“Menyebalkan!” Pagi-pagi Laras sudah ngomel karena
harus merevisi dokumen yang akan dipresentasikan Aditya, atasannya. Sebenarnya
ini bukan tugas sulit. Hanya saja, perintah itu keluar 1 jam sebelum presentasi
dimulai.
Sudah sebulan ini Laras pindah kerja. Sebagai asisten
pribadi, dia harus menyesuaikan banyak hal baru, termasuk kebiasaan atasannya
yang suka mengubah segala sesuatu yang sudah dipersiapan di detik-detik
terakhir.
Rapat perusahaan berjalan hanya 3 jam, bagi Laras seperti
seharian. Dia butuh asupan kafein panas untuk penyegaran raga dan otaknya.
“Gelas keberapa?” Suara lelaki di belakangnya
mengagetkan Laras.
“Dua!” jawab Laras sambil mengangkat cangkirnya lalu
menyecap kopi hitamnya.
“Pasti ini hari yang melelahkan sampai-sampai jam
segini sudah habis 2 cangkir,” Bagas, anak keuangan, meletakkan cangkirnya di
dispenser lalu menekan tombol air panas.
“Aku sangat bersyukur karena Tuhan menciptakan kopi di
dunia ini …” Baru saja Laras menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berbunyi.
“Jangan pacaran di pantry!” kata lelaki di ujung
ponsel tanpa basa basi yang sontak membuat Laras celingukan. Perempuan itu
memastikan tidak ada orang lain di tempat ini kecuali Bagas dan dirinya, tapi
dari mana Aditya tahu kalau dia sedang ada di pantry bersama Bagas.
“Atasanmu memberi titah agar kamu segera menghadap,”
tebak Bagas. Laras menghela napas panjang, lalu tersenyum sambil
manggut-manggut membenarkan. “Lebih baik kamu berbegas sebelum dia
memerintahkan pasukan khusus untuk menjemputmu.”
Laras menyecap kopinya sekali lagi sebelum meninggalkan
pantry. Namun beberapa langkah, Bagas kembali memanggilnya. “Ras, Sabtu nonton,
yuk! Aku jemput jam 7, ya.”
“Aku …” Belum sempat Laras menjawab, lelaki berkaca
mata dengan rambut belah samping itu sudah pergi menuju ruangannya.
***
Seharusnya Laras libur, tapi siapa sangka pagi-pagi
benar Aditya menelpon dan memintanya menemani meninjau salah satu proyek di
luar kota. Laras hanya sarapan sandwich yang dibuatnya dadakan seperti tahu
bulat. Untung saja dia masih bisa menikmati kopi sehingga asupan kafeinnya masih
tercukupi.
Aditya duduk di sampingnya, menyetir mobil sambil
terus membicarakan proyek. Suara lelaki itu timbul tenggelam di telinga Laras. Perpaduan
raga yang lelah dan perut yang keroncongan membuat Laras pening.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Aditya, tidak mendapat
respon dari Laras. Perempuan itu memejamkan mata sambil memijat keningnya.
“Ras?” Suara Aditya lagi yang kali ini berhasil mengembalikan kesadaran Laras.
“Eh, iya, Pak.”. Sebenarnya Laras merasa aneh saat
memanggil Aditya dengan dengan panggilan pak.
Laras yakin, umur Aditya tidak jauh beda dengannya. Atau malah sebenarnya
mereka seumuran. Lanjut Laras, “saya dengerin, kok.”
Seketika perut Laras protes minta diisi. Laras malu,
tapi Aditya pengertian. Dia membelokkan mobilnya ke kedai makanan cepat saji
saat hari mulai gelap. Tanpa bertanya, Aditya memesan beberapa makanan.
“Kebab pedas ekstra keju.” Laras menerima kotak beraroma
gurih itu dari Aditya. “Dan segelas Macchiato dingin.”
Sejenak Laras terdiam dengan dahi berkerut. “Bapak
tahu dari mana saya suka semua ini?”
“Menebak saja,” jawab Aditya. Sambil terus menyetir,
lelaki itu menikmati kebab tanpa selada di tangan kanannya sambil sesekali
menyecap cappucino-nya.
Ponsel Laras berdering. Perempuan itu membaca nama yang
muncul di layarnya. Laras menolak panggilan lalu memasukkan ponselnya ke tas.
“Dari pacar?”
“Bapak sok tahu banget, ya.” Laras menggigit sedikit
kebabnya.
“Malam minggu gini siapa lagi yang telpon kalau bukan
pacar, gebetan. Saya sengaja ngajak kamu biar kamu nggak jalan sama Bagas.”
Laras berhenti mengunyah, matanya membulat. Dia curiga
Aditya memang ada di pantry saat itu dan menguping pembicaraannya dengan Bagas.
“Urusan bapak apa, ya?”
“Saya nggak suka aja Bagas pedekate ke kamu.”
Laras menelan dengan susah kebab di mulutnya. “Maksud
bapak?”
Aditya hanya menggeleng lalu diam. Hujan turun lebat
menambah keheningan diantara keduanya. Laras semakin merasa ada yang aneh dengan
atasannya ini.
***
“Kamu kerja di situ?” tanya Doni, teman sekolah Laras
dulu. Kini lelaki itu membuka gerai kopi kekinian di food court, di seberang kantor
Laras. Laras mengangguk lalu menyeruput Macchiato-nya. Lanjut Doni, “Berarti
kamu sekantor dengan Paundra, dong.”
