Tera memandang jam
dinding yang ada di kamarnya. Hampir pukul dua belas. Beberapa detik lagi ia
akan meninggalkan usianya enam belas tahun. Ya, malam ini adalah ulang tahun
Tera. Namun yang ia dapatkan adalah kedukaan.
Siang kemarin sepulang
sekolah ia menemukan tak ada satu pun anggota keluarganya yang selamat dari
pembantaian. Ayahnya ditemukan di ruang kerja dengan tembakan di kepalanya.
Ibunya terkapar bersimbah darah di ranjang.
Tera menutup matanya.
Merasakan kesedihan luar biasa di setiap desir nadinya, mengalir bersama
darahnya.
Tera, gadis periang
yang duduk di kelas dua SMU itu harus menerima kenyataan bahwa ia kini hidup
sendiri. Hanya Johan, ajudan ayahnya yang sudah diberi kepercayaan untuk
menjaganya semenjak kecil, kini di sampingnya. Johan bertemu dengan Tera saat
gadis itu berusia sembilan tahun. Saat itu usia Johan tujuh belas tahun. Dia
baru bekerja dengan Gara, ayah Tera, salah seorang pimpinan geng di Ibu Kota.
***
Johan Ardiansyah
meletakkan tas sportnya di atas meja, lalu mengeluarkan sepucuk pistol dari
dalamnya. Ia mengisinya penuh lalu menyelipkan di belakang punggungnya.
Johan bersama adiknya
tumbuh di jalanan. Kerasnya hidup mengajarkannya untuk bertahan dengan segala
kemampuan yang dimiliki. Johan tumbuh menjadi remaja pemberani, bahkan
cenderung nekad. Tak ada yang ditakutinya. Saat menyelamatkan Gara dari
serangan musuhnya, ia berhasil menewaskan sebagian besar penyerang. Ia membuat
Gara terkesan hingga mempekerjakannya sebagai salah satu ajudan. Karena usianya
yang masih muda, Johan mendapatkan tugas untuk mengawal Tera, anak perempuan
Gara.
Johan berjalan keluar
kamarnya menuju lorong yang sengaja dibuat remang. Pintu kamar Tera terbuka
sedikit. Dilihatnya gadis itu terduduk di ranjang. Kepalanya tertunduk. Poni rambutnya
jatuh menutupi wajah. Tanganya tertangkup di pangkuan.
Johan membuka pintu perlahan. Suara isak Tera terdengar pilu. Ia masuk lalu menarik sebuah kursi mendekat pada Tera. Sekarang mereka berhadapan.
Johan membuka pintu perlahan. Suara isak Tera terdengar pilu. Ia masuk lalu menarik sebuah kursi mendekat pada Tera. Sekarang mereka berhadapan.
“Mengapa..” suara Tera
bergetar, “semua ini terjadi padaku?”
Johan terdiam, mencoba
mencari jawaban. “Mungkin sudah menjadi takdirmu untuk menjalani semua ini.”
“Tapi aku tak mau, aku
tak mampu,” Ia mulai terisak. Tubuhnya berguncang.
Johan tertunduk,
menarik nafas panjang, lalu mengangkat wajahnya.
“Apa kau tahu arti
dari namamu?” Pandangan Johan lurus ke arah Tera. Tera menggeleng.
“Suatu hari ayahmu
pernah bercerita padaku..” Johan mengambil jeda, lalu melanjutkan.
“Teratai. Nama yang
diberikan padamu. Seperti nama bunga yang hidup di atas air yang tenang tapi
kotor. Tapi teratai mempunyai bunga yang sangat indah dan bersih. Sangat
bertolak belakang dengan lingkungannya,” kata Johan. Tera mengerutkan dahi,
berusaha memahami.
“Ayahmu ingin kau
tetap menjadi dirimu. Tidak terpengaruh oleh sekitarmu,” lanjutnya.
Tera mengangkat
wajahnya, menatap Johan yang ada di depannya. “Maksudmu, aku harus melupakan
semua ini?”
“Ya, dan menjalani
hidup baru,” jawab Johan.
“Apa aku mampu?” Tera
ragu.
“Tentu,” jawab Johan
mantap. Ia mengangkat tangan kanannya lalu meletakkan pada dadanya. “Percayalah
pada hatimu,”
Tera mengangguk.
“Aku berjanji selalu
bersamamu, menjagamu. Seperti janjiku pada ayahmu,” janji Johan.
***
Tera beranjak dari
duduknya, melangkah ke luar kamar lalu turun ke lantai satu. Baru beberapa anak
tangga yang ia tapaki mendadak lampu padam. Sangat gelap hingga Tera harus
meraba dan berpegangan pada sisi tangga.
“Hallo..” Tera
berusaha mendeteksi keberadaan penghuni lain.
Tera terus berjalan.
Meski tak bisa melihat apapun tapi ia ingat betul posisi dapur, tepat di
sebelah kiri tangga. Tera meraba kusen pintu menuju dapur.
“Selamat ulang tahun,
Tera” Suara dari belakang Tera, mengagetkannya.
Tera berbalik. Cahaya
lilin berependar dari belakangnya. Johan dengan sebuah kue tart di tangannya.
Banyak lilin kecil berdiri di atasnya.
Tera tersenyum. Sebuah
kejutan di tengah malam. Ia berdiri tepat di hadapan kue ulang tahunnya, lalu
memejamkan mata. Tangannya tetangkup di depan dada. Bibirnya mengucap sesuatu,
lirih. Sesaat kemudian ia kembali membuka mata lalu meniup semua api yang
menari di atas lilin. Ada tujuh belas lilin kecil di atas kue, menyimbulkan
umurnya sekarang.
Lampu kembali menyala.
Tampaklah semua yang ada di sana. Selain Johan ada juga Alan, adik Johan.
Sekarang mereka duduk mengitari meja makan di sisi meja dapur. Letaknya
berhadapan langsung dengan pintu belakang yang terbuat dari kaca, hingga mereka
dapat menikmati taman belakang dan suasana langit malam.
Tera senang malam itu.
Meski tak ada lagi keluarga bersamanya tapi ia tetap bersyukur memiliki
orang-orang yang menyayanginya.
Dor..!
Sebuah tembakan memecah
kaca pintu. Alan dengan cepat berguling ke samping. Ia mengeluarkan pistol dari
balik punggungnya lalu menembak semua lampu di dapur agar gelap. Dengan begitu
akan menyulitkan lawan untuk mengetahui posisi mereka.
Johan menarik lengan
Tera dan membawanya menjauh dari pintu, bersembunyi di balik meja dapur.
Tembakan dari luar rumah terus menderu. Membabi buta ke segala arah. Sesaat
kemudian sunyi. Suara tembakan berhenti. Namun tak mengurangi kewaspadaan Johan
dan Alan. Suara langkah kaki menaiki tangga terdengar, tak hanya satu, ada
beberapa.
Johan mengeluarkan
pistolnya dari balik punggung lalu memberikannya pada Tera. Tera terkejut.
“Simpan ini untukmu.
Gunakan bila perlu,”
“Tapi..” Tera tak
mampu melanjutkan kata-katanya. Tatapan mata Johan seolah memberikan isyarat
untuk tegar dan bertahan. Johan berjalan mengendap merapat pada Alan. Sedang
Tera berusaha mengumpulkan segenap keberanian. Sekarang mereka bersiap atas
semua yang akan terjadi.
***
Tera mengintip dari
balik meja dapur. Johan sedang bergumul dengan seorang lelaki, sedang Alan
menembak pada musuhnya yang berusaha masuk ke rumah. Namun keadaan tak berpihak
pada mereka. Dua orang melawan belasan. Mereka terdesak.
“Lari!” Perintah Johan
pada Tera.
Dengan cepat Tera
berlari menuju mobil yang terparkir di halaman depan, masuk ke dalamnya, lalu
menguncinya rapat. Ia masukkan kontak dan berusaha membuatnya hidup, namun tak
bisa. Hanya terdengar erangan mesin lalu mati.
Dari belakang, sebuah
buah mobil sedan hitam menabraknya. Tera berguncang dan pistol yang diletakkan
di kursi sampingnya terjatuh. Ia panik. Ia berusaha meraba untuk mendapatkan
kembali pistolnya sebelum orang-orang di dalam mobil itu mendekat. Namun ia tak
mampu menemukannya.
Tera berbalik arah dan
menemukan kedua pria berpakaian hitam sudah di samping pintu mobil. Yang satu
berperawakan gempal dan yang lainnya krempeng. Mereka memecahkan kaca mobil,
membukanya paksa dan menarik tubuh Tera keluar. Tera memberontak dan berteriak
minta tolong. Tak ingin aksinya diketahui si gempal membekap mulut Tera.
Tera menancapkan
kukunya pada lengan kekar si gempal. Si gempal mengerang kesakitan tapi tetap
tak mau melepaskan bekapannya. Si krempeng membantu dengan menarik tubuh Tera
hingga keluar mobil.
Tera berusaha
bertahan. Ia mengangkat tubuhnya yang ringan lalu melayangkan kakinya ke arah
si krempeng. Si krempeng terjatuh ke belakang. Namun dengan sigap ia bangkit.
Kali ini ia mengangkat kaki Tera. Mereka menggotongnya ke mobil.
***
“Larilah pada Tera!
Aku tangani ini,” kata Alan.
Bugh!
Alan melayangkan
pukulan pada perut lawannya hingga tersungkur. Tak ada lagi senjata, yang ada
hanyalah pertarungan satu lawan satu. Beberapa lawan telah tumbang. Tinggal dua
orang saja. Ia yakin bisa membereskannya.
Johan berlari ke
halaman depan. Ia melihat dua lelaki memaksa Tera masuk ke dalam mobil. Dengan
cepat ia berlari mendekat dan melayangkan pukulan yang mengenai wajah si
gempal. Si krempeng yang melihat temannya diserang melakukan serangan balik.
Untuk kesekian kalinya
Johan melayangkan tinjunya pada si gempal hingga terjatuh ke belakang. Kemudian
ia sedikit membungkuk menghindari pukulan si krempeng. Kini siku kirinya yang
beraksi, melayangkan serangan ke arah perut si krempeng. Si krempeng
tersungkur.
Tera berhasil keluar
dari mobil. Ia mendekat pada Johan. Johan melihat ke arah si gempal. Si gempal
mengeluarkan pistol dari balik punggungnya dan mengarahkannya pada Tera.
Dor..!
Johan mendorong Tera
ke belakang. Ia sendiri tersungkur di depan Tera. Darah segar mengalir dari
tubuhnya yang tertelungkup. Tera panik. Di depannya, si krempeng siap menarik
lengannya.
Dor..!
Tiba-tiba si krempeng
terjatuh dengan luka tembak di kepala. Demikian pula si gempal yang terkapar di
tanah. Tera melihat ke arah datangnya tembakan. Alan berdiri di sana. Sesaat
kemudian berlari ke arah Tera.
Tