Minggu, 02 Agustus 2020

[Cerpen] - Lepaskan



“Ndra, aku cantik nggak?” tanya Saras lewat cermin kecil di wadah bedaknya. Dari cermin itu pula dia bisa melihat Andra melihat sekilas padanya lalu kembali menekuri majalah di tangannya.

“Kapan sih kamu nggak cantik. Emang mau kemana?” tanya Andra tanpa melihat ke Saras yang kini memulaskan lipstick warna nude ke bibir tipisnya.

“Aku mau dikenalkan Yose ke orang tuanya. Duh! Deg-degan aku!” Jawab Saras yang kemudian memasukkan semua alat make up-nya ke pouch.

Andra mendongak, alisnya terangkat. “Serius?! Sudah sejuah itu hubungan kalian?” Andra menggeser kursi kerjanya ke kubikel Saras di samping kubikelnya. Meja kerja mereka menyatu, hanya dipisahkan sekat rendah yang bisa membuat mereka melihat satu sama lain meski hanya duduk di kursi.

Saras memamerkan cicin berlian di jari manis kirinya. “Kemarin dia melamarku,” katanya lalu tersenyum bangga.

Mata Andra membulat. “Kabar sepenting itu kamu nggak ngasih tahu aku? Sahabat macam apa kamu!” Kata Andra dengan nada protes. Dia menggeser kursinya kembali ke kubikelnya sendiri, merajuk.

“Bukan begitu, Ndra. Aku emang sengaja nggak ngasih tahu siapapun sampai Yose melamarku secara resmi di depan orang tuaku. Biar ada rahasia gitu,” kata Saras dengan nada sedikit berbisik. Kini dia yang merapat ke kubikel Andra.

“Astaga, Ras. Ukuran dalemanmu aja aku tahu. Masak yang kek gini kamu sembunyikan dariku.” Suara Andra seolah menggema di ruangan kerja berukuran tujuh kali tujuh meter itu seolah pengumuman yang bisa didengar semua orang. Untungnya karyawan lain sudah pulang. Tinggal mereka berdua.

Saras memutar bola mata. “Iya, sorry.” Dia kembali ke kubikelnya lalu mengambil tas kerja. “Udah! Jangan sewot! Aku cabut dulu, ya. Doakan lancar!” Saras sempat menepuk pundak Andra dua kali sebelum berjalan menuju lift. Yose, kekasihnya, menunggu di lobi.

***

Andra memutar setirnya ke kanan. Perlahan dia merapat ke tepi sambil memperhatikan mobil sedan silver di depannya. Setelah mobil itu masuk ke parkiran sebuah restoran mewah, dia memarkirkan mobilnya sendiri di tempat yang sama.

Andra masuk ke restoran dan duduk di bangku paling ujung di belakang. Dari posisi ini dia bisa melihat ke arah taman dimana bangku-bangku ditata rapi dengan konsep outdoor. Lampu-lampu kecil di beberapa sudut mempercantik taman. Ditambah lagi bulan purnama di langit menguatkan suasana romantis.

Di sanalah pujaan hatinya sekarang, Saras, mengenakan dress hitam selutut, mengembangkan senyum sambil sesekali mengobrol dengan orang di sekitarnya. Rambut hitamnya dijepit di bagian atas, sedang poni panjangnya disisir ke samping membingkai pipi tirusnya.

“Pesan apa, Mas?” Suara pelayan restoran mengagetkannya.

“Espresso aja.” Jawab Andra singkat.

Andra memperhatikan gerombolan orang yang duduk bersama Saras, sambil sesekali menebak topik apa yang sedang mereka bicarakan. Ada rasa panas di dadanya saat Yose, yang duduk di samping Saras, menggenggam tangannya lalu menciumnya mesra. Ingin rasanya dia melemparkan vas bunga di depannya ke arah lelaki itu agar dia menjauh dari Saras.

Saras dan Andra bukan teman baru. Mereka sudah berteman sejak taman kanak-kanak. Mereka juga bertetangga. Beberapa kali mereka satu sekolah, bahkan satu kelas. Itu sebabnya Saras dan Andra begitu dekat.

Bertahun-tahun bersama Saras membuat Andra memendam rasa. Sayangnya, Andra bukan tipikal lelaki yang mudah mengutarakan perasaannya. Dia tidak seperti mantan-mantan Saras yang kebanyakan pandai menggombal. Tapi Andra selalu ada untuk Saras.

Saat Saras patah hati, dia menangis di pelukan Andra. Saat Saras sedih, Andra yang menghiburnya. Andra selau ada untuk Saras. Sayangnya, tak ada ruang di hati Saras untuk Andra.

