“Cheers!!!” Gelas-gelas kristal tinggi beradu. Setelah
ratusan purnama akhirnya Genk Ayu kembali reuni. Berteman sejak sekolah
menengah membuat persahabatan Ammara, Runi, dan Stella semakin erat. Namun
beberapa tahun ini semua sedikit berubah.
Semenjak menikah, Ammara keluar dari pekerjaannya dan memilih menjadi ibu rumah tangga. Stella yang naik jabatan sebagai kepala cabang perusahaan tekstil, dia sibuk mempersiapkan pengembangan perusahaannya. Sedang Runi, dia sedang fokus ke butik yang sedang dirintisnya.
“Kamu beruntung, ya, Am. Kamu dapetin semua yang kamu
impikan. Suami ganteng dan berkepribadian. Rumah pribadi, mobil pribadi …” Runi
mengitari ruang tengah rumah Ammara. Dia melihat dengan seksama foto-foto
Ammara bersama suaminya yang dipajang di salah dinding.
“Mangkanya kamu buruan nikah. Biar stabil kek Ammara.
Bukan sekedar stabil keuangan, tapi juga stabil emosi!” Ledek Stella.
Mendengar itu Runi membalas, “emang situ juga sudah
laku?”
“Almost!” jawab Stella cepat. Dia menunjukkan jari
manisnya yang dilingkari sebuah cincin emas putih. Mata Ammara dan Runi
membulat lalu mendekat untuk melihat cincin itu lebih dekat.
“Kapan?” tanya Runi penasaran.
“Semalam,” jawan Stella cepat.
“Ough, selamat, ya, Stella. Aku ikut senang.” Seketika
Ammara memeluk Stella, disusul Runi yang memeluk kedua sahabatnya.
Saat semua perempuan bergembira, Fredi, suami Ammara,
masuk ruang tengah. “Wah, ada perayaan apa, nih?”
Ammara menoleh ke Fredi, berjalan ke arahnya, lalu
mencium tangannya. Kata Ammara, “tumben pulang cepat, Mas.”
“Kangen kamu,” jawab Fredi yang disusul dengan
mendaratkan kecupan di kening Ammara. Lanjutnya, “Aku naik dulu, ya. Mau mandi
terus istirahat. Kalian silakan dilanjutkan.” Fredi mengelus kepala Ammara
lebut lalu meminggalkan para perempuan itu, naik ke lantai dua.
“Keknya kita transparan deh, Stel. Nggak keliatan
gitu,” protes Runi yang sirik dengan kemesraan Ammara dan Fredi.
“Kalian so sweet banget, sih.” Stella gemas dengan pemandangan
yang barus aja dilihatnya. “Ntar kalau aku nikah, aku juga tetep pingin mesra
kapan pun dimanapun.”
Runi memutar bola matanya. “Termasuk di depanku,
gitu?”
Stella mengengguk.
“Baiklah. Jadi tinggal aku nih yang belum.” Runi
menolah ke Ammara. “Tanyain Mas Fredi, dong, barang kali punya kembaran
seganteng dan setajir dia.”
Runi merajuk ke Ammara yang dibalas istri Fredi itu
dengan tegas. “Nggak ada!”
***
“Sepi bener rumahmu. Mas Fredi mana?” Runi celingukan
di kamar Ammara. Tak ada satu manusia pun di rumah berlantai dua bergaya
minimalis itu kecuali Ammara dan dirinya. Ini hari Minggu. Seharusnya Fredi ada
di rumah. Namun sedari tadi Runi datang hingga sekarang lelaki berambut hitam
ikal tersebut tak menampakkan batang hidungnya.
“Ada kerjaan keluar kota,” jawan Ammara sambil mematut
diri di depan cermin setinggi dirinya. Dia mengenakan gaun hitam menjuntai dengan
belahan dada rendah. Gaun itu rancangan terbaru Runi khusus untuk dirinya.
