Kamis, 06 Agustus 2020

[Cerpen] - Lara

  

“Cheers!!!” Gelas-gelas kristal tinggi beradu. Setelah ratusan purnama akhirnya Genk Ayu kembali reuni. Berteman sejak sekolah menengah membuat persahabatan Ammara, Runi, dan Stella semakin erat. Namun beberapa tahun ini semua sedikit berubah.

Semenjak menikah, Ammara keluar dari pekerjaannya dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Stella yang naik jabatan sebagai kepala cabang perusahaan tekstil, dia sibuk mempersiapkan pengembangan perusahaannya. Sedang Runi, dia sedang fokus ke butik yang sedang dirintisnya.

“Kamu beruntung, ya, Am. Kamu dapetin semua yang kamu impikan. Suami ganteng dan berkepribadian. Rumah pribadi, mobil pribadi …” Runi mengitari ruang tengah rumah Ammara. Dia melihat dengan seksama foto-foto Ammara bersama suaminya yang dipajang di salah dinding.

“Mangkanya kamu buruan nikah. Biar stabil kek Ammara. Bukan sekedar stabil keuangan, tapi juga stabil emosi!” Ledek Stella.

Mendengar itu Runi membalas, “emang situ juga sudah laku?”

“Almost!” jawab Stella cepat. Dia menunjukkan jari manisnya yang dilingkari sebuah cincin emas putih. Mata Ammara dan Runi membulat lalu mendekat untuk melihat cincin itu lebih dekat.

“Kapan?” tanya Runi penasaran.

“Semalam,” jawan Stella cepat.

“Ough, selamat, ya, Stella. Aku ikut senang.” Seketika Ammara memeluk Stella, disusul Runi yang memeluk kedua sahabatnya.

Saat semua perempuan bergembira, Fredi, suami Ammara, masuk ruang tengah. “Wah, ada perayaan apa, nih?”

Ammara menoleh ke Fredi, berjalan ke arahnya, lalu mencium tangannya. Kata Ammara, “tumben pulang cepat, Mas.”

“Kangen kamu,” jawab Fredi yang disusul dengan mendaratkan kecupan di kening Ammara. Lanjutnya, “Aku naik dulu, ya. Mau mandi terus istirahat. Kalian silakan dilanjutkan.” Fredi mengelus kepala Ammara lebut lalu meminggalkan para perempuan itu, naik ke lantai dua.

“Keknya kita transparan deh, Stel. Nggak keliatan gitu,” protes Runi yang sirik dengan kemesraan Ammara dan Fredi.

“Kalian so sweet banget, sih.” Stella gemas dengan pemandangan yang barus aja dilihatnya. “Ntar kalau aku nikah, aku juga tetep pingin mesra kapan pun dimanapun.”

Runi memutar bola matanya. “Termasuk di depanku, gitu?”

Stella mengengguk.

“Baiklah. Jadi tinggal aku nih yang belum.” Runi menolah ke Ammara. “Tanyain Mas Fredi, dong, barang kali punya kembaran seganteng dan setajir dia.”

Runi merajuk ke Ammara yang dibalas istri Fredi itu dengan tegas. “Nggak ada!”

***

“Sepi bener rumahmu. Mas Fredi mana?” Runi celingukan di kamar Ammara. Tak ada satu manusia pun di rumah berlantai dua bergaya minimalis itu kecuali Ammara dan dirinya. Ini hari Minggu. Seharusnya Fredi ada di rumah. Namun sedari tadi Runi datang hingga sekarang lelaki berambut hitam ikal tersebut tak menampakkan batang hidungnya.

“Ada kerjaan keluar kota,” jawan Ammara sambil mematut diri di depan cermin setinggi dirinya. Dia mengenakan gaun hitam menjuntai dengan belahan dada rendah. Gaun itu rancangan terbaru Runi khusus untuk dirinya.

Runi duduk di sisi ranjang sambil terus mengamati Ammara. “Kamu nggak kesepian gitu?”

“Nggak, lah. Pagi, siang, malam kami video call.” Ammara mengikat rambutnya ke atas. Dengan penampilan seperti itu dia menunjukkan lehernya yang jenjang.

“Ceile, pengantin baru. Dah macam minum obat aja sehari tiga kali,” ejek Runi. Dia menjatuhkan dirinya ke ranjang dan merakan betapa empuknya ranjang itu.

Ammara membolak balikkan badan sambil sesekali menarik bagian kain di gaunnya yang kurang pas, lalu berkata, “lagi pula aku sibuk beberes rumah.”

“Nggak takut gitu Mas Fredi ada yang ngambil?”

Pertanyaan Runi sontak membuat Ammara mendongak. “Mas Fredi tu kerja mencari nafkah buatku.” Dia melihat Runi dari bayangan di cermin. Katanya terdengar mengejek. “Mangkanya cepetan nikah biar ada yang nafkahin.”

Runi membalikkan badan hingga tengkurap lalu memutar bola matanya. “Iya, iya! Besok aku download Tinder, deh! Biar bisa kenalan cowok dari seluruh dunia. Peluang ketemu jodoh jadi gede, kan. Kale aja jodohku lagi ada di kutub utara.”

“Beruang kutub maksudmu?” Ammara tertawa terbahak yang dibalas Runi dengan lemparan bantal bulu angsa.

***


“Bye!” Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam saat Runi melambaikan tangan ke sahabatnya. Sabtu ini dia sengaja plesiran ke luar kota mengunjungi mantan staf yang kini telah berhenti bekerja darinya karena harus ikut suaminya setelah menikah.

Runi sampai di seberang hotel tempatnya menginap saat dia melihat dari balik dinding kaca hotel Fredi sedang ngobrol dengan salah satu bilboy. Mimpi apa Runi semalam bisa bertemu dengan lelaki yang selalu jadi perbincangan di natara temanteman Ammara itu.

Runi melihat keramaian jalan di depan hotel dan berusaha untuk menyeberang. Dia ingin sekedar menyapa. Kalau Fredi di sini, tentu Ammara pun juga. Namun tepat setelah menyeberang dan sampai di depan hotel, Runi melihat seorang perempuan berambut ombre hitam coklat sepunggung mendekat ke Fredi. Perempuan itu lalu mengaitkan lengannya ke lengan Fredi.

“O My God!” Runi bergegas menepi seolah bersembunyi dan memperhatikan seksama perempuan. Runi sampai menyipitkan mata demi meyakinkan diri sendiri perempuan itu Ammara. Bisa juga kan Ammara bosan dengan penampilannya sekarang yang cantik natural bahkan tanpa harus ber-make up, lalu me-make over dirinya.

“No! Big no!” Runi menggelengkan kepalanya berulang. Untuk kesekian kali, otak dan hatinya membenarkan apa yang dilihatnya. Perempuan yang beberapa kali mendaratkan kecupan di pipi Fredi dan bergelayut manja di bahu lelaki itu bukanlah Ammara.

“Oh, shit!”

***

“Kamu pikir menikah itu mudah!” Suara Ammara terkesan meremehkan. Dia menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang tengah rumahnya.

“Yeah, kalau lihat kehidupan pernikahanmu, sepertinya semua se-simple itu.” Stella merasa pernyataan Ammara lebih pada dirinya.

“Tidak semudah kelihatannya, Ladies. Aku yakin kalian belum tentu bisa melewatinya.” Ammara mulai ketus. Sikapnya ini membuat Stella dan Runi mengerutkan dahi.

“Kok kamu ngomong gitu, sih?” Stella meminta penjelasan. Runi yang duduk di samping Ammara hanya terdiam. Dia mulai mencium ketidak beresan dari kata-kata Ammara.

“Dengar, ya, Stella.” Ammara merendahkan suaranya. Dia berbicara dengan penuh penekanan di setiap katanya. “Lelaki yang memberimu cincin bertahtakan berlian itu, belum tentu mencintaimu.”

Stella mengernyit. “Am, are you okay? Kamu nggak lagi mabuk, kan?”

Ammara tidak menggubris Stella. Dia terus berseloroh. Bahkan nada suaranya makin meninggi. “Dia hanya menjadikanmu pelengkap penderitaannya!”

“Kamu keterlaluan, Ammara!” Stella segera bangkit. Wajahnya merah padam. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya itu.

Ammara ikut berdiri. Dia terus bersikap seperti orang kesetanan. “Setelah dia puas, kau akan dibuang!”

Runi tidak tahan lagi. Dia bangkit lalu memeluk Ammara dari belakang. “Ammara, cukup!!!”

Ammara histeris. Tubuhnya menegang dan kaku. Air mata menderas di ujung matanya. Dia terus berteriak, “Dia tidak mencintaiku! Dia tidak pernah mencintaiku! Dia tidak menginginkanku!”

Runi menopang tubuh Ammara yang mulai melemas lalu menuntunnya duduk kembali di sofa. Dia terus memeluk sahabatnya yang masih terisak. “It’s okay, Am. Menangislah! Keluarkan semuanya!”

Stella mematung sambil menutup mulutnya. Dia tidak mengerti yang sebenarnya terjadi sampai Runi menceritakan apa yang dilihatnya saat di luar kota.

“Kamu ceria, kamu tertawa … kamu pura-pura bahagia!” ucap Stella sambil menggenggam tangan Ammara yang masih bersandar di bahu Runi.

“Dia menikahiku karena perintah orang tuanya, bukan karena cinta. Dia lebih cinta perempuan lain di luar sana,” ucap Ammara di tengah isaknya.

“Aku harus membahagiakan semua orang, papa mamaku, papa mama mertua, dan orang-orang terdekatku.” Suara Ammara bergetar. “Aku harus selalu tersenyum. Aku capek! Aku muak dengan semuanya!” Air mata Ammara kembali mengalir yang disusul dengan pelukan dari sahabatnya

***

“Aku mengajukan perceraian pagi tadi,” ucap Ammara lalu tersenyum tipis.

Runi yang duduk di samping Ammara mengelus punggungnya seolah menguatkan. “It’s okay. Semoga ini yang terbaik untukmu. Kamu berhak bahagia, Am.”

“Aku yakin akan ada lelaki baik yang mencintaimu … kamu akan menemukannya,” kata-kata Stella menenangkan. Kini mereka tidak lagi bertemu di rumah Ammara. Tempat kongkow mereka sudah berpindah ke rumah Stella.

Ammara mengangguk. “Yeah, mungkin aku harus download dating app atau apa, gitu.” Dia menoleh ke Runi sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya.

“Astaga, kalian!” Stella berdiri seolah memberi pengumuman. Dia berdehem lalu berkata, “malam minggu ini kalian harus datang ke rumahku. Berdandanlah yang cantik. Aku akan kenalkan kalian ke teman-teman Aldo, tunanganku. Eh, bukan! Calon suamiku.”

“Iya, iya. Calon nyonya Aldo,” ucap Runi sambil memutar bola matanya, mempertegas ucapan Stella. Untuk kesekian kalinya suara gelas kristal tinggi beradu di atara derai tawa Genk Ayu.

The End

 


NB :

Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Hati yang Kau SakitiRosa) Sahabat Kabol Menulis #Day7

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^