***



“Mentang-mentang sekarang punya calon, kamu nggak mau lagi pulang bareng aku.” Andra menyindir Saras yang menolak ajakannya. Lobi kantor lengang petang itu. Beberapa laporan proyek yang harus segera dilaporkan membuat mereka lembur.

“Bukan gitu juga. Yose jemput aku sekalin ngajak hunting cicin. Minggu depan kami resmi lamaran.” Saras memberi tekanan pada kalimat terakhirnya. Andra hanya manggut-manggut. Sikapnya itu membuat Saras sewot. “Kok diem aja. Nggak ada ucapan selamat atau apa kek gitu.”

Andra tidak merespon ucapan Saras. “Kalau menikah, kamu nggak bakalan sama aku lagi, dong. Nggak ada lagi yang nangis-nangis karena diputusin pacar. Nggak ada lagi yang ngerengek minta ditemeni jalan karena mendadak jomblo habis putus.” Andre mengambil jeda lalu melanjutkan. “Keknya hidupku bakalan sepi tanpamu.” Ada rasa sakit yang menghujam hati Andra membayangkan itu semua.

“Ih, jangan gitu dong, Ndra. Aku kan jadi sedih dengernya.” Saras merasa bersalah seolah dia membuat sahabatnya itu merana.

“Ya udah! Kamu nikah saja sama aku. Biar aku nggak sedih kamu tinggalin.”

Ada nada serius di ucapan dan raut wajah Andra yang membuat Saras sedikit kaget. “Kamu tuh, ya …”

Saras belum menyelesaikan kalimatnya saat Yose muncul di lobi. Lelaki berambut ikal itu segera menghampiri calon istrinya lalu cipika cipiki tanpa mempedulikan Andra yang berdiri menahan perasaan di antara mereka.

“Terimakasih sudah menjaga Saras buatku,” Ucap Yose pada Andra setelah mereka bertegur sapa.

Kata-kata Yose seperti menampar Andra hingga membuat lelaki itu mengepalkan tangannya yang disembunyikan di balik punggungnya. Ingin rasanya Andra meninju Yose karena sudah merebut Saras darinya. Namun apa daya, Andra hanya bisa tersenyum palsu. Ini bukan pertama kalinya Andra bertemu Yose. Saras pun sudah menjelaskan siapa Andra.

“Andra masih jomblo, lho,” kata Saras sambil menautkan lengannya ke lengan Yose. Lanjutnya. “Kapan-kapan kenalin dia ke sepupumu. Barang kali cocok.”

Lagi-lagi Andra hanya tersenyum tanpa banyak bicara hingga sepasang kekasih itu berlalu, meninggalkan dirinya yang masih berusaha menguasai emosinya.

***

“Mobil pengantinnya sudah siap,” ucap Andra pada Yose dan Saras yang sedang berfoto dengan beberapa tamu undangan. Ini sesi terakhir dari serangkaian prosesi pernikahan mereka.

Matahari terik tapi sinarnya tak mampu menembus hati Andra yang mendung. “Aku melepasmu, Saras.” Beberapa kali Andra menggumamkan kalimat itu seolah memaksa hatinya untuk tetap tegar dan tabah.

Mobil pengantin melaju ke villa yang tak jauh dari restoran tempat resepsi digelar. Seperti sebelumnya, mobil Andra mengekor di belakangnya. Lelaki berkaca mata frame tebal itu tak mau kehilangan salah satu momen terbaik baginya.

Mobil pengantin melewati turunan tanpa terkendali. Beberapa kali mobil itu terlihat oleng dan hampir menabrak mobil lain. Andra yang mengemudi di belakang mobil pengantin menikmati situasi itu. Dia bisa membayangkan kepanikan di dalamnya. Bahkan Andra mengambil ponsel dan mengabadikan momen itu. Mobil pengantin terjun ke jurang yang diikuti suara dentuman.

“Cek poin!” seru Andra puas. Usahanya tak sia-sia, mengendap-endap, memotong rem mobil berhias bunga dan pita itu.

“Aku melepasmu, Saras! Aku melepasmu!” Andra tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya. Lanjutnya, “kalau aku tak memilikimu, orang lain pun tidak!”

The End




NB :
Cerpen ini diikut sertakan dalam Challenge Menulis Fikmin Berdasarkan Lagu (Ku Cinta Kau Apa Adanya – Once) Sahabat Kabol Menulis #Day2





2 komentar:

Terimakasih telah berbagi komentar ^^