Selasa, 04 Agustus 2020

[Cerpen] - Gone Without A Goodbye

“Aku menyuruhmu memata-matainya, bukan memacarinya!” Lelaki paruh baya itu menatap lekat anak buahnya.

“Itu hanya taktik. Buktinya selama ini aku mendapat lebih banyak informasi tentang Fabio dari pada agenmu yang lain, bukan.” Andrew membela diri.

Lelaki itu bergeming seolah menimbang. Apa yang dikatakan anak buahnya itu memang benar. Selama ini Andrew memiliki banyak informasi akurat untuk misi-misinya. Salah satu kuncinya ada pada perempuan di ring satu Fabio bernama Anastasia.

“Baiklah. Tapi aku akan selalu mengingatkanmu. Banyak agen yang gagal dalam misi, bukan karena mereka tidak kompeten. Tapi lebih karena mereka gegabah saat jatuh cinta.” Lelaki itu memberi tekanan pada kalimat terakhirnya.

Andrew mengangguk paham. Dia mengerti kata-kata itu ditujukan padanya bukan tanpa alasan. Atasannya mewanti-wanti nasibnya jangan seperti beberapa senior yang gagal menjalankan tugasnya karena masalah hati.

***

Ponsel Alice berdering tepat lima belas menit penantiannya di sebuah restoran bergaya modern dengan dominasi warna abu-abu di tengah kota. Perempuan itu langsung mengenali nomor yang muncul di layar ponselnya. Dia sengaja tidak menyimpan nomor Andrew demi keselamatan bersama. Bahkan Alice menghapus semua jejak komunikasi dengan lelaki itu.

“Pergilah dari restoran itu.” Lelaki itu memberi instruksi. “Kau tidak aman di sana. Lelaki berkemeja merah yang duduk di belakangmu, dia orang Fabio.”

Alice menyapukan pandangan ke sekeliling restoran. Dia mendapati lelaki berkemeja merah di belakangnya sedang menekuri buku menu. Entah itu hanya pura-pura atau memang dia sedang menimbang makanan apa yang akan dipesannya.

“Berjalanlah ke belakang.” Alice mendnegarkan dengan seksama. “Berbeloklah ke dapur lalu keluarlah lewat pintu belakang.”

Setelah mengamankan ponsel di dalam tas, Alice berjalan dengan tenang menuju dapur restoran. Semua orang di tempat itu sibuk dengan berbagai aktivitas memasak makanan pesanan. Beberapa orang mempersiapkan bahan makanan, dan sebagain lainnya meramu bumbu lalu memasukkan ke dalam masakan. Semua bumbu itu menghadirkan aroma lezat di indra penciuman Alice.

“Hai, ini bukan jalan umum!” suara lelaki di ujung dapur yang mengundnag rekannya yang lain menoleh ke arah Alice.

“Emergensi. Seseorang menungguku di belakang,” ucap Alice sedikit memohon lalu berusaha berjalan cepat tanpa banyak bicara. Ponsel perempuan berambut pixie berwarna burgundy itu bordering lagi. Orang yang sama di ujung telpon terus memberi instruksi kemana dia harus pergi.

***

Andrew mengamati lekat perempuan yang duduk di depannya. Meski bukan orang baru dalam hidupnya, tapi banyak yang berubah dari Alice. Andrew dan Alice berteman saat sekolah menengah pertama. Mereka pernah pacaran dua tahun saat sekolah menegah atas. Masih berteman di tahun pertama kuliah. Namun setelah itu, mereka putus komunikasi. Alice menghilang seolah ditelan bumi.

Beberapa tahun berikutnya, Andrew bertemu kembali dengan Alice sebagai salah satu orang kepercayaan Fabio, gangster penyelundup senjata terbesar. Keterlibatan Alice dalam gangster itu melalui ayahnya.

Ayah Alice sangat dekat dengan Fabio. Dia memiliki hutang banyak kepada gangster itu. Alice sebagai jaminan pelunasan hutang ayahnya. Sejak itulah Alice bekerja pada Fabio.

“Akan ada barang masuk lewat pelabuhan sekitar jam 1 malam,” jelas Alice sambil sesekali menyecap espresso dari cangkirnya. Andrew menyimak dengan seksama. Lanjutnya, “Castro yang akan menerimanya.”

“Aku akan pastikan semua akan berakhir malam itu.” Andrew menghela napas panjang lalu menyecap kopi hitamnya. Suasana kedai kopi di pinggiran kota ini tak begitu ramai. Andrew merasa lebih aman membawa Alice kemari.

“Kau tahu,” suara Alice terdengar ragu. Wajahnya tertunduk. Lanjutnya, “sering aku berharap kita tidak bertemu seperti ini. Bukan seperti informan dan agen rahasia.” Alice mendongak. “Aku ingin kita seperti dulu lagi, menjalani hidup normal seperti kebanyakan manusia.”

