Dua hari empat belas jam lima puluh menit tiga belas
detik waktu yang sudah dihabiskan Bella meratapi nasibnya. Selama itu pula dia
tidak keluar kamar dan malas makan. Yang sudah dilakukannya … menangis – curhat
– ngomel – repeat.
Diana, maminya Bella, tidak tega melihat anak semata
wayangnya begitu menderita karena cinta. Dua hari lalu Bella pulang kerja
sambil nangis-nangis. Bella bercerita tentang postingan whatsapp story Aries, pacarnya. Sepasang tangan saling menggenggam.
Pada masing-masing jari manis mereka terpasang cincin polos. Postingan itu
sontak membuat Bella deg-degan. Seharian itu dia tidak bisa fokus kerja.
Bella berusaha menghubungi Aries tapi nomornya tidak
aktif. Bella juga berusaha menghubungi teman sekantor Aries tapi mereka bilang
lelaki berambut ikal gelap pendek itu cuti beberapa hari. Tak satu pun dari
mereka tahu alasan Aries tidak masuk kerja.
Seratus persen hati Bella terpotek setelahnya, ditandai
dengan derai tangis perempuan berambut lurus hitam sebahu dengan poni ini.
Aries telah mengkhianatinya, meninggalkannya.
“Bel, mami sudah susah payah masakin kamu, masak nggak
kamu makan, sih.” Diana menyendok bubur jagung kesukaan Bella dan
mendekatkannya ke mulut Bella. Tapi Bella-nya tetap aja mingkem.
“Oke, cukup!” Seru Diana di antara tangisan Bella. Dia
merebut foto Aries satu-satunya yang tersisa setelah semua foto lelaki itu
dibakar bersama barang-barang pemberiannya. Lanjut Diana, “kamu puas-puasin
sesenggukan malam ini. Besok, Mami nggak mau lihat kamu masih seperti ini. Kaya
nggak ada lelaki lain di dunia ini.”
“Aries itu first
love-nya Bella, Mi. Nggak semudah itu bisa menggantikan Aries.” Suara Bella
bergetar.
“Mami nggak peduli! Besok kamu harus sudah ceria.
Jangan kalah sama mentari pagi. Lagi pula cuti kamu sudah habis. Besok kamu
masuk kerja!”
***
Pagi-pagi benar Diana sudah bangun. Dia sudah berkutat
di dapur bahkan sebelum matahari mengintip di ufuk timur. Hari ini dia membuat
sarapan ekstra untuk Bella. Bukan masalah menu apa yang dibuat atau besar porsi
makananya, tapi lebih karena mantra yang Diana tambahkan ke dalamnya.
Tidak banyak yang tahu kalau sebenarnya Diana adalah
keturunan ke tiga belas dari keluarga Sandalwood. Dahulu kala, keluarga ini
dikenal dengan berbagai mantra dan ramuan ajaib yang dimiliki, diwariskan turun
temurun.
Belasan kali Diana membaca seksama buku berwarna
cokelat usang di tangannya. Disanalah ramuan ajaib itu ditulis lengkap dengan diskripsi,
bahan, dan mantra yang harus diucapkan. Diana tidak akan menggunakan semua itu
jika tidak dalam keadaan terpaksa. Sudah lama dia diajarkan kedua orang tuanya
untuk hidup normal, menyelesaikan masalah layaknya manusia biasa.
Extra
ordinary. Begitu Diana
menganggap masalah Bella yang satu ini. Dia tidak akan membiarkan Bella disakiti
oleh siapapun. Apalagi oleh lelaki pengecut yang tiba-tiba menghilang dan
meninggalkan luka di hatinya. Naluri ibu dalam dirinya membuncah selayaknya
membangunkan macan tidur.
Bella sudah duduk di meja makan saat Diana selesai
menyajikan sarapan. Meski matanya agak sembab tapi Bella tetap cantik seperti
biasa. Rambut Bella dikuncir ke balakang. Dia mengenakan blus putih tulang
dengan rok takhi selutut ditambah polesan make up natural dan lipstick nude,
dia siap kembali kerja.
Mata Diana membulat melihat piring berisi nasi goreng
yang memang disiapkan untuk Bella sudah kosong. Bahkan Bella sudah makan porsi
kedua yang diambil dari piring saji di depannya. “Lahap bener makannya. Laper
apa doyan?”
