“Nggak ada yang berubah. Macchiato buatanmu masih paling enak.” Kesya
menyecap lagi Macchiato dari cangkir di tangannya. Angin sore itu menggoyangkan
rambut hitam sebahunya. Sinar matahari di ufuk barat menerpa lembut wajahnya.
Rama melirik
perempuan yang duduk disampingnya. “Jadi kamu lebih kangen Macchiato-ku dari
pada aku?”
Keysa
terkekeh. “Kupikir aku nggak akan pernah kembali lagi ke kota ini. Nyatanya aku
kembali.”
“Kupikir
kamu sudah nggak ingat aku lagi, nyatanya kamu ada di sini,” timpal Rama. Cowok
itu masih menggunakan seragam coffee shop
lengkap dengan topi hitam kesayangannya.
Keysa
mendesah kesal. “Kapan lagi aku bisa nyuri waktu seperti gini. Untung saja
pemotretan untuk sampul album baruku sudah selesai. Tinggal persiapan promo dan
tour setahun ke depan.”
Rama
berdecak kagum. “Orang sibuk!” Katanya sedikit mengejek. Lanjutnya, “Time flies, ya. Rasanya baru kemarin aku
ngantar kamu audisi menyanyi,” kata Rama mengenang.
Beberapa
tahun lalu Rama dan Keysa rekan kerja di coffee
shop. Disela-sela kerja, Rama sering mendengar Keysa bernyayi. Menurut
Rama, suara Keysa bagus dan punya potensi untuk menjadi penyanyi profesional.
Rama yang membujuk Keysa mengikuti ajang pemilihan bakat menyanyi. Bahkan Rama
juga yang mengambilkan formulir pendaftaran dan mengantarkannya saat awal
audisi.
Bagi Keysa,
Rama ibarat kompor yang selalu mengobarkan semangatnya. Tak jarang sepulang
kerja, Rama dan Keysa berlatih bersama. Rama yang mahir memetik gitar akan
dengan senang hati mengiringi suara merdu Keysa.
Siapa
sangka Keysa berhasil memenangkan audisi. Tidak hanya mendapatkan hadiah
kontrak album solo dari label, yang paling penting dari semuanya, Keysa dapat
membuktikan dirinya mampu mewujudkan cita-citanya menjadi seorang penyanyi,
seperti apa yang selalu diucapkan Rama selama ini.
“Makasih,
ya, Ma. Aku nggak ngerti apa jadinya tanpamu. Mungkin ini semua hanya sebatas
mimpi,” ucap Keysa.
Senyum
mengembang di bibir keduanya. Untuk beberapa detik pandangan mata mereka
beradu, hingga suara dering ponsel Keysa menggema. Keysa menolak panggilan.
“Kok nggak
diangkat?” tanya Rama dengan dahi berkerut.
Keysa
menggeleng. “Aku nggak mau diganggung. Kan aku lagi sama kamu.”
“Ouch! Aku
tersanjung!” Seru Rama yang diikuti derai tawa Keysa.
***
Maura melihat
perubahan sikap Rama. Tepatnya setelah Rama menerima tamu seorang penyanyi
jebolan ajang pencarian bakat. Maura tidak menyangka, Keysa, nama penyanyi itu,
adalah seniornya di sini, dulu. Maura dan teman-teman sempat berfoto bersama
Keysa. Bahkan foto itu kini terpajang di salah satu sudut coffee shop mereka.
Gerimis
sedikit deras sore itu. Coffee shop
sedikit lengang. Hanya ada dua orang yang sedang menikmati kehangatan kopi
pilihan mereka. Maura dapat sedikit bernapas dari kesibukan. Di sudut lain,
Rama duduk di meja paling dekat dengan bar dan menulis sesuatu di kertas tisu.
“Sibuk
banget, Ma. Ngapain, sih?” Maura menarik kursi di depan Rama. Kini mereka duduk
berhadapan.
Rama
bersenandung sambil membaca tulisan pada tisu di depannya. “Bagus, nggak?”
Maura
mendengarkan seksama lagu yang Rama nyanyikan. Kepalanya manggut-manggut
mengikuti irama. “Kamu yang menciptakannya?”
“Yup!”
jawab Rama singkat. Dia mencoret beberapa kata di tisu lalu menggantinya dengan
kata lainnya. “Suasananya mendukung banget. Gerimis emang selalu menghadirkan
sesuatu yang romantis.”
“Jangan-jangan
liriknya based on true story, ya?”
Tebak Maura. Rama tidak menjawab. Dia hanya bergumam sambil terus menekuni
lirik lagu yang sedang diciptakannya. Lanjut Maura. “Pasti tentang Keysa.”
Rama
mendongak cepat dengan dahi berkerut. “Kok tahu, sih?”
