yang tertulis di sana.

Happy 4th Anniversary, My Lovely Rose.
Semoga cinta kita abadi.
I love you forever.
~Rio Dirgantara~

Seketika Mira melempar bunga mawar dan kartu di tangannya. Dia segera berbalik, berlari sekencang mungkin. Dia tak mau lagi berada di tempat itu. Dia tak mau lagi terlibat urusan dengan lelaki bernama Rio itu.

Mira berusaha fokus agar segera keluar dari tempat itu, sampai-sampai dia lupa sepeda motornya, yang kini sudah bersebalahan dengan Honda RX King warna hitam.


The End






NB :

Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Memiliki Kehilangan – Letto) Sahabat Kabol Menulis #Day1




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^