Laras tercekat mendengar nama itu. Matanya membulat
lalu menoleh ke Doni. “Jangan-jangan kalian sudah balikan, ya?”
Laras mengerutkan dahi. Paundra adalah lelaki dari
masa lalunya saat sekolah. Dia pernah membuat hati Laras merana hingga tidak
mau lagi membuka hati untuk lelaki.
“Paundra yang sekarang jauh berbeda dari yang dulu.
Dia sudah banyak berubah.” Kata-kata terakhir Doni sebelum Laras pamit kembali
ke kantor terus terngiang di telinganya.
Laras berusaha mencari tahu kebenaran ucapan Doni lewat
Sheila, anak HRD. Sheila adalah teman kos Laras saat kuliah. Meski berbeda
jurusan tapi mereka akrab. Dari Sheila pula Laras tahu ada lowongan di kantor
ini.
“Sheil, kamu kan sudah lama kerja di sini. Ada yang
namanya Paundra, nggak?” tanya Laras sedikit ragu.
Sheila mendongak dari laptopnya dengan alis terangkat.
“Atasan kamu itu namanya Paundra. Orang mengenalnya Aditya Sudibyo. Tapi nama
panjangnya Aditya P Sudibyo. P untuk Paundra.”
Laras melongo mendengar penjelasan Sheila. Lanjut
perempuan itu, “dia sendiri yang memilihmu di antara banyak pelamar untuk
posisimu sekarang. Kenapa?”
“Oh, nggak apa-apa. Thanks.” Laras bergegas keluar
dari kubikel Sheila sebelum perempuan itu bertanya lebih jauh.
***
“Kamu ninggalin aku bertahun-tahun tanpa kabar berita.
Ponselmu tidak bisa dihubungi, semua media sosialmu leyap, teman-temanmu tak
satupun mau memberi tahuku keberadaanmu.” Suara Laras beradu kencang dengan angin
di roof top. Lanjutnya, “kamu orang paling menyebalkan di dunia!”
“Aku nggak pernah ninggalin kamu,” ucap Paundra cepat.
“Aku hanya perlu waktu untuk berpikir tentang hidupku.” Lelaki itu mencoba
menjelaskan. “Terakhir kali aku ke rumahmu dan bertemu orang tuamu, aku sadar
mereka tidak suka denganku. Yeah, mana ada orang tua yang rela menyerahkan anak
perempuannya ke brandalan seperti aku.”
Laras terdiam. Dia melihat lelaki di depannya lekat. Paundra
melanjutkan, “aku berusaha memantaskan diri, Ras. Aku belajar lagi agar bisa
masuk universitas. Aku kerja pagi, kuliah malam. Semua kulakukan agar aku bisa
dianggap layak oleh orang tuamu.”
Mata Laras menghangat. Dia menarik napas panjang. “Apa
kamu sekarang sudah merasa pantas?”
“Yeah, lumayan, sih.” Paundra menggaruk kepalanya yang
tidak gatal membuat Laras seolah melihat lelaki di depannya itu Paundra yang
dulu, lelaki yang pernah merebut hatinya, bukan atasannya yang menyebalkan. “Jadi
… nikah, yuk!”
Bulir hangat mengalir dari sudut mata Laras. “Kamu tuh
nggak ada romantis romantisnya.” Suara Laras bergetar.
Paundra menghela napas. “Apa perlu aku menghilang lagi
untuk belajar jadi romantis?”
“Kelamaan!” Ucap Laras cepat. Wajahnya kini cemberut. “Ntar
kamu keburu ditikung!”
“Hah?! Ditikung siapa? Bagas?” Pandra menebak lalu memasang
wajah serius. “Baiklah. Larasati, maukah kamu menghabiskan sisa hidupmu
bersamaku?”
“Kamu belajar ngomong gitu dari mana?” Laras tidak
segera menjawab. Dia sengaja mengulur waktu untuk melihat kesungguhan Paundra.
Ini juga caranya memantapkan hati, melanggar janjinya sendiri untuk menerima
Paundra kembali.
“Aku penikmat film Rambo yang harus bating setir tiga
hari tiga malam nonton film romantis, hanya untuk menghafal dialog semacam ini.”
Di sudut lain, Doni yang sedari tadi melihat kedua
temannya itu menjadi gemas. “Sudah buruan! Kelamaan!” Doni mengarahkan kamera
ponselnya ke arah kedua sejoli yang kasmaran. Dia sengaja live di Instagram. Kapan
lagi Doni bisa mendapatkan konten sebagus ini.
Paundra berdehem. “Aku ulang sekali lagi.” Dia
berjongkok di depan Laras. Tangannya mengeluarkan sebuah cicin dengan berlian
tunggal di tengahnya. “Larasati, would
you marry me?”
Hati Laras campur aduk, antara bahagia dan ingin
menangis. Namun yang pasti Laras mengangguk mantap sebagai jawaban ajakan
Paundra.
Gerimis turun tepat saat Paundra menyematkan cicin ke
jari manis Laras.
“Dahsyat, Gaes. Sepertinya semesta mengamini cinta mereka. Pantangin terus Instagram aku. Siapa tahu setelah ini, gantian aku yang melamar seseorang. Apakah seseorang itu kamu?” Doni mengakhiri live Instagram dengan banyak follower yang mengamini.
The End
NB :
Cerpen ini
diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Ruang Rindu – Letto) Sahabat Kabol Menulis #Day5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^