Rabu, 05 Agustus 2020

[Cerpen] - A Broken Vow

“Menyebalkan!” Pagi-pagi Laras sudah ngomel karena harus merevisi dokumen yang akan dipresentasikan Aditya, atasannya. Sebenarnya ini bukan tugas sulit. Hanya saja, perintah itu keluar 1 jam sebelum presentasi dimulai.

Sudah sebulan ini Laras pindah kerja. Sebagai asisten pribadi, dia harus menyesuaikan banyak hal baru, termasuk kebiasaan atasannya yang suka mengubah segala sesuatu yang sudah dipersiapan di detik-detik terakhir.

Rapat perusahaan berjalan hanya 3 jam, bagi Laras seperti seharian. Dia butuh asupan kafein panas untuk penyegaran raga dan otaknya.

“Gelas keberapa?” Suara lelaki di belakangnya mengagetkan Laras.

“Dua!” jawab Laras sambil mengangkat cangkirnya lalu menyecap kopi hitamnya.

“Pasti ini hari yang melelahkan sampai-sampai jam segini sudah habis 2 cangkir,” Bagas, anak keuangan, meletakkan cangkirnya di dispenser lalu menekan tombol air panas.

“Aku sangat bersyukur karena Tuhan menciptakan kopi di dunia ini …” Baru saja Laras menyelesaikan kalimatnya, ponselnya berbunyi.

“Jangan pacaran di pantry!” kata lelaki di ujung ponsel tanpa basa basi yang sontak membuat Laras celingukan. Perempuan itu memastikan tidak ada orang lain di tempat ini kecuali Bagas dan dirinya, tapi dari mana Aditya tahu kalau dia sedang ada di pantry bersama Bagas.

“Atasanmu memberi titah agar kamu segera menghadap,” tebak Bagas. Laras menghela napas panjang, lalu tersenyum sambil manggut-manggut membenarkan. “Lebih baik kamu berbegas sebelum dia memerintahkan pasukan khusus untuk menjemputmu.”

Laras menyecap kopinya sekali lagi sebelum meninggalkan pantry. Namun beberapa langkah, Bagas kembali memanggilnya. “Ras, Sabtu nonton, yuk! Aku jemput jam 7, ya.”

“Aku …” Belum sempat Laras menjawab, lelaki berkaca mata dengan rambut belah samping itu sudah pergi menuju ruangannya.

***

Seharusnya Laras libur, tapi siapa sangka pagi-pagi benar Aditya menelpon dan memintanya menemani meninjau salah satu proyek di luar kota. Laras hanya sarapan sandwich yang dibuatnya dadakan seperti tahu bulat. Untung saja dia masih bisa menikmati kopi sehingga asupan kafeinnya masih tercukupi.

Aditya duduk di sampingnya, menyetir mobil sambil terus membicarakan proyek. Suara lelaki itu timbul tenggelam di telinga Laras. Perpaduan raga yang lelah dan perut yang keroncongan membuat Laras pening.

“Bagaimana menurutmu?” tanya Aditya, tidak mendapat respon dari Laras. Perempuan itu memejamkan mata sambil memijat keningnya. “Ras?” Suara Aditya lagi yang kali ini berhasil mengembalikan kesadaran Laras.

“Eh, iya, Pak.”. Sebenarnya Laras merasa aneh saat memanggil Aditya dengan dengan panggilan pak. Laras yakin, umur Aditya tidak jauh beda dengannya. Atau malah sebenarnya mereka seumuran. Lanjut Laras, “saya dengerin, kok.”

Seketika perut Laras protes minta diisi. Laras malu, tapi Aditya pengertian. Dia membelokkan mobilnya ke kedai makanan cepat saji saat hari mulai gelap. Tanpa bertanya, Aditya memesan beberapa makanan.

“Kebab pedas ekstra keju.” Laras menerima kotak beraroma gurih itu dari Aditya. “Dan segelas Macchiato dingin.”

Sejenak Laras terdiam dengan dahi berkerut. “Bapak tahu dari mana saya suka semua ini?”

“Menebak saja,” jawab Aditya. Sambil terus menyetir, lelaki itu menikmati kebab tanpa selada di tangan kanannya sambil sesekali menyecap cappucino-nya.

Ponsel Laras berdering. Perempuan itu membaca nama yang muncul di layarnya. Laras menolak panggilan lalu memasukkan ponselnya ke tas. “Dari pacar?”

“Bapak sok tahu banget, ya.” Laras menggigit sedikit kebabnya.

“Malam minggu gini siapa lagi yang telpon kalau bukan pacar, gebetan. Saya sengaja ngajak kamu biar kamu nggak jalan sama Bagas.”

Laras berhenti mengunyah, matanya membulat. Dia curiga Aditya memang ada di pantry saat itu dan menguping pembicaraannya dengan Bagas. “Urusan bapak apa, ya?”

“Saya nggak suka aja Bagas pedekate ke kamu.”

Laras menelan dengan susah kebab di mulutnya. “Maksud bapak?”

Aditya hanya menggeleng lalu diam. Hujan turun lebat menambah keheningan diantara keduanya. Laras semakin merasa ada yang aneh dengan atasannya ini.

***

“Kamu kerja di situ?” tanya Doni, teman sekolah Laras dulu. Kini lelaki itu membuka gerai kopi kekinian di food court, di seberang kantor Laras. Laras mengangguk lalu menyeruput Macchiato-nya. Lanjut Doni, “Berarti kamu sekantor dengan Paundra, dong.”

