Mira
meletakkan vas bunga krisan di atas rak kayu pendek di depan kios bunganya. Di
sebelahnya, vas bunga sedap malam dan tulip yang sudah berderet rapi.
Suara rem
sepeda motor berdecit. Seorang lelaki turun dari Honda RX King hitam, melepas
helmnya, lalu berjalan ke arahnya.
“Punya
bunga mawar?” tanya lelaki yang secara penampilan hampir sebaya dengannya itu.
“Ada di dalam,”
jawab Mira. “Ada kuning, putih …” jelas Mira sambil berjalan ke dalam, disusul
lelaki itu di belakangnya.
“Aku mau
mawar merah.” Sahut lelaki itu.
“Berapa?”
Mira beralih ke deretan rak mawar.
“Tiga
tangkai.”
Mira
mengambil mawar merah yang hampir merekah lalu menghitungnya. “Ada yang lain?”
“Tidak,” jawab
lelaki itu singkat.
Mira
membungkus mawar tersebut dengan kertas lalu mengikatnya. Lelaki itu dengan
cepet menerimanya, membayar sesuai jumlah tagihan lalu kembali ke sepeda
motornya.
Mira
mengangkat kedua alisnya. “Aneh! Belinya sih mawar merah. Tapi kok sikapnya
nggak ada hangat-hangatnya.” Guman Mira.
***
Lelaki itu
selalu datang awal, bahkan sebelum Mira menata bunga koleksinya di depan kios.
Ini hari ketiga puluh. Tak ada yang berubah dari lelaki berambut cokelat madu
itu.
Lelaki itu
selalu memesan 3 tangkai mawar merah setiap hari. Dia tak banyak bicara, juga
tak pernah berlama-lama. Hanya mengambil yang diperlukannya, membayarnya, lalu
pergi. Begitu setiap hari.
Terbesit
rasa penasaran di hati Mira. Di balik sikap dinginnya, Mira menebak dia sosok
yang romantis. Buktinya, dia membeli bunga mawar setiap hari. Lelaki itu tak
perlu menunjukkan perhatiannya dengan kata-kata. Cukup dengan perbuatan. Duh!
Beruntung sekali perempuan yang setiap hari dikiriminya bunga. Dan itu membuat
iri Mira.
Terkadang
Mira berangan, andai Jono -kekasih yang sudah dipacarinya selama 2 tahun ini-
juga bersikap semanis itu padanya. Tidak harus mengiriminya bunga setiap hari.
Cukup menanyakan sudah makan belum, bagaimana hari ini, atau semacamnya. Itu
saja sudah membuat Mira bahagia.
***
Ponsel di
saku celana Mira berdering. Tepat di deringan ke lima Mira mengangkatnya.
“Bisa kau
kirim mawar merah untukku?”
Mira
mengernyit. Dia seolah mengenali suara lelaki di ujung ponsel. Pantas saja
lelaki itu tidak nampak pagi ini. “Oh, tentu! Tiga mawar merah akan segera
kukirim.” Mira langsung menebak pesanan lelaki itu.
Mira sengaja
menyantumkan nomor ponselnya di plang nama kiosnya. Bagi Mira, itu bagian dari
pelayanan kepada pembeli agar mereka mudah jika perlu sesuatu yang lain.
Tinggal telpon saja. Mira akan menyiapkan pesanan mereka. Kalau sudah siap, mereka
bisa mengambilnya atau Mira yang akan mengantarnya.
“Bukan
tiga, tapi empat!” Suara di ujung ponsel mengoreksi ucapan Mira.
Alis Mira
terangkat. “Oh, baik. Empat mawar merah. Dikirim kemana?”
“Nanti aku share lock,” ucap lelaki itu.
Setelah
menerima pembayaran transfer dari lelaki yang mengaku bernama Rio itu, Mira
menyiapkan pesanannya. Empat tangkai mawar merah lengkap dengan kartu ucapan. Dia
meminta Dara, asistennya, melayani pembeli yang baru datang, sementara dirinya mengantarkan
pesanan Rio.
***
Matahari
mulai terik saat Mira sampai di tempat sesuai share lock yang diberikan Rio. Mira mengerutkan dahi lalu menekan
nomor Rio.
“Rumahnya
yang mana, ya?” tanya Mira.
“Lurus aja
masuk kampung, berhenti di ujung gang. Cari pohon beringin yang paling besar.”
Rio memberi instruksi.
