Minggu, 15 September 2019

[Novel] : The Sign - Part 1


Landsy Woods menggerakan jari-jari tangannya di bawah meja. Gerakan jari-jarinya lambat namun fokus, mampu menggerakkan pensil kayu miliknya yang ada di atas meja. Bukan! Landsy bukan sedang belajar sulap. Dia sedang melatih kemampuan telekinetiknya. Kemampuan memindahkan barang tanpa menyentuh sama sekali. Dia baru menyadari ini beberapa bulan terakhir.


Tak seorang pun tahu tentang kemampuan Landsy. Tidak juga kedua orang tuanya. Dan sekarang, posisi meja Landsy di kelas di sudut belakang, membuatnya tak banyak diganggu teman-temannya. Ini adalah saat yang tepat untuk menguji kembali kemampuannya.

Sudah hampir sepuluh menit Miss Morgan terlambat masuk kelas. Kelas Landsy menjadi tak terkendali. Seperti pasar malam di akhir pekan.

Mandy, gadis yang duduk di depannya, menoleh lalu mencondongkan tubuhnya ke Landsy. Seketika Landsy menghentikan jarinya. Gadis itu berkata setengah berbisik. “Apa kau tahu sesuatu tentang Handson?” tanyanya.

Landsy mendongak ke Mandy lalu menggeleng. ”Tidak. Ada apa?”

“Dia akan mencalonkan diri sebagai ketua perkumpulan siswa Slider High School,” jawabnya, masih setengah berbisik.

Landsy mengerjap. “Apa?!” Suaranya tinggi hingga Mandy harus memberinya isyarat untuk tenang.

“Sstt … jangan keras-keras,” ujar Mandy melihat sekeliling, berharap tidak ada yang mendengarnya. Lanjutnya, “aku melihatnya masuk ke ruang kepala sekolah, lalu menyerahkan formulir pendaftarannya.”

Landsy mengerjab lagi beberapa kali. “Apa kau yakin?”

“Sangat yakin,” tegas Mandy.

Bisik-bisik mereka seketika terhenti oleh suara alas sepatu Miss Morgan yang beradu dengan lantai menghasilkan ketukan yang memenuhi lorong di depan kelas. Sepatu kulit warna hitam dengan hak tinggi yang selalu jadi kebanggaannya. Hanya saja modelnya kurang cocok dengan postur tubuhnya. Sebenarnya dia masih muda, hanya saja penampilannya yang kuno ditambah prim kaca matanya yang tebal menjadikan dia terlihat lebih tua dari umurnya.

Miss Morgan, memasuki kelas sambil meletakkan setumpuk kertas di atas mejanya. Seketika kelas menjadi tenang dan teratur. Landsy masih ingat dengan tumpukan kertas yang dibawa Miss Morgan. Tugas bulan lalu. Kunjungan ke sebuah panti asuhan di pinggiran kota Sidetown.

Menyedihkan. Itulah kesan Landsy saat ingat dia harus berinteraksi dengan  anak-anak penghuni panti. Tak terbayangkan olehnya, mereka tumbuh tanpa pendampingan dan kasih sayang orang tua kandung. Sebagian mereka dititipkan oleh orang tunya yang tak mampu, sedangkan sebagian lainnya tak pernah mengenal orang tuanya. Pemandangan yang sangat kontras dengan hidupnya.

Miss Morgan membagikan hasil laporan. Satu persatu murid berjalan ke depan untuk mengambilnya. Landsy menghela nafas panjang, lega. Tak sia-sia pengorbanannya membut laporan dua hari dua malam, dan kurang tidur. Paling tidak Landsy berhasil mendapat nilai A untuk tugas laporannya. Dia bukan tergolong anak pintar. Dan saat dia berhasil mendapatkan nilai A, itu berarti anugerah.

***

Jam dinding biru tua di kelas mencuri perhatian. Pelajaran sosial dari Miss Morgan yang hanya satu jam saja terasa seperti berjam-jam. Terlalu membosankan. Berulang kali Landsy mempermainkan jarum jamnya. Memutarnya ke kanan, ke kiri, dengan telekinetiknya. Karena aura bosan dan tak semangat sedang menyelimuti kelas, belum lagi buku teks tebal yang harus mereka simak, membuat tak satupun murid memperhatikan kejahilan Landsy. Hingga raungan bel sekolah terdengar ke seluruh lorong.

Lorong terlihat sepi saat Landsy keluar kelas. Dia sengaja pulang belakangan. Dia tak mau ikut berdesakan di lorong yang sangat ramai dengan murid-murid. Ada yang berjalan terburu-buru, ada yang bergegas keluar sekolah, ada juga yang hanya sekedar bergerombol di lorong sambil bergosip. Itu membuat Landsy pening.

Saat berjalan menuju pintu keluar, Landsy berpaprasan dengan Handson Moore yang baru saja turun dari lantai dua. Di sanalah kelas dua di tempatkan. Seolah mendukung senioritas yang ada selama ini di sekolah. Kelas satu di lantai satu, kelas dua di lantai dua, sedang kelas tiga di lantai tiga. Lantai tertinggi dan hampir tak terjamah. Karena sangat mustahil bagi anak kelas satu untuk berjalan di lantai dua, apalagi lantai tiga.