Runi duduk di sisi ranjang sambil terus mengamati
Ammara. “Kamu nggak kesepian gitu?”
“Nggak, lah. Pagi, siang, malam kami video call.”
Ammara mengikat rambutnya ke atas. Dengan penampilan seperti itu dia
menunjukkan lehernya yang jenjang.
“Ceile, pengantin baru. Dah macam minum obat aja
sehari tiga kali,” ejek Runi. Dia menjatuhkan dirinya ke ranjang dan merakan
betapa empuknya ranjang itu.
Ammara membolak balikkan badan sambil sesekali menarik
bagian kain di gaunnya yang kurang pas, lalu berkata, “lagi pula aku sibuk
beberes rumah.”
“Nggak takut gitu Mas Fredi ada yang ngambil?”
Pertanyaan Runi sontak membuat Ammara mendongak. “Mas
Fredi tu kerja mencari nafkah buatku.” Dia melihat Runi dari bayangan di
cermin. Katanya terdengar mengejek. “Mangkanya cepetan nikah biar ada yang
nafkahin.”
Runi membalikkan badan hingga tengkurap lalu memutar
bola matanya. “Iya, iya! Besok aku download Tinder, deh! Biar bisa kenalan
cowok dari seluruh dunia. Peluang ketemu jodoh jadi gede, kan. Kale aja jodohku
lagi ada di kutub utara.”
“Beruang kutub maksudmu?” Ammara tertawa terbahak yang
dibalas Runi dengan lemparan bantal bulu angsa.
***
“Bye!” Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh malam
saat Runi melambaikan tangan ke sahabatnya. Sabtu ini dia sengaja plesiran ke
luar kota mengunjungi mantan staf yang kini telah berhenti bekerja darinya
karena harus ikut suaminya setelah menikah.
Runi sampai di seberang hotel tempatnya menginap saat
dia melihat dari balik dinding kaca hotel Fredi sedang ngobrol dengan salah
satu bilboy. Mimpi apa Runi semalam bisa bertemu dengan lelaki yang selalu jadi
perbincangan di natara temanteman Ammara itu.
Runi melihat keramaian jalan di depan hotel dan
berusaha untuk menyeberang. Dia ingin sekedar menyapa. Kalau Fredi di sini,
tentu Ammara pun juga. Namun tepat setelah menyeberang dan sampai di depan
hotel, Runi melihat seorang perempuan berambut ombre hitam coklat sepunggung
mendekat ke Fredi. Perempuan itu lalu mengaitkan lengannya ke lengan Fredi.
“O My God!” Runi bergegas menepi seolah bersembunyi
dan memperhatikan seksama perempuan. Runi sampai menyipitkan mata demi
meyakinkan diri sendiri perempuan itu Ammara. Bisa juga kan Ammara bosan dengan
penampilannya sekarang yang cantik natural bahkan tanpa harus ber-make up, lalu
me-make over dirinya.
“No! Big no!” Runi menggelengkan kepalanya berulang.
Untuk kesekian kali, otak dan hatinya membenarkan apa yang dilihatnya. Perempuan
yang beberapa kali mendaratkan kecupan di pipi Fredi dan bergelayut manja di
bahu lelaki itu bukanlah Ammara.
“Oh, shit!”
***
“Kamu pikir menikah itu mudah!” Suara Ammara terkesan
meremehkan. Dia menyandarkan punggungnya pada sofa di ruang tengah rumahnya.
“Yeah, kalau lihat kehidupan pernikahanmu, sepertinya
semua se-simple itu.” Stella merasa pernyataan Ammara lebih pada dirinya.
“Tidak semudah kelihatannya, Ladies. Aku yakin kalian
belum tentu bisa melewatinya.” Ammara mulai ketus. Sikapnya ini membuat Stella
dan Runi mengerutkan dahi.
“Kok kamu ngomong gitu, sih?” Stella meminta
penjelasan. Runi yang duduk di samping Ammara hanya terdiam. Dia mulai mencium
ketidak beresan dari kata-kata Ammara.
