Senin, 03 Agustus 2020

[Cerpen] - The Last We Met


“Nggak ada yang berubah. Macchiato buatanmu masih paling enak.” Kesya menyecap lagi Macchiato dari cangkir di tangannya. Angin sore itu menggoyangkan rambut hitam sebahunya. Sinar matahari di ufuk barat menerpa lembut wajahnya.

Rama melirik perempuan yang duduk disampingnya. “Jadi kamu lebih kangen Macchiato-ku dari pada aku?” 


Keysa terkekeh. “Kupikir aku nggak akan pernah kembali lagi ke kota ini. Nyatanya aku kembali.”

“Kupikir kamu sudah nggak ingat aku lagi, nyatanya kamu ada di sini,” timpal Rama. Cowok itu masih menggunakan seragam coffee shop lengkap dengan topi hitam kesayangannya.

Keysa mendesah kesal. “Kapan lagi aku bisa nyuri waktu seperti gini. Untung saja pemotretan untuk sampul album baruku sudah selesai. Tinggal persiapan promo dan tour setahun ke depan.”

Rama berdecak kagum. “Orang sibuk!” Katanya sedikit mengejek. Lanjutnya, “Time flies, ya. Rasanya baru kemarin aku ngantar kamu audisi menyanyi,” kata Rama mengenang.

Beberapa tahun lalu Rama dan Keysa rekan kerja di coffee shop. Disela-sela kerja, Rama sering mendengar Keysa bernyayi. Menurut Rama, suara Keysa bagus dan punya potensi untuk menjadi penyanyi profesional. Rama yang membujuk Keysa mengikuti ajang pemilihan bakat menyanyi. Bahkan Rama juga yang mengambilkan formulir pendaftaran dan mengantarkannya saat awal audisi.

Bagi Keysa, Rama ibarat kompor yang selalu mengobarkan semangatnya. Tak jarang sepulang kerja, Rama dan Keysa berlatih bersama. Rama yang mahir memetik gitar akan dengan senang hati mengiringi suara merdu Keysa.

Siapa sangka Keysa berhasil memenangkan audisi. Tidak hanya mendapatkan hadiah kontrak album solo dari label, yang paling penting dari semuanya, Keysa dapat membuktikan dirinya mampu mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penyanyi, seperti apa yang selalu diucapkan Rama selama ini.

“Makasih, ya, Ma. Aku nggak ngerti apa jadinya tanpamu. Mungkin ini semua hanya sebatas mimpi,” ucap Keysa.

Senyum mengembang di bibir keduanya. Untuk beberapa detik pandangan mata mereka beradu, hingga suara dering ponsel Keysa menggema. Keysa menolak panggilan.

“Kok nggak diangkat?” tanya Rama dengan dahi berkerut.

Keysa menggeleng. “Aku nggak mau diganggung. Kan aku lagi sama kamu.”

“Ouch! Aku tersanjung!” Seru Rama yang diikuti derai tawa Keysa.

***

Maura melihat perubahan sikap Rama. Tepatnya setelah Rama menerima tamu seorang penyanyi jebolan ajang pencarian bakat. Maura tidak menyangka, Keysa, nama penyanyi itu, adalah seniornya di sini, dulu. Maura dan teman-teman sempat berfoto bersama Keysa. Bahkan foto itu kini terpajang di salah satu sudut coffee shop mereka.

Gerimis sedikit deras sore itu. Coffee shop sedikit lengang. Hanya ada dua orang yang sedang menikmati kehangatan kopi pilihan mereka. Maura dapat sedikit bernapas dari kesibukan. Di sudut lain, Rama duduk di meja paling dekat dengan bar dan menulis sesuatu di kertas tisu.

“Sibuk banget, Ma. Ngapain, sih?” Maura menarik kursi di depan Rama. Kini mereka duduk berhadapan.

Rama bersenandung sambil membaca tulisan pada tisu di depannya. “Bagus, nggak?”

Maura mendengarkan seksama lagu yang Rama nyanyikan. Kepalanya manggut-manggut mengikuti irama. “Kamu yang menciptakannya?”

“Yup!” jawab Rama singkat. Dia mencoret beberapa kata di tisu lalu menggantinya dengan kata lainnya. “Suasananya mendukung banget. Gerimis emang selalu menghadirkan sesuatu yang romantis.”

“Jangan-jangan liriknya based on true story, ya?” Tebak Maura. Rama tidak menjawab. Dia hanya bergumam sambil terus menekuni lirik lagu yang sedang diciptakannya. Lanjut Maura. “Pasti tentang Keysa.”

Rama mendongak cepat dengan dahi berkerut. “Kok tahu, sih?”