“Bella laper banget, Mi. Lagi pula hari ini Bella
butuh lebih banyak energi. Cuti tiga hari, pasti kerjaan Bella numpuk.”
“Mangkanya nggak usah berduka lagi buat lelaki yang
nggak jelas. Yang rugi kamu sendiri.”
Selesai sarapan, Bella berpamitan. Abang ojol yang
dipesannya sudah sampai di depan rumah. Tepat saat ojol yang ditumpangi Bella
belok di perempatan, Diana komat kamit. “Semoga efek mantranya nggak
berlebihan.”
Apa yang terjadi pagi ini di luar rencana Diana.
Selama ngambek, Bella tidak banyak makan. Diana mengira, pagi ini pun Bella
hanya akan melahap 2-3 sendok saja. Namun dugaannya salah. Dan itu berarti
banyak ramuan yang masuk ke tubuh Bella.
***
Lima menit sebelum jam kantor, Bella sudah sampai. Dia
disambut ramah satpam yang membuat Bella justru salah tingkah. Tidak tanggung,
satpam itu mengikuti Bella hingga ke lift, menekan tombol lantai dimana Bella
bekerja, lalu masuk ke lift bersamanya.
Bella tak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.
Bahkan saat ada karyawan lain akan masuk lift, satpam itu menghadangnya, “Ini
khusus Mbak Bella. Silakan keluar!” perintah satpam itu yang sontak membuat
Bella melongo.
Begitu pintu lift terbuka, Bella berbegas keluar tanpa
mempedulikan satpam yang terus menatapnya dengan mata berbinar dan senyuman
manis.
Saat Bella meletakkan tas kerjanya, kepala Agus
menyembul dari balik kubikel. Sambil bertopang dagu, dia terus memperhatikan
Bella. “Kamu kenapa sih ngeliatin terus? Risih tahu!”
“Salah kamu sih, cantik banget,” kata Agus, masih
terus menatap Bella.
“Kamunya aja yang kelamaan pingsan sampai nggak sadar
tetangga kubikelmu ini cantik,” omel Bella. Seketika mereka bubar saat Pak
Andi, manajer mereka, lewat untuk inspeksi.
Baru saja Bella menekuni dokumen di atas meja, Sapto,
OB kantor, mengantarkan kopi ke mejanya. “Perasaan aku nggak pesan apa-apa.”
“Saya sengaja membuat kopi ini khusus buat Mbak Bella
biar lebih semangat kerja,” jelas Sapto, senyum malu-malu yang membuat alis
Bella terangkat. “Diminum kopinya, Mbak,” tambahnya.
Bella manggut-manggut. “Iya, nanti. Masih panas.”
Sikap Sapto membuat Bella waspada, takut diguna-guna.
Keanehan demi keanehan menghampiri Bella. Termasuk
saat Bella antri di kantin.
“Biar aku yang bayar,” suara Rizal, anak pemasaran.
Bella berusaha menolak tapi Rizal tetap memaksa. Bella tak pernah bertegur sapa
dengannya. Jadi aneh bagi Bella kalau tetiba Rizal mentraktirnya. Katanya,
“jangan menolak rezeki.”
Kantin penuh siang itu. Seseorang melambaikan tangan
ke Bella. Anto, akan keuangan mendekat, mengambil nampan Bella. “Lebih enak
kalau kita makan bareng. Aku sudah sediain tempat buat kamu.”
“Eh, dari tadi Bella sama aku. Jelas tadi Bella pesan
makanan bareng aku.” Rizal tidak terima. Dia menggiring Bella ke meja lain.
Namun Anto menghadang. Cekcok dan baku hantam hampir terjadi. Bella malu
setengah mati karena dia sekarang jadi tontonan.
“Stop! Aku nggak jadi makan! Napsu makanku hilang!”
Teriak Bella setengah histeris. Dia berlari meninggalkan para lelaki yang masih
bersiteru.
“Mamiiiiii … !!!” Teriak Bella saat mendengar
penjelasan tentang efek mantra di nasi gorengnya. Untung aja toilet sepi. “Tega
banget ngelakuin itu ke Bella.”
“Bel, Mami ini ibumu. Mami akan melakukan apapun agar
kamu bahagia. Agar kamu bisa move on
dari lelaki brengsek itu,” jelas Diana. Suaranya naik beberapa oktaf.