Handson adalah senior Landsy, satu tingkat di atasnya. Hati Landsy mendadak dongkol kalau mendengar namanya, apalagi bertemu langsung dengannya.

“Menyebalkan!” gumam Landsy, membuang muka dan berlalu dari Handson. Handson menghentikan langkahnya, memperhatikan sikap Landsy.

Kau punya masalah denganku?” tanya Handson, yang saat itu berdiri di tangga paling bawah dengan tangan dilipat di dada. Raut wajahnya menantang.

“Tidak,” jawab Landsy, cuek, tanpa melihat ke pemuda itu.

“Landsy, tunggu!” suara Mandy. Landsy tak menoleh sedikit pun, dan itu membuat Mandy memercepat larinya. Namun saat melewati Handson, Mandy berhenti sebentar. Diaa mengerjap sambil menahan nafas, seolah baru saja bertemu dengan sesuatu yang menyeramkan.

Handson mengernyit, melihat Mandy yang berdiri kaku di depannya. “Apa?”

“Eh, ti … tidak. Tidak ada apa-apa,” jawab Mandy sambil menggelengkan kepala. Dia berusaha menyadarkan dirinya dari ketegangannya. Sesaat kemudian Mandy kembali berlari menyusul Landsy yang hampir sampai di pintu depan sambil terus meneriakkan namanya.

“Anak-anak aneh!” gerutu Handson sambil berpaling dari kedua murid kelas satu itu. Dia berjalan ke kantor kepala sekolah yang ada di tengah lorong. Namun baru beberapa langkah, tempat sampah dengan tinggi separuh tubuhnya mengguling, memuntahnya isinya tepat di depan Handson.

Mata Handson terbelalak. Seketika dia waspada. Tak ada seorang pun bersamanya. Dia mundur selangkah dan melihat sekitar, kemudian menarik napas panjang dan berjalan cepat menuju kantor kepala sekolah. Sedangkan jauh di pintu depan, Landsy tersenyum puas.

***

Mr. Edward sedang mencari sesuatu di dalam rak saat Handson masuk ke ruangan kerjanya. Dia berbalik dan melihat pemuda itu dari atas kaca matanya yang melorot. Dia berjalan menuju kursinya, menariknya ke belakang untuk dirinya sendiri. “Aku ingin sedikit berbincang denganmu,” kata Mr. Edward sambil melipat tangannya di atas meja. “Ini tentang pencalonanmu sebagai ketua perkumpulan siswa.”

Handson mengangkat kedua alisnya, tak mengira akan mendapat pertanyaan ini. “Apa ini semacam interview?”

Mr. Edward memiringkan kepala, “Yeah, bisa dibilang seperti itu.”

Handson terdiam sesaat, lalu menjawab, “Saya merasa mampu menjadi pemimpin dari semua siswa.”

Mr. Edward mengerjab beberapa kali. “Aha. Benarkah?”

“Ya,” jawab Handson mantap, lalu meletakkan tangannya saling tertangkup di belakang punggung.

Mr. Edward mengangkat wajahnya lalu memandang lurus ke Handson seolah mencari keseriusan di mata pemuda di depannya. “Kau yakin?”

“Sangat yakin.” Handson merasa diremehkan dengan semua pertanyaan Mr. Edward. Tapi tak mengapa. Toh dia menganggap ini semacam seleksi tak resmi.

Mr. Edward menarik badannya ke balakang. Dia kini bersandar pada kursi kerjanya. “Lalu bagaimana dengan kejadian saat penerimaan siswa baru kemarin?”

Handson mengerutkan dahi, sedikit terkejut dengan pertanyaan Mr. Edward. Rupanya acara penyambutan siswa baru tahun ini benar-benar memberi kesan bukan hanya bagi panitia dan peserta, tapi juga kepala sekolah. Dan dialah ketua penitia sekaligus penggagasnya.

“Oh. Itu hanya bagian dari permainan saja. Tak selamanya kami harus merasa tegang. Ada saatnya pula kami harus bersenang-senang,” jawab Handson, bangga.

Mr. Edward menarik nafas panjang lalu melepasnya perlahan. “Aku mendapat banyak masukan yang sebagian besar adalah kritikan tetang acara tersebut. Dan aku minta ini menjadi salah satu bahan evaluasi ke depannya jika kau memang terpilih menjadi ketua perkumpulan siswa.”

Handson merasa apa yang dikatakan Mr. Edward berlebihan. Dia tidak terima dan berusaha membela diri, “Tapi, Sir, itu hanya …”

“Aku tahu itu bercanda,” kata Mr. Edward cepat. "Tapi banyak yang menganggap semua itu keterlaluan.” Mr. Edward mencondongkan tubuhnya, lalu berkata penuh penekanan. “Terkadang lelucon seseorang belum tentu dianggap lelucon juga bagi yang lain.”

Handson merasa tak bisa mendebat lagi perkataan Mr. Edward. Dia hanya mengiyakan. Ada jeda sebentar di antara mereka hingga Mr. Edward mempersilahkan Handson untuk keluar ruangan.

***

To be continue ...



~ Hana Aina ~


Baca juga, ya ...

[Novelet] : The Dark Hole - Part 1














[Cerpen] : Jejak Sang Hitam




















[Cerpen] : Titip Rindu Buat Rasya




















[Cerpen] : Sepenggal Kisah di Rumah Tua





















[Cerpen] : Janji Terakhir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^