“Apa kau yakin?” tanya Andrew tegas. Untuk sesaat pandangan mata mereka beradu. “Fabio tak akan melepasmu begitu saja.”

“Aku tahu,” jawab Alice cepat. Tangannya memutar-mutar cangkir. “Semua keputusan ada konsekuensinya. Aku takut ...” Suara Alice mulai bergetar.

Andrew mengangkat tangan Alice, meletakannya di tepalak tangannya, lalu menggenggamnya erat. “Tenanglah! Kau aman bersamaku! Aku berjanji, setelah misi selesai, aku akan membawamu keluar dari semua ini.”

***

Alice sudah sampai di apartemennya satu jam yang lalu, tapi Andrew belum beranjak dari mobilnya yang diparkir satu blok dari apartemen Alice. Dia berpikir keras, mencari cara untuk mengeluarkan Alice dari masalah ini. Di saat itulah, Andrew melihat Castro melintas dari arah apartemen Alice. Andrew merasa ada yang tidak beres. Dia percaya, dimana ada Castro, di situ terjadi sesuatu.

Andrew memacu mobilnya hingga ke depan apartemen Alice. Beruntung, salah seorang penghuni apartemen hendak masuk. Andrew mengikuti di belakangnya lalu bergegas naik ke lantai empat. Andrew melihat pintu apartemen Alice terbuka dan menemukan perempuan yang dicintainya itu tergeletak dengan luka tembak.

***

“Aku tak mau kematian Natasa merusak akal sehatmu,” pesan terakhir atasannya sebelum Andrew berangkat melakukan misi terakhirnya.

Tepat pukul satu Andrew dan pasukan black eagle, sudah bersiap di pelabuhan. Mereka adalah pasukan khusus yang dibentuk untuk berhadap langsung dengan para gangster dan kartel. Pasukan dengan seragam tentara serba hitam itu disebar, bersembunyi di antara kapal yang bersandar, atau juga di atap peti kemas yang berjajar.

Sebuah speed boat merapat. Mereka menurunkan 3 pati kayu yang diduga berisi senjata selundupan. Castro, kaki tangan Fabio, ada di sana sedang bertransaksi dengan beberapa lelaki berkulit gelap. Salah satu dari mereka dikenal dengan nama Ponco. Pedagang senjata kelas internasional.

Castro membuka 5 koper berisi uang kertas. Di tengah transaksi, salah tiga penembak jitu black eagle berhasil menembak beberapa orang berkulit gelap. Insiden ini membuat kelompok Ponco merasa dikhianati oleh Castro.

Masing-masing kelompok, baik Castro maupun Ponco saling mengarahkan senjata. Mereka sama-sama merasa dikhianati kelompok lawannya. Adu domba berhasil. Baku tembak tak terelakkan. Banyak korban berjatuhan di kedua belah pihak. Di saat itulah Black Eagle masuk dan melumpuhkan semuanya.

***

Andrew memindai setiap kalimat di koran pagi ini. Fabio ditangkap pihak kepolisian atas dugaan penyelundukan senjata, aksi kekerasan, dan pembunuhan. Semua bukti kuat yang telah terkumpul akan membawa lelaki tambun berusia hampir 60 tahun itu pada hukuman mati.

Andrew memandang selembar foto di tangannya. Foto itu diambil beberapa hari sebelum perempuan berambut pixy burgundy itu ditembak. Anastasi, demikain orang mengenalnya. Andrew lebih senang memangilnya Alice. Dia terlalu akrab dengan nama itu. Nama yang dia gunakan saat memanggil Anastasia semenjak sekolah dulu. Nama yang sama dengan tokoh yang Anastasia perankan di drama sekolah, Alice in Wonderland.

“Kopi?” Seorang perempuan meletakkan segelas kopi hitam panas di depan Andrew.

Andrew menerima kopi dengan uap mengebul itu lalu menyecapnya sedikit. “Thanks, Alice.”

Alice tak menjawab. Dia hanya tersenyum dan menyecap teh manisnya. Kedekatannya dengan Alice bukan sekedar cara agar dia mendapatkan infromasi dari orang dalam Fabio seperti yang sering dia katakan kepada atasannya. Andrew benar-benar mencintai Alice.

Andrew berhasil menyelamatkan perempuan berambut pixy burgundy pujaan hatinya. Dia mengganti semua identitasnya dari Anastasia menjadi Alice. Penampilan Alice pun berubah. Dia kini memanjangkan rambutnya dan mengubah warnanya ombre cokelat gelap – pirang. Orang beranggapan Anastasia telah mati, tapi tidak dengan Alice.

The End


NB :

Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Seandainya Bisa Memilih – Padi) Sahabat Kabol Menulis #Day4

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^