“Namanya Aries, Mi,” Bella mengoreksi.
“Bodo amat!” Balas Diana cepat. “Mantra itu hanya
bereaksi pada lelaki pemuja rahasiamu. Mantra itu akan membantu mereka
menungungkapkan perasaan mereka ke kamu. Kamu tinggal pilih mau menerima yang
mana. Efeknya akan hilang kalau kamu sudah menemukan kekasih sejatimu. Barang
kali satu di antara mereka ...”
Mata Bella membulat. “Berapa abad lagi?”
“Bel! Kamu jangan pesimis gitu, dong. Barang kali
besok, lusa, atau minggu depan.” Diana berusaha membesarkan hati anaknya. Namun
malah Bella mengutuki nasibnya. Bagi Bella, ini lebih buruk dari ditinggal Aries.
***
Bella menghentakkan tubuhnya di sofa. Dia sudah tak
punya tenaga lagi untuk berjalan menuju kamar. Dia lelah bukan karena pekerjaan
menumpuk tapi harus menghindar dari para lelaki yang tersihir mantra Diana.
Gemuruh guntur bersahutan dengan suara seseorang
memanggil Bella. Perempuan itu bangkit dengan dahi berkerut lalu membuka pintu
rumah. Seketika Bella menyipitkan mata melihat sosok di depan gerbang rumahnya.
“Stop! Jangan masuk!”
Aries nampak sehat wal afiat dan itu membuat Bella
semakin jengkel karena dia menggap lelaki itu sudah mati ditelan bumi. Butiran
bening mulai menetes dari langit. “Bel,
aku butuh ngomong sama kamu. Aku bela-belain datang ke sini meski hujan karena
aku sudah nggak sabar ...”
“Nggak sabar putus dariku?” sahut Bella dengan nada
tinggi.
“Kok kamu ngomong gitu.” Dahi Aries berkerut dalam.
“Kamu ngilang berhari-hari. Kamu sengaja ninggalin aku
buat tunangan sama perempuan lain, kan?”
Kata-kata Bella mengejutkan Aries. “Perempuan yang
mana?” Lanjut Aries, “yang tunangan itu kakakku. Aku cuti kerja karena harus
mengantar keluargaku untuk acara ini di luar kota. Dan ponselku mati karena
saat foto-foto kecemplung di empang.”
“Begitu aku pulang, aku langsung kemari. Aku tahu, aku
hutang penjelasan ke kamu, sekalian mau ngasih ini ke kamu.” Aries mengeluarkan
kotak merah kecil dari sakunya lalu membukanya. Ada cincin bermata tunggal
bertahta di sana. “Bella, mau nggak kamu jadi istriku?”
Bella sadar ini seharusnya jadi adegan romantis tapi
Aries masih di depan gerbang.
“Terima, Bel!” Suami Diana dari balik pintu
mengagetkan Bella.
“Perasaan kemarin Mami minta Bella ninggalin Aries.
Kenapa sekarang malah menyemangati Bella nerima Aries,” protes Bella.
“Mami sudah denger penjelasan Aries. Tadi siang dia
datang ke sini ngejelasin semuanya ke Mami.” Suara Diana lirih seolah berbisik.
“Buruan dijawab, dong! Makin deres nih hujannya!”
Aries mulai basah kuyup.
“Aku mau, Ris!” Jawab Bella sedikit berteriak. Dia yang
mulai tak tega melihat Aries, bergegas membuka gerbang, lalu mundur beberapa
langkah, memberi jalan untuk Aries. Lelaki itu meraih tangan Bella dan menyematkan
cincin di jari manisnya. Seketika wajah Bella sumringah. Tak ada satu pun yang
bisa mengambarkan kebahagiaan hatinya.
Ada bulir bening yang menggenang di sudut mata Diana,
yang buru-buru dihapusnya. Mantra untuk Bella seketika kehilangan kekuatannya
saat Bella tersenyum, kembali bahagia bersama pujaan hatinya. Diana lalu
berseru. “Duh! Kalian betah amat di situ! Masuk ke rumah napa. Dah macam film
India aja! Jangan sampai Mami nyanyi sambil jogged, nih!”
The End
NB :
Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Bunda – Potret) Sahabat Kabol Menulis #Day8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^