Landsy Woods menggerakan jari-jari tangannya di bawah
meja. Gerakan jari-jarinya lambat namun fokus, mampu menggerakkan pensil kayu
miliknya yang ada di atas meja. Bukan! Landsy bukan sedang belajar sulap. Dia
sedang melatih kemampuan telekinetiknya. Kemampuan memindahkan barang tanpa
menyentuh sama sekali. Dia baru menyadari ini beberapa bulan terakhir.
Tak seorang pun tahu tentang kemampuan Landsy. Tidak juga
kedua orang tuanya. Dan sekarang, posisi meja Landsy di kelas di sudut belakang,
membuatnya tak banyak diganggu teman-temannya. Ini adalah saat yang tepat untuk
menguji kembali kemampuannya.
Sudah hampir sepuluh menit Miss Morgan terlambat masuk
kelas. Kelas Landsy menjadi tak terkendali. Seperti pasar malam di akhir pekan.
Mandy, gadis yang duduk di depannya, menoleh lalu mencondongkan tubuhnya ke
Landsy. Seketika Landsy menghentikan
jarinya. Gadis itu berkata setengah berbisik. “Apa kau tahu
sesuatu tentang Handson?” tanyanya.
Landsy
mendongak ke Mandy lalu menggeleng. ”Tidak.
Ada apa?”
“Dia
akan mencalonkan diri sebagai ketua perkumpulan siswa Slider High School,” jawabnya, masih setengah berbisik.
Landsy
mengerjap. “Apa?!” Suaranya tinggi hingga Mandy harus memberinya isyarat untuk
tenang.
“Sstt
… jangan keras-keras,” ujar Mandy melihat sekeliling, berharap tidak ada yang
mendengarnya. Lanjutnya, “aku melihatnya masuk ke ruang kepala sekolah, lalu
menyerahkan formulir pendaftarannya.”
Landsy mengerjab lagi beberapa kali. “Apa
kau yakin?”
“Sangat
yakin,” tegas Mandy.
Bisik-bisik
mereka seketika terhenti oleh suara alas sepatu Miss Morgan yang beradu dengan
lantai menghasilkan ketukan yang memenuhi lorong di depan kelas.
Sepatu kulit warna hitam dengan hak tinggi yang selalu jadi kebanggaannya.
Hanya saja modelnya kurang cocok dengan postur tubuhnya. Sebenarnya dia masih muda, hanya saja penampilannya
yang kuno ditambah prim kaca matanya
yang tebal menjadikan dia terlihat lebih tua dari umurnya.
Miss
Morgan, memasuki kelas sambil meletakkan setumpuk kertas di atas mejanya.
Seketika kelas menjadi tenang dan teratur. Landsy
masih ingat dengan tumpukan kertas yang dibawa Miss Morgan. Tugas bulan lalu.
Kunjungan ke sebuah panti asuhan
di pinggiran kota Sidetown.
Menyedihkan. Itulah kesan Landsy saat
ingat dia harus berinteraksi dengan anak-anak
penghuni panti. Tak terbayangkan olehnya, mereka tumbuh tanpa pendampingan dan kasih sayang orang
tua kandung. Sebagian
mereka dititipkan oleh orang tunya yang tak mampu, sedangkan sebagian lainnya
tak pernah mengenal orang tuanya. Pemandangan yang
sangat kontras dengan hidupnya.
Miss
Morgan membagikan hasil laporan. Satu persatu murid berjalan ke depan untuk
mengambilnya. Landsy
menghela nafas panjang, lega. Tak sia-sia pengorbanannya membut laporan dua
hari dua malam, dan kurang tidur. Paling tidak Landsy berhasil mendapat nilai A
untuk tugas laporannya. Dia bukan
tergolong anak pintar. Dan saat dia berhasil mendapatkan nilai A, itu berarti
anugerah.
***
Jam
dinding biru tua di kelas mencuri perhatian. Pelajaran sosial dari Miss Morgan
yang hanya satu jam saja terasa seperti berjam-jam. Terlalu membosankan. Berulang kali Landsy mempermainkan jarum jamnya.
Memutarnya ke kanan, ke kiri, dengan telekinetiknya. Karena aura bosan dan tak
semangat sedang menyelimuti kelas, belum lagi buku teks tebal yang harus mereka
simak, membuat tak satupun murid memperhatikan kejahilan Landsy. Hingga raungan
bel sekolah terdengar ke seluruh lorong.
Lorong
terlihat sepi saat Landsy keluar kelas. Dia sengaja pulang belakangan.
Dia tak mau ikut berdesakan di lorong yang
sangat ramai dengan murid-murid. Ada yang berjalan terburu-buru, ada yang
bergegas keluar sekolah, ada juga yang hanya sekedar bergerombol di lorong
sambil bergosip. Itu membuat Landsy pening.
Saat berjalan menuju pintu keluar, Landsy berpaprasan
dengan Handson Moore yang baru saja turun dari lantai dua. Di sanalah kelas dua
di tempatkan. Seolah mendukung senioritas yang ada selama ini di sekolah. Kelas
satu di lantai satu, kelas dua di lantai dua, sedang kelas tiga di lantai tiga.
Lantai tertinggi dan hampir tak terjamah. Karena sangat mustahil bagi anak
kelas satu untuk berjalan di lantai dua, apalagi lantai tiga.
Handson
adalah senior Landsy, satu tingkat di atasnya. Hati Landsy mendadak dongkol
kalau mendengar namanya, apalagi bertemu langsung dengannya.
“Menyebalkan!”
gumam Landsy, membuang muka dan berlalu dari Handson. Handson menghentikan
langkahnya, memperhatikan sikap Landsy.
“Kau punya masalah denganku?” tanya
Handson, yang saat itu berdiri di tangga paling bawah dengan tangan dilipat di dada. Raut wajahnya menantang.
“Tidak,” jawab Landsy, cuek, tanpa melihat ke pemuda itu.
“Landsy,
tunggu!” suara Mandy. Landsy
tak menoleh sedikit pun, dan itu membuat Mandy memercepat larinya. Namun saat
melewati Handson, Mandy berhenti sebentar. Diaa mengerjap sambil menahan nafas,
seolah baru saja bertemu dengan sesuatu yang menyeramkan.
Handson
mengernyit, melihat Mandy yang berdiri kaku di depannya. “Apa?”
“Eh,
ti … tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Mandy sambil menggelengkan kepala. Dia berusaha menyadarkan dirinya dari
ketegangannya. Sesaat kemudian Mandy kembali berlari menyusul Landsy yang
hampir sampai di pintu depan sambil terus meneriakkan namanya.
“Anak-anak
aneh!” gerutu Handson
sambil berpaling dari kedua murid kelas satu itu. Dia berjalan ke kantor kepala sekolah yang ada di tengah
lorong. Namun baru beberapa langkah, tempat sampah dengan tinggi separuh
tubuhnya mengguling, memuntahnya isinya tepat di depan Handson.
Mata Handson terbelalak. Seketika dia waspada. Tak ada
seorang pun bersamanya. Dia mundur selangkah dan melihat sekitar, kemudian
menarik napas panjang dan berjalan cepat menuju kantor kepala sekolah. Sedangkan
jauh di pintu depan, Landsy tersenyum puas.
***
Mr.
Edward sedang mencari sesuatu di dalam rak saat Handson masuk ke ruangan kerjanya. Dia berbalik dan
melihat pemuda
itu dari atas kaca matanya yang melorot. Dia berjalan menuju kursinya, menariknya ke belakang
untuk dirinya sendiri. “Aku ingin sedikit berbincang denganmu,” kata Mr. Edward
sambil melipat tangannya di atas meja. “Ini
tentang pencalonanmu sebagai ketua perkumpulan siswa.”
Handson mengangkat kedua alisnya, tak mengira akan
mendapat pertanyaan ini. “Apa ini semacam interview?”
Mr. Edward memiringkan kepala, “Yeah, bisa dibilang
seperti itu.”
Handson terdiam sesaat, lalu menjawab, “Saya merasa
mampu menjadi pemimpin dari semua siswa.”
Mr. Edward mengerjab beberapa kali. “Aha. Benarkah?”
“Ya,” jawab Handson mantap, lalu
meletakkan tangannya saling tertangkup di belakang punggung.
Mr. Edward mengangkat wajahnya lalu memandang lurus
ke Handson seolah mencari keseriusan di mata pemuda di depannya. “Kau yakin?”
“Sangat yakin.” Handson merasa diremehkan dengan semua
pertanyaan Mr. Edward. Tapi tak mengapa. Toh dia menganggap ini semacam seleksi
tak resmi.
Mr. Edward menarik badannya ke balakang. Dia kini
bersandar pada kursi kerjanya. “Lalu bagaimana dengan kejadian saat penerimaan
siswa baru kemarin?”
Handson mengerutkan dahi, sedikit terkejut dengan
pertanyaan Mr. Edward. Rupanya acara penyambutan siswa baru tahun ini benar-benar
memberi kesan bukan hanya bagi panitia dan peserta, tapi juga kepala sekolah.
Dan dialah ketua penitia sekaligus penggagasnya.
“Oh. Itu hanya bagian dari permainan saja. Tak
selamanya kami harus merasa tegang. Ada saatnya pula kami harus bersenang-senang,”
jawab Handson, bangga.
Mr. Edward menarik nafas panjang lalu melepasnya
perlahan. “Aku mendapat banyak masukan yang sebagian besar adalah kritikan
tetang acara tersebut. Dan aku minta ini menjadi salah satu bahan evaluasi ke depannya
jika kau memang terpilih menjadi ketua perkumpulan siswa.”
Handson merasa apa yang dikatakan Mr. Edward
berlebihan. Dia tidak terima dan berusaha membela diri, “Tapi, Sir, itu hanya …”
“Aku tahu itu bercanda,” kata Mr. Edward cepat.
"Tapi banyak yang menganggap semua itu keterlaluan.” Mr. Edward
mencondongkan tubuhnya, lalu berkata penuh penekanan. “Terkadang lelucon
seseorang belum tentu dianggap lelucon juga bagi yang lain.”
Handson merasa tak bisa mendebat lagi perkataan Mr.
Edward. Dia hanya mengiyakan. Ada jeda sebentar di antara mereka hingga Mr.
Edward mempersilahkan Handson untuk keluar ruangan.
***
To be continue ...
~ Hana Aina ~
Baca juga, ya ...
[Novelet] : The Dark Hole - Part 1 |
[Cerpen] : Jejak Sang Hitam |
[Cerpen] : Titip Rindu Buat Rasya |
[Cerpen] : Sepenggal Kisah di Rumah Tua |
[Cerpen] : Janji Terakhir |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^