“Dengar, ya, Stella.” Ammara merendahkan suaranya. Dia
berbicara dengan penuh penekanan di setiap katanya. “Lelaki yang memberimu
cincin bertahtakan berlian itu, belum tentu mencintaimu.”
Stella mengernyit. “Am, are you okay? Kamu nggak lagi
mabuk, kan?”
Ammara tidak menggubris Stella. Dia terus berseloroh.
Bahkan nada suaranya makin meninggi. “Dia hanya menjadikanmu pelengkap
penderitaannya!”
“Kamu keterlaluan, Ammara!” Stella segera bangkit.
Wajahnya merah padam. Dia tak habis pikir dengan sahabatnya itu.
Ammara ikut berdiri. Dia terus bersikap seperti orang
kesetanan. “Setelah dia puas, kau akan dibuang!”
Runi tidak tahan lagi. Dia bangkit lalu memeluk Ammara
dari belakang. “Ammara, cukup!!!”
Ammara histeris. Tubuhnya menegang dan kaku. Air mata
menderas di ujung matanya. Dia terus berteriak, “Dia tidak mencintaiku! Dia
tidak pernah mencintaiku! Dia tidak menginginkanku!”
Runi menopang tubuh Ammara yang mulai melemas lalu
menuntunnya duduk kembali di sofa. Dia terus memeluk sahabatnya yang masih
terisak. “It’s okay, Am. Menangislah! Keluarkan semuanya!”
Stella mematung sambil menutup mulutnya. Dia tidak
mengerti yang sebenarnya terjadi sampai Runi menceritakan apa yang dilihatnya
saat di luar kota.
“Kamu ceria, kamu tertawa … kamu pura-pura bahagia!”
ucap Stella sambil menggenggam tangan Ammara yang masih bersandar di bahu Runi.
“Dia menikahiku karena perintah orang tuanya, bukan
karena cinta. Dia lebih cinta perempuan lain di luar sana,” ucap Ammara di
tengah isaknya.
“Aku harus membahagiakan semua orang, papa mamaku,
papa mama mertua, dan orang-orang terdekatku.” Suara Ammara bergetar. “Aku
harus selalu tersenyum. Aku capek! Aku muak dengan semuanya!” Air mata Ammara
kembali mengalir yang disusul dengan pelukan dari sahabatnya
***
“Aku mengajukan perceraian pagi tadi,” ucap Ammara
lalu tersenyum tipis.
Runi yang duduk di samping Ammara mengelus punggungnya
seolah menguatkan. “It’s okay. Semoga ini yang terbaik untukmu. Kamu berhak
bahagia, Am.”
“Aku yakin akan ada lelaki baik yang mencintaimu … kamu
akan menemukannya,” kata-kata Stella menenangkan. Kini mereka tidak lagi
bertemu di rumah Ammara. Tempat kongkow mereka sudah berpindah ke rumah Stella.
Ammara mengangguk. “Yeah, mungkin aku harus download
dating app atau apa, gitu.” Dia menoleh ke Runi sambil memperlihatkan deretan
gigi putihnya.
“Astaga, kalian!” Stella berdiri seolah memberi
pengumuman. Dia berdehem lalu berkata, “malam minggu ini kalian harus datang ke
rumahku. Berdandanlah yang cantik. Aku akan kenalkan kalian ke teman-teman
Aldo, tunanganku. Eh, bukan! Calon suamiku.”
“Iya, iya. Calon nyonya Aldo,” ucap Runi sambil memutar bola matanya, mempertegas ucapan Stella. Untuk kesekian kalinya suara gelas kristal tinggi beradu di atara derai tawa Genk Ayu.
The End
NB :
Cerpen ini diikut sertakan dalam
Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Hati yang Kau Sakiti
– Rosa)
Sahabat Kabol Menulis #Day7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^