“Aku menyuruhmu memata-matainya,
bukan memacarinya!” Lelaki paruh baya itu menatap lekat anak buahnya.
“Itu hanya taktik. Buktinya selama
ini aku mendapat lebih banyak informasi tentang Fabio dari pada agenmu yang
lain, bukan.” Andrew membela diri.
Lelaki itu bergeming seolah
menimbang. Apa yang dikatakan anak buahnya itu memang benar. Selama ini Andrew
memiliki banyak informasi akurat untuk misi-misinya. Salah satu kuncinya ada pada
perempuan di ring satu Fabio bernama Anastasia.
“Baiklah. Tapi aku akan selalu
mengingatkanmu. Banyak agen yang gagal dalam misi, bukan karena mereka tidak
kompeten. Tapi lebih karena mereka gegabah saat jatuh cinta.” Lelaki itu
memberi tekanan pada kalimat terakhirnya.
Andrew mengangguk paham. Dia mengerti
kata-kata itu ditujukan padanya bukan tanpa alasan. Atasannya mewanti-wanti
nasibnya jangan seperti beberapa senior yang gagal menjalankan tugasnya karena
masalah hati.
***
Ponsel Alice berdering tepat lima
belas menit penantiannya di sebuah restoran bergaya modern dengan dominasi
warna abu-abu di tengah kota. Perempuan itu langsung mengenali nomor yang
muncul di layar ponselnya. Dia sengaja tidak menyimpan nomor Andrew demi
keselamatan bersama. Bahkan Alice menghapus semua jejak komunikasi dengan lelaki
itu.
“Pergilah dari restoran itu.”
Lelaki itu memberi instruksi. “Kau tidak aman di sana. Lelaki berkemeja merah
yang duduk di belakangmu, dia orang Fabio.”
Alice menyapukan pandangan ke
sekeliling restoran. Dia mendapati lelaki berkemeja merah di belakangnya sedang
menekuri buku menu. Entah itu hanya pura-pura atau memang dia sedang menimbang
makanan apa yang akan dipesannya.
“Berjalanlah ke belakang.” Alice
mendnegarkan dengan seksama. “Berbeloklah ke dapur lalu keluarlah lewat pintu
belakang.”
Setelah mengamankan ponsel di dalam
tas, Alice berjalan dengan tenang menuju dapur restoran. Semua orang di tempat
itu sibuk dengan berbagai aktivitas memasak makanan pesanan. Beberapa orang
mempersiapkan bahan makanan, dan sebagain lainnya meramu bumbu lalu memasukkan
ke dalam masakan. Semua bumbu itu menghadirkan aroma lezat di indra penciuman
Alice.
“Hai, ini bukan jalan umum!” suara
lelaki di ujung dapur yang mengundnag rekannya yang lain menoleh ke arah Alice.
“Emergensi. Seseorang menungguku di
belakang,” ucap Alice sedikit memohon lalu berusaha berjalan cepat tanpa banyak
bicara. Ponsel perempuan berambut pixie berwarna burgundy itu bordering lagi.
Orang yang sama di ujung telpon terus memberi instruksi kemana dia harus pergi.
***
Andrew mengamati lekat perempuan
yang duduk di depannya. Meski bukan orang baru dalam hidupnya, tapi banyak yang
berubah dari Alice. Andrew dan Alice berteman saat sekolah menengah pertama.
Mereka pernah pacaran dua tahun saat sekolah menegah atas. Masih berteman di
tahun pertama kuliah. Namun setelah itu, mereka putus komunikasi. Alice
menghilang seolah ditelan bumi.
Beberapa tahun berikutnya, Andrew
bertemu kembali dengan Alice sebagai salah satu orang kepercayaan Fabio,
gangster penyelundup senjata terbesar. Keterlibatan Alice dalam gangster itu
melalui ayahnya.
Ayah Alice sangat dekat dengan
Fabio. Dia memiliki hutang banyak kepada gangster itu. Alice sebagai jaminan
pelunasan hutang ayahnya. Sejak itulah Alice bekerja pada Fabio.
“Akan ada barang masuk lewat pelabuhan
sekitar jam 1 malam,” jelas Alice sambil sesekali menyecap espresso dari
cangkirnya. Andrew menyimak dengan seksama. Lanjutnya, “Castro yang akan
menerimanya.”
“Aku akan pastikan semua akan
berakhir malam itu.” Andrew menghela napas panjang lalu menyecap kopi hitamnya.
Suasana kedai kopi di pinggiran kota ini tak begitu ramai. Andrew merasa lebih
aman membawa Alice kemari.
“Kau tahu,” suara Alice terdengar
ragu. Wajahnya tertunduk. Lanjutnya, “sering aku berharap kita tidak bertemu
seperti ini. Bukan seperti informan dan agen rahasia.” Alice mendongak. “Aku
ingin kita seperti dulu lagi, menjalani hidup normal seperti kebanyakan
manusia.”
