“Ndra, aku cantik
nggak?” tanya Saras lewat cermin kecil di wadah bedaknya. Dari cermin itu pula
dia bisa melihat Andra melihat sekilas padanya lalu kembali menekuri majalah di
tangannya.
“Kapan sih
kamu nggak cantik. Emang mau kemana?” tanya Andra tanpa melihat ke Saras yang
kini memulaskan lipstick warna nude ke bibir tipisnya.
“Aku mau
dikenalkan Yose ke orang tuanya. Duh! Deg-degan aku!” Jawab Saras yang kemudian
memasukkan semua alat make up-nya ke pouch.
Andra
mendongak, alisnya terangkat. “Serius?! Sudah sejuah itu hubungan kalian?”
Andra menggeser kursi kerjanya ke kubikel Saras di samping kubikelnya. Meja
kerja mereka menyatu, hanya dipisahkan sekat rendah yang bisa membuat mereka
melihat satu sama lain meski hanya duduk di kursi.
Saras
memamerkan cicin berlian di jari manis kirinya. “Kemarin dia melamarku,”
katanya lalu tersenyum bangga.
Mata Andra
membulat. “Kabar sepenting itu kamu nggak ngasih tahu aku? Sahabat macam apa
kamu!” Kata Andra dengan nada protes. Dia menggeser kursinya kembali ke
kubikelnya sendiri, merajuk.
“Bukan
begitu, Ndra. Aku emang sengaja nggak ngasih tahu siapapun sampai Yose
melamarku secara resmi di depan orang tuaku. Biar ada rahasia gitu,” kata Saras
dengan nada sedikit berbisik. Kini dia yang merapat ke kubikel Andra.
“Astaga,
Ras. Ukuran dalemanmu aja aku tahu. Masak yang kek gini kamu sembunyikan
dariku.” Suara Andra seolah menggema di ruangan kerja berukuran tujuh kali
tujuh meter itu seolah pengumuman yang bisa didengar semua orang. Untungnya
karyawan lain sudah pulang. Tinggal mereka berdua.
Saras
memutar bola mata. “Iya, sorry.” Dia kembali ke kubikelnya lalu mengambil tas kerja.
“Udah! Jangan sewot! Aku cabut dulu, ya. Doakan lancar!” Saras sempat menepuk
pundak Andra dua kali sebelum berjalan menuju lift. Yose, kekasihnya, menunggu
di lobi.
***
Andra
memutar setirnya ke kanan. Perlahan dia merapat ke tepi sambil memperhatikan
mobil sedan silver di depannya. Setelah mobil itu masuk ke parkiran sebuah
restoran mewah, dia memarkirkan mobilnya sendiri di tempat yang sama.
Andra masuk
ke restoran dan duduk di bangku paling ujung di belakang. Dari posisi ini dia
bisa melihat ke arah taman dimana bangku-bangku ditata rapi dengan konsep
outdoor. Lampu-lampu kecil di beberapa sudut mempercantik taman. Ditambah lagi
bulan purnama di langit menguatkan suasana romantis.
Di sanalah
pujaan hatinya sekarang, Saras, mengenakan dress
hitam selutut, mengembangkan senyum sambil sesekali mengobrol dengan orang di
sekitarnya. Rambut hitamnya dijepit di bagian atas, sedang poni panjangnya disisir
ke samping membingkai pipi tirusnya.
“Pesan apa,
Mas?” Suara pelayan restoran mengagetkannya.
“Espresso
aja.” Jawab Andra singkat.
Andra memperhatikan
gerombolan orang yang duduk bersama Saras, sambil sesekali menebak topik apa
yang sedang mereka bicarakan. Ada rasa panas di dadanya saat Yose, yang duduk
di samping Saras, menggenggam tangannya lalu menciumnya mesra. Ingin rasanya
dia melemparkan vas bunga di depannya ke arah lelaki itu agar dia menjauh dari
Saras.
Saras dan
Andra bukan teman baru. Mereka sudah berteman sejak taman kanak-kanak. Mereka
juga bertetangga. Beberapa kali mereka satu sekolah, bahkan satu kelas. Itu
sebabnya Saras dan Andra begitu dekat.
Bertahun-tahun
bersama Saras membuat Andra memendam rasa. Sayangnya, Andra bukan tipikal
lelaki yang mudah mengutarakan perasaannya. Dia tidak seperti mantan-mantan
Saras yang kebanyakan pandai menggombal. Tapi Andra selalu ada untuk Saras.
Saat Saras
patah hati, dia menangis di pelukan Andra. Saat Saras sedih, Andra yang
menghiburnya. Andra selau ada untuk Saras. Sayangnya, tak ada ruang di hati
Saras untuk Andra.