Mira menuruti
instruksi Rio hingga berhenti di ujung gang lalu mencari pohon beringin besar
tak jauh darinya. Dia memarkirkan sepeda motornya lalu berjalan menuju ke pohon
itu. Sangat tidak mungkin dia mengendari motornya hingga ke sana. Jalan menuju
ke pohon besar itu berupa jalan setapak.
“Duh! Ini
tempat nyempil banget. Aku yakin, tempat ini pasti nggak ditemukan di peta!”
Gerutu Mira sambil terus menapaki jalan yang sebagian terdiri dari tanah merah
dan belukar.
Mira
menghentikan langkannya beberapa meter di dekat pohon besar. Matanya
terbelalak. “Ini nggak salah, kan?”
Mira tidak
menemukan satu rumah pun di sana, melainkan kuburan. Bulu kuduk Mira meremang.
Napasnya tercekat, hingga sebuah sentuhan di bahunya mengagetkannya. “Neng, mau
ngapain di tempat ini?”
Mira
berbalik dan menemukan lelaki tua berukuran tubuh lebih pendek darinya, berdiri
di depannya sambil memperlihatkan deretan giginya yang tak lagi komplit. Mira
menyapukan pandangannya dari bawah ke atas, memastikan lelaki tua itu
menapakkan kakinya di atas tanah.
“Itu
kuburan, Mbah?”
“Lah, iya.
Emang kelihatan kek empang, ya?”
Mira tak
menghiraukan ucapan lelaki tua itu. “Kuburan siapa?”
“Rosemalina.
Orang sini manggilnya Neng Rose. Dia anak orang kaya di kampung ini. Dulu,
sebelum keluarganya pindah keluar kota.”
“Mati
kenapa?” tanya Mira penasaran.
“Bunuh
diri. Nggak mau dijodohin sama orang tuanya karena sudah punya pujaan hati.
Dari pada dipaksa kawin, dia pilih bunuh diri.”
Mira
manggut-manggut. Lelaki itu melanjutkan. “Pacar Neng Rose yang namanya Mas Rio
itu masih berkabung sampai sekarang. Namanya juga ditinggal mati pujaan hati.
Dia masih sering datang kemari dan ngasih mawar merah di atas makamnya.”
“Mbah tahu
dari mana?”
“Saya
penjaga kubur sini. Neng tahu makam ini dari mana?” Lelaki itu balik bertanya.
“Tadi Rio
menelpon saya. Dia minta saya mengirimkan bunga ini kemari.”
“Ah, yang
bener, Neng? Mas Rio sendiri yang nelpon?” Dahi lelaki itu berkerut. Mira hanya
mengangguk. Lanjut lelaki itu. “Mas Rio sudah meninggal. Dia ditemukan gantung
diri di kamarnya subuh tadi. Kan saya tetangganya Mas Rio.”
Mata Mira
membulat. Dia bergegas mengambil ponsel dari saku celananya lalu menghubungi
nomor yang digunakan Rio menelponnya. Mira mendengar suara di seberang ponsel.
Bukan suara lelaki, melainkan perempuan. “Nomor
yang Anda tuju tidak dapat dihubungi …”
“Mbah …”
Mira melihat sekitar. Lelaki tua penjaga makam sudah tak terlihat lagi, seolah
lenyap disapu angin yang tiba-tiba berhembus kencang. Sekarang tinggallah dia
sendiri. Tak jauh dari makam Rose, Mira melihat deretan makam yang lain.
Mira
mengatur napasnya. Dia melihat empat tangkai mawar merah ditangan lalu
mengambil kartu ucapan yang terikat di tangkainya. Perlahan Mira membuka
lipatan kartu dan membaca sekali lagi kalimat yang tertulis di sana.
Happy 4th Anniversary, My Lovely Rose.
Semoga cinta kita abadi.
I love you forever.
~Rio Dirgantara~
Seketika
Mira melempar bunga mawar dan kartu di tangannya. Dia segera berbalik, berlari
sekencang mungkin. Dia tak mau lagi berada di tempat itu. Dia tak mau lagi
terlibat urusan dengan lelaki bernama Rio itu.
Mira
berusaha fokus agar segera keluar dari tempat itu, sampai-sampai dia lupa
sepeda motornya, yang kini sudah bersebalahan dengan Honda RX King warna hitam.
The End
NB :
Cerpen ini
diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Memiliki Kehilangan – Letto) Sahabat Kabol Menulis #Day1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^