“Aku sudah peringatkan kalian. Tapi
kalian tak menggubrisku,” ujar Nada. Ia merapatkan tubuhnya ke dinding, lalu
menjatuhkan diri dilantai perlahan. Ditariknya kakinya, lalu didekapnya erat.
***
“Ampun, Bu. Ampun!”
Seru Nada. Ia terbaring di lantai gudang, di sebuah rumah tua yang telah
dihuninya semenjak lahir. Tangannya berusaha menghalau sabetan rotan yang
diarahkan Tera kepadanya. Ia merintih kesakitan. Namun Tera tak memperdulikan.
Ia terus menghujani Nada, tanpa ampun.
“Kau sudah berani
berbohong kepadaku, ya?” tanya Tera, berang. Ia menggenggam erat rotan
ditangannya. Menatap sosok di depannya dengan penuh kebencian.
Suara Nada bergetar,
menyiratkan ketakutan. “Aku tak pernah bohong kepada Ibu. Aku tak pernah
mencurinya. Aku …”
“Bohong!” sahut Mara
yang sejak tadi berdiri di belakang Tera. Lanjutnya, “Aku melihatnya sendiri,
Bu. Dia masuk ke kamar Ibu dan mengambil kalung itu.”
Nada mendekap erat
kalung berliontin batu delima merah. Kalung itu diberikan ayahnya pada
detik-detik terakhir kepergiannya. Itu adalah kalung peninggalan ibunya yang
harus ia jaga. Karena di dalam kalung itulah roh ibunya bersemayam. Ia akan
selalu menjaga Nada dari semua hal yang mengancam nyawanya.
“Ini kalungku.
Peninggalan almarhum ibuku satu-satunya,” kata Nada, mengenang.
“Sekarang itu milikku.
Ayo serahkan!” seru Tera, meminta kembali kalung itu.
“Tidak! Aku tidak
mau!” Nada bergeming. Ia terus menggenggam erat kalung yang dikenakan di lehernya.
Dan itu membuat Tera makin gelap mata.
“Kalau kau tak mau
menyerahkannya, aku akan terus memukulmu,” ancam Tera. Sekali lagi ia
mengayunkan rotan itu pada Nada.
“Hentikan! Ibuku akan
marah pada kalian,” teriak Nada.
Mara tertawa terbahak.
“Ibumu?! Ibumu sudah mati!”
Mendengar kata-kata
Nada, Tera berhenti, lalu berkata, “apa kau kira Ibumu akan datang membantumu?!
Jangan bermimpi!” Tera pun tertawa terbahak. Sesaat kemudian melanjutkan
memukul Nada. Nada sudah tak tahan lagi. Ia pun berteriak dengan lantang, “Ibu
… ibu …. Tolong aku, Bu.”
Liontin yang
tergantung di kalung itu berpendar, mengeluarkan cahaya putih yang tiba-tiba
terbang seperti siluet. Ia berpindah cepat dari sudut satu ke sudut yang lain.
Mara terbelalak
melihat kejadian itu. Ia ketakutan hingga merapat ke ibunya. Tera pun masih
bingung dengan sesuatu yang belum jelas itu. Ia terus mengikuti kemana cahaya
itu bergerak. Hingga mereka berdua mendengar suara aungan keras, memekakkan
telinga. Cahaya itu berhenti di langit-langit gudang lalu berputar membentuk
pusaran. Putarannya semakin cepat hingga terbentuklah sesosok wanita bersayap
dengan rambut panjang ikal menyala. Matanya penuh amarah. Ia mengerang,
memperlihatkan gigi taringnya yang tajam.
Tera dan Mara mundur,
menjauh dari sosok mengerikan itu. “Si …siapa kau?”
Makhluk itu hanya
terdiam. Menatap lurus pada dua manusia di depannya. “Kau telah melukai
puteriku,”
“Pu … puterimu?”
“Ya!” jawabnya, tegas.
“Dan sekarang aku akan membalas semuanya.”
Makhluk itu menegakkan
tubuhnya, lalu menarik nafas panjang. Seketika ia menghembuskan nafasnya sekuat
tenaga, membentuk pusaran angin besar. Mara yang ketakutan berlari menuju pintu
gudang yang terbuka, berharap bisa melarikan diri. Namun terlambat, pintu itu
tiba-tiba tertutup. Ia mencoba memutar handlenya, namun pintu tak bergerak,
seolah terkunci.
Mara berbalik. Ia
melihat Ibunya menunduk, lalu berjongkok, berusaha bertahan dari angin itu.
Sedang makhluk mengerikan itu mulai mengepakkan sayapnya. Perlahan kakinya
mulai meninggalkan lantai, terus naik tinggi dan mengerang. Suaranya memekik
hingga Mara harus menutup kedua telinganya.
Sejurus kemudian
makhluk itu mulai bergerak, secepat kilat menyambar tubuh ibunya hingga
terpelanting ke samping. Lalu menerkamnya kuat, mencabiknya tanpa ampun. Mara
merasa ngeri melihatnya hingga ia menjatuhkan diri ke lantai, mendekap tubuh
dan memejamkan mata. Ia hanya mampu mendengar teriakan ibunya, kesakitan.
Sesaat kemudian
suasana hening. Mara memberanikan diri untuk membuka mata, menjawab rasa
penasarannya. Namun ia terkejut seketika. Ternyata makhluk itu ada di depannya,
berdiri menatapnya dengan tajam. Mara berteriak sekeras-kerasnya. Namun tak ada
yang mendengarnya. Gudang bawah tanah itu seolah memiliki dinding pemisah
dengan dunia luar.
Makhluk itu meraih
leher Mara, lalu menariknya ke atas. Mara berusaha keras untuk berdiri, kalau
tidak ia akan tercekik.
“Kau sama saja dengan
ibumu!”
“A …ampun,” kata-kata
Mara terbata. Tubuhnya kini merapat ke dinding. Ia bisa merasakan tajamnya kuku
makhluk itu mengenai kulitnya. Mara bergeming. Yang ia pikirkan sekarang adalah
bagaimana melepaskan diri. Jalan nafasnya semakin semit.
Mara mengangkat
kakinya lalu mengayunkannya ke perut makhluk itu. Tak menduga akan mendapat
perlawanan, makhluk itupun tersungkur dan melepas cengkeramannya. Sekali lagi
Mara menendang. Kali ini mengenai kepalanya hingga terjungkal ke belakang. Mara
pun berlari menjauh ke sudut yang lain. Ia sadar tak bisa kemana-mana. Di
lihatnya di sebelah kanan, tubuh Nada lemas. Entah dia sudah mati atau hanya
pingsan. Namun saat melihat ke sisi kiri, tiba-tiba tubuh Mara berguncang. Ia
melihat tubuh ibunya terlentang di lantai, bersimbah darah, penuh cabikan.
Nafas Mara masih tak
teratur. Ia melihat jauh di depannya, makhluk itu telah bangkit dan berdiri
menatapnya. Mara sedikit bergerak ke samping lalu berlari menghindar, namun
kalah cepat. Makhluk itu menerkamnya dari belakang. Mara tersungkur, tertindih
tubuh makkluk itu. Ia mencoba meminta ampun, namun makhluk itu tak menggubris.
Makhluk itu mulai mengoyak tubuh Mara. Cakaran, gigitan dan cabikan,
bertubi-tubi diterimanya hingga akhirnya ia menyerah, tak bergerak.
***
“Sudahlah, Sayang.”
Sosok wanita berambut lurus panjang, berpakaian putih mengusap lembut kepala
Nada. “Ayo, kita tinggalkan rumah ini!”
Makhluk itu telah
menuntaskan dendamnya. Ia kini kembali ke wujud aslinya. Seorang wanita lembut
yang akan selalu melindungi puterinya meski berbeda dunia.
THE
END
---------------------------------------------------------------------------------
NOTE : Ini adalah satu cepenku di buku antologi Negeri
Sejuta Fantasi. Diterbitkan oleh Writingrevo Publishing pada bulan
September 2012.
ikut menikmati cerpen ini.
BalasHapusTerimakasih, Bu Ima. Next time saya pingin nulis cerpen anak. Kali aja bisa ketularan tembus media :D :D :D
Hapus