***
“Mentang-mentang
sekarang punya calon, kamu nggak mau lagi pulang bareng aku.” Andra menyindir
Saras yang menolak ajakannya. Lobi kantor lengang petang itu. Beberapa laporan
proyek yang harus segera dilaporkan membuat mereka lembur.
“Bukan gitu
juga. Yose jemput aku sekalin ngajak hunting
cicin. Minggu depan kami resmi lamaran.” Saras memberi tekanan pada kalimat
terakhirnya. Andra hanya manggut-manggut. Sikapnya itu membuat Saras sewot.
“Kok diem aja. Nggak ada ucapan selamat atau apa kek gitu.”
Andra tidak
merespon ucapan Saras. “Kalau menikah, kamu nggak bakalan sama aku lagi, dong.
Nggak ada lagi yang nangis-nangis karena diputusin pacar. Nggak ada lagi yang
ngerengek minta ditemeni jalan karena mendadak jomblo habis putus.” Andre
mengambil jeda lalu melanjutkan. “Keknya hidupku bakalan sepi tanpamu.” Ada
rasa sakit yang menghujam hati Andra membayangkan itu semua.
“Ih, jangan
gitu dong, Ndra. Aku kan jadi sedih dengernya.” Saras merasa bersalah seolah
dia membuat sahabatnya itu merana.
“Ya udah!
Kamu nikah saja sama aku. Biar aku nggak sedih kamu tinggalin.”
Ada nada
serius di ucapan dan raut wajah Andra yang membuat Saras sedikit kaget. “Kamu
tuh, ya …”
Saras belum
menyelesaikan kalimatnya saat Yose muncul di lobi. Lelaki berambut ikal itu
segera menghampiri calon istrinya lalu cipika cipiki tanpa mempedulikan Andra
yang berdiri menahan perasaan di antara mereka.
“Terimakasih
sudah menjaga Saras buatku,” Ucap Yose pada Andra setelah mereka bertegur sapa.
Kata-kata
Yose seperti menampar Andra hingga membuat lelaki itu mengepalkan tangannya
yang disembunyikan di balik punggungnya. Ingin rasanya Andra meninju Yose
karena sudah merebut Saras darinya. Namun apa daya, Andra hanya bisa tersenyum
palsu. Ini bukan pertama kalinya Andra bertemu Yose. Saras pun sudah
menjelaskan siapa Andra.
“Andra
masih jomblo, lho,” kata Saras sambil menautkan lengannya ke lengan Yose.
Lanjutnya. “Kapan-kapan kenalin dia ke sepupumu. Barang kali cocok.”
Lagi-lagi
Andra hanya tersenyum tanpa banyak bicara hingga sepasang kekasih itu berlalu,
meninggalkan dirinya yang masih berusaha menguasai emosinya.
***
“Mobil
pengantinnya sudah siap,” ucap Andra pada Yose dan Saras yang sedang berfoto
dengan beberapa tamu undangan. Ini sesi terakhir dari serangkaian prosesi pernikahan
mereka.
Matahari
terik tapi sinarnya tak mampu menembus hati Andra yang mendung. “Aku melepasmu,
Saras.” Beberapa kali Andra menggumamkan kalimat itu seolah memaksa hatinya
untuk tetap tegar dan tabah.
Mobil
pengantin melaju ke villa yang tak jauh dari restoran tempat resepsi digelar.
Seperti sebelumnya, mobil Andra mengekor di belakangnya. Lelaki berkaca mata
frame tebal itu tak mau kehilangan salah satu momen terbaik baginya.
Mobil
pengantin melewati turunan tanpa terkendali. Beberapa kali mobil itu terlihat
oleng dan hampir menabrak mobil lain. Andra yang mengemudi di belakang mobil
pengantin menikmati situasi itu. Dia bisa membayangkan kepanikan di dalamnya.
Bahkan Andra mengambil ponsel dan mengabadikan momen itu. Mobil pengantin
terjun ke jurang yang diikuti suara dentuman.
“Cek poin!”
seru Andra puas. Usahanya tak sia-sia, mengendap-endap, memotong rem mobil
berhias bunga dan pita itu.
“Aku
melepasmu, Saras! Aku melepasmu!” Andra tersenyum lebar memperlihatkan deretan
gigi putihnya. Lanjutnya, “kalau aku tak memilikimu, orang lain pun tidak!”
The End
NB :
Cerpen ini
diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Ku Cinta Kau
Apa Adanya – Once) Sahabat Kabol Menulis #Day2
Terimakasih cerpennya!
BalasHapusSama sama :)
Hapus