“Apa kau yakin?” tanya Andrew tegas.
Untuk sesaat pandangan mata mereka beradu. “Fabio tak akan melepasmu begitu
saja.”
“Aku tahu,” jawab Alice cepat.
Tangannya memutar-mutar cangkir. “Semua keputusan ada konsekuensinya. Aku takut
...” Suara Alice mulai bergetar.
Andrew mengangkat tangan Alice,
meletakannya di tepalak tangannya, lalu menggenggamnya erat. “Tenanglah! Kau
aman bersamaku! Aku berjanji, setelah misi selesai, aku akan membawamu keluar
dari semua ini.”
***
Alice sudah sampai di apartemennya
satu jam yang lalu, tapi Andrew belum beranjak dari mobilnya yang diparkir satu
blok dari apartemen Alice. Dia berpikir keras, mencari cara untuk mengeluarkan
Alice dari masalah ini. Di saat itulah, Andrew melihat Castro melintas dari
arah apartemen Alice. Andrew merasa ada yang tidak beres. Dia percaya, dimana
ada Castro, di situ terjadi sesuatu.
Andrew memacu mobilnya hingga ke
depan apartemen Alice. Beruntung, salah seorang penghuni apartemen hendak masuk.
Andrew mengikuti di belakangnya lalu bergegas naik ke lantai empat. Andrew
melihat pintu apartemen Alice terbuka dan menemukan perempuan yang dicintainya
itu tergeletak dengan luka tembak.
***
“Aku tak mau kematian Natasa merusak
akal sehatmu,” pesan terakhir atasannya sebelum Andrew berangkat melakukan misi
terakhirnya.
Tepat pukul satu Andrew dan pasukan
black eagle, sudah bersiap di pelabuhan. Mereka adalah pasukan khusus yang
dibentuk untuk berhadap langsung dengan para gangster dan kartel. Pasukan dengan
seragam tentara serba hitam itu disebar, bersembunyi di antara kapal yang
bersandar, atau juga di atap peti kemas yang berjajar.
Sebuah speed boat merapat. Mereka
menurunkan 3 pati kayu yang diduga berisi senjata selundupan. Castro, kaki
tangan Fabio, ada di sana sedang bertransaksi dengan beberapa lelaki berkulit
gelap. Salah satu dari mereka dikenal dengan nama Ponco. Pedagang senjata kelas
internasional.
Castro membuka 5 koper berisi uang
kertas. Di tengah transaksi, salah tiga penembak jitu black eagle berhasil
menembak beberapa orang berkulit gelap. Insiden ini membuat kelompok Ponco
merasa dikhianati oleh Castro.
Masing-masing kelompok, baik Castro
maupun Ponco saling mengarahkan senjata. Mereka sama-sama merasa dikhianati
kelompok lawannya. Adu domba berhasil. Baku tembak tak terelakkan. Banyak
korban berjatuhan di kedua belah pihak. Di saat itulah Black Eagle masuk dan
melumpuhkan semuanya.
***
Andrew memindai setiap kalimat di
koran pagi ini. Fabio ditangkap pihak kepolisian atas dugaan penyelundukan senjata,
aksi kekerasan, dan pembunuhan. Semua bukti kuat yang telah terkumpul akan
membawa lelaki tambun berusia hampir 60 tahun itu pada hukuman mati.
Andrew memandang selembar foto di
tangannya. Foto itu diambil beberapa hari sebelum perempuan berambut pixy
burgundy itu ditembak. Anastasi, demikain orang mengenalnya. Andrew lebih
senang memangilnya Alice. Dia terlalu akrab dengan nama itu. Nama yang dia
gunakan saat memanggil Anastasia semenjak sekolah dulu. Nama yang sama dengan
tokoh yang Anastasia perankan di drama sekolah, Alice in Wonderland.
“Kopi?” Seorang perempuan
meletakkan segelas kopi hitam panas di depan Andrew.
Andrew menerima kopi dengan uap
mengebul itu lalu menyecapnya sedikit. “Thanks, Alice.”
Alice tak menjawab. Dia hanya
tersenyum dan menyecap teh manisnya. Kedekatannya dengan Alice bukan sekedar
cara agar dia mendapatkan infromasi dari orang dalam Fabio seperti yang sering
dia katakan kepada atasannya. Andrew benar-benar mencintai Alice.
Andrew berhasil menyelamatkan perempuan berambut pixy burgundy pujaan hatinya. Dia mengganti semua identitasnya dari Anastasia menjadi Alice. Penampilan Alice pun berubah. Dia kini memanjangkan rambutnya dan mengubah warnanya ombre cokelat gelap – pirang. Orang beranggapan Anastasia telah mati, tapi tidak dengan Alice.
The End
NB :
Cerpen ini
diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Seandainya
Bisa Memilih – Padi) Sahabat Kabol Menulis #Day4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^