Laras tercekat mendengar nama itu. Matanya membulat lalu menoleh ke Doni. “Jangan-jangan kalian sudah balikan, ya?”

Laras mengerutkan dahi. Paundra adalah lelaki dari masa lalunya saat sekolah. Dia pernah membuat hati Laras merana hingga tidak mau lagi membuka hati untuk lelaki.

“Paundra yang sekarang jauh berbeda dari yang dulu. Dia sudah banyak berubah.” Kata-kata terakhir Doni sebelum Laras pamit kembali ke kantor terus terngiang di telinganya.

Laras berusaha mencari tahu kebenaran ucapan Doni lewat Sheila, anak HRD. Sheila adalah teman kos Laras saat kuliah. Meski berbeda jurusan tapi mereka akrab. Dari Sheila pula Laras tahu ada lowongan di kantor ini.

“Sheil, kamu kan sudah lama kerja di sini. Ada yang namanya Paundra, nggak?” tanya Laras sedikit ragu.

Sheila mendongak dari laptopnya dengan alis terangkat. “Atasan kamu itu namanya Paundra. Orang mengenalnya Aditya Sudibyo. Tapi nama panjangnya Aditya P Sudibyo. P untuk Paundra.”

Laras melongo mendengar penjelasan Sheila. Lanjut perempuan itu, “dia sendiri yang memilihmu di antara banyak pelamar untuk posisimu sekarang. Kenapa?”

“Oh, nggak apa-apa. Thanks.” Laras bergegas keluar dari kubikel Sheila sebelum perempuan itu bertanya lebih jauh.

***

“Kamu ninggalin aku bertahun-tahun tanpa kabar berita. Ponselmu tidak bisa dihubungi, semua media sosialmu leyap, teman-temanmu tak satupun mau memberi tahuku keberadaanmu.” Suara Laras beradu kencang dengan angin di roof top. Lanjutnya, “kamu orang paling menyebalkan di dunia!”

“Aku nggak pernah ninggalin kamu,” ucap Paundra cepat. “Aku hanya perlu waktu untuk berpikir tentang hidupku.” Lelaki itu mencoba menjelaskan. “Terakhir kali aku ke rumahmu dan bertemu orang tuamu, aku sadar mereka tidak suka denganku. Yeah, mana ada orang tua yang rela menyerahkan anak perempuannya ke brandalan seperti aku.”

Laras terdiam. Dia melihat lelaki di depannya lekat. Paundra melanjutkan, “aku berusaha memantaskan diri, Ras. Aku belajar lagi agar bisa masuk universitas. Aku kerja pagi, kuliah malam. Semua kulakukan agar aku bisa dianggap layak oleh orang tuamu.”

Mata Laras menghangat. Dia menarik napas panjang. “Apa kamu sekarang sudah merasa pantas?”

“Yeah, lumayan, sih.” Paundra menggaruk kepalanya yang tidak gatal membuat Laras seolah melihat lelaki di depannya itu Paundra yang dulu, lelaki yang pernah merebut hatinya, bukan atasannya yang menyebalkan. “Jadi … nikah, yuk!”

Bulir hangat mengalir dari sudut mata Laras. “Kamu tuh nggak ada romantis romantisnya.” Suara Laras bergetar.

Paundra menghela napas. “Apa perlu aku menghilang lagi untuk belajar jadi romantis?”

“Kelamaan!” Ucap Laras cepat. Wajahnya kini cemberut. “Ntar kamu keburu ditikung!”

“Hah?! Ditikung siapa? Bagas?” Pandra menebak lalu memasang wajah serius. “Baiklah. Larasati, maukah kamu menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?”

“Kamu belajar ngomong gitu dari mana?” Laras tidak segera menjawab. Dia sengaja mengulur waktu untuk melihat kesungguhan Paundra. Ini juga caranya memantapkan hati, melanggar janjinya sendiri untuk menerima Paundra kembali.

“Aku penikmat film Rambo yang harus bating setir tiga hari tiga malam nonton film romantis, hanya untuk menghafal dialog semacam ini.”

Di sudut lain, Doni yang sedari tadi melihat kedua temannya itu menjadi gemas. “Sudah buruan! Kelamaan!” Doni mengarahkan kamera ponselnya ke arah kedua sejoli yang kasmaran. Dia sengaja live di Instagram. Kapan lagi Doni bisa mendapatkan konten sebagus ini.

Paundra berdehem. “Aku ulang sekali lagi.” Dia berjongkok di depan Laras. Tangannya mengeluarkan sebuah cicin dengan berlian tunggal di tengahnya. “Larasati, would you marry me?”

Hati Laras campur aduk, antara bahagia dan ingin menangis. Namun yang pasti Laras mengangguk mantap sebagai jawaban ajakan Paundra.

Gerimis turun tepat saat Paundra menyematkan cicin ke jari manis Laras.

“Dahsyat, Gaes. Sepertinya semesta mengamini cinta mereka. Pantangin terus Instagram aku. Siapa tahu setelah ini, gantian aku yang melamar seseorang. Apakah seseorang itu kamu?” Doni mengakhiri live Instagram dengan banyak follower yang mengamini.

The End 


NB :

Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Ruang Rindu – Letto) Sahabat Kabol Menulis #Day5

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^