“Orang tuh kalau sedang jatuh cinta, sumringahnya terpampang nyata,” jelas Maura yang membuat dahi Rama berkerut semakin dalam. Maura melanjutkan, “Kamu bakal nembak dia?”

Rama membuang napas panjang lalu mengandikkan bahu. “Aku rasa kami bumi dan langit sekarang.”

“Kamu nggak ingin mengirim lagu-lagu ciptaanmu itu ke Keysa? Pasti bagus kalau Keysa yang nyanyi.” Maura mengamati lekat lelaki di depannya. Tanpa topi, kegantengan Rama bukanlah hoax. Rambut hitam yang tersisir rapi, hidung mancung dan lesung pipit, menggandakan kegantengan Rama.

Rama terdiam sebentar lalu menjawab, “Keysa pasti sudah punya banyak stok lagu bagus dari pencipta lagu terkenal. Apalah aku ini. Hanya remahan rengginang di pojokan toples.”

Maura bertopang dagu. “Aneh! Kamu mengantarkan Keysa meraih mimpi, tapi kamu sendiri lupa bagaimana cara meraih mimpi.”

Kata-kata Maura membuat Rama tercekat, lalu mendongak dan memandang cewek di depannya lekat-lekat. “Terkadang… kita bisa bilang sesuatu ke orang lain yang belum tentu kita sendiri bisa melakukannya.”

Ponsel Rama berdering. Suara Keysa dari ujung ponsel yang membuat Rama semakin terlihat sumringah.

Maura hanya terdiam melihat lelaki di depannya. Ada rasa sakit di hati Maura saat lelaki yang ditaksirnya lebih memperhatikan perempuan yang entah sekarang sedang perform dimana. Rama begitu dekat darinya, tapi Maura tak mampu meraihnya.

***



Indra penciuman Maura mengendus aroma maskulin. “Wow! Jadi ke tempat Keysa?”

“Yup! Aku nggak bisa datang ke konsernya, tapi aku masih bisa menemui dia setelah konser. Apalagi hari ini ulang tahunnya. Lagi pula kami janji akan bertemu setahun lagi setelah pertemuan terakhir dulu.”

Maura clingukan, “mana kado istimewanya?”

Rama menunjukkan buku lagunya. Buku dimana dia menulis semua syair lagu ciptaannya lengkap dengan note balok dari petikan gitarnya. “Seperti maumu. Aku akan memberikan semua lagu ciptaanku ke Keysa. Bagaimana pun semua lagu ini tentang dia.”

Maura tersenyum lebar tapi hatinya perih. “Good luck!”

***

Rama mengendarai motor matic merah menuju hotel tempat Keysa menggelar konser. Hampir tengah malam saat dia memarkirkan motornya di basement lalu naik ke lantai satu tempat konser digelar. Suara merdu Keysa mengakhiri lagunya disusul gemuruh tepuk tangan dari pengunjung.

Pintu hall terbuka. Keysa berjalan dikawal beberapa body guard kemudian berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan wartawan. Setelah semua selesai, Keysa  mendekat ke lift yang akan membawanya ke ruangan istirahat. Saat itulah Rama dan Keysa saling melambaikan tangan.

Keysa berjalan cepat meninggalkan para body guard, mendekati Rama yang berdiri tak jauh darinya dengan sebuket mawar merah dan buku lagunya. Namun tiba-tiba seorang lelaki berlari ke arah Keysa lalu menabraknya. Keduanya terjatuh. Lelaki itu mengeluatkan pisau lipat dari sakunya dan diarahkan ke Keysa.

Segera Rama berlari menghalau tangan lelaki berpisau itu. Sayangnya semua terlambat. Pisau itu menancap di dada kirinya. Para body guard meringkus lelaki, yang ternyata penggemar fanatik Keysa, yang yang sakit hati karena tidak bisa masuk ke ruangan konser karena tak punya tiket. Keysa histeris dan terus menyebut nama Rama. Namun Rama tak meresponnya.

***

Seminggu setelah kepergian Rama, Keysa masih berduka. Buket bunga dari Rama masih terpajang di meja riasnya. Pun demikian dengan buku lagunya. Entah sudah keberapa kali Keysa membaca semua lirik lagu di dalamnya. Besok dia akan bertemu timnya untuk mempersiapkan proyek album barunya. Semua lagu Keysa terbaru ambil dari buku lagu Rama.

Keysa yakin semua lagu yang diciptakan Rama adalah untuknya, tentangnya. Meski Rama telah tiada, tapi Keysa ingin Rama tetap hidup di hatinya.

The End




NB :
Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Kasih Tak Sampai – Padi) Sahabat Kabol Menulis #Day3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^