“Orang tuh
kalau sedang jatuh cinta, sumringahnya terpampang nyata,” jelas Maura yang
membuat dahi Rama berkerut semakin dalam. Maura melanjutkan, “Kamu bakal nembak
dia?”
Rama
membuang napas panjang lalu mengandikkan bahu. “Aku rasa kami bumi dan langit
sekarang.”
“Kamu nggak
ingin mengirim lagu-lagu ciptaanmu itu ke Keysa? Pasti bagus kalau Keysa yang
nyanyi.” Maura mengamati lekat lelaki di depannya. Tanpa topi, kegantengan Rama
bukanlah hoax. Rambut hitam yang
tersisir rapi, hidung mancung dan lesung pipit, menggandakan kegantengan Rama.
Rama
terdiam sebentar lalu menjawab, “Keysa pasti sudah punya banyak stok lagu bagus
dari pencipta lagu terkenal. Apalah aku ini. Hanya remahan rengginang di
pojokan toples.”
Maura
bertopang dagu. “Aneh! Kamu mengantarkan Keysa meraih mimpi, tapi kamu sendiri
lupa bagaimana cara meraih mimpi.”
Kata-kata
Maura membuat Rama tercekat, lalu mendongak dan memandang cewek di depannya
lekat-lekat. “Terkadang… kita bisa bilang sesuatu ke orang lain yang belum
tentu kita sendiri bisa melakukannya.”
Ponsel Rama
berdering. Suara Keysa dari ujung ponsel yang membuat Rama semakin terlihat
sumringah.
Maura hanya
terdiam melihat lelaki di depannya. Ada rasa sakit di hati Maura saat lelaki yang
ditaksirnya lebih memperhatikan perempuan yang entah sekarang sedang perform dimana. Rama begitu dekat
darinya, tapi Maura tak mampu meraihnya.
***
Indra
penciuman Maura mengendus aroma maskulin. “Wow! Jadi ke tempat Keysa?”
“Yup! Aku
nggak bisa datang ke konsernya, tapi aku masih bisa menemui dia setelah konser.
Apalagi hari ini ulang tahunnya. Lagi pula kami janji akan bertemu setahun lagi
setelah pertemuan terakhir dulu.”
Maura
clingukan, “mana kado istimewanya?”
Rama
menunjukkan buku lagunya. Buku dimana dia menulis semua syair lagu ciptaannya
lengkap dengan note balok dari petikan gitarnya. “Seperti maumu. Aku akan
memberikan semua lagu ciptaanku ke Keysa. Bagaimana pun semua lagu ini tentang
dia.”
Maura
tersenyum lebar tapi hatinya perih. “Good luck!”
***
Rama
mengendarai motor matic merah menuju hotel tempat Keysa menggelar konser.
Hampir tengah malam saat dia memarkirkan motornya di basement lalu naik ke lantai satu tempat konser digelar. Suara
merdu Keysa mengakhiri lagunya disusul gemuruh tepuk tangan dari pengunjung.
Pintu hall
terbuka. Keysa berjalan dikawal beberapa body
guard kemudian berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan wartawan.
Setelah semua selesai, Keysa mendekat ke
lift yang akan membawanya ke ruangan istirahat. Saat itulah Rama dan Keysa
saling melambaikan tangan.
Keysa
berjalan cepat meninggalkan para body
guard, mendekati Rama yang berdiri tak jauh darinya dengan sebuket mawar
merah dan buku lagunya. Namun tiba-tiba seorang lelaki berlari ke arah Keysa
lalu menabraknya. Keduanya terjatuh. Lelaki itu mengeluatkan pisau lipat dari
sakunya dan diarahkan ke Keysa.
Segera Rama
berlari menghalau tangan lelaki berpisau itu. Sayangnya semua terlambat. Pisau
itu menancap di dada kirinya. Para body guard meringkus lelaki, yang ternyata penggemar
fanatik Keysa, yang yang sakit hati karena tidak bisa masuk ke ruangan konser
karena tak punya tiket. Keysa histeris dan terus menyebut nama Rama. Namun Rama
tak meresponnya.
***
Seminggu
setelah kepergian Rama, Keysa masih berduka. Buket bunga dari Rama masih terpajang
di meja riasnya. Pun demikian dengan buku lagunya. Entah sudah keberapa kali
Keysa membaca semua lirik lagu di dalamnya. Besok dia akan bertemu timnya untuk
mempersiapkan proyek album barunya. Semua lagu Keysa terbaru ambil dari buku lagu Rama.
Keysa yakin
semua lagu yang diciptakan Rama adalah untuknya, tentangnya. Meski Rama telah
tiada, tapi Keysa ingin Rama tetap hidup di hatinya.
The End
NB :
Cerpen ini
diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Kasih Tak Sampai – Padi) Sahabat Kabol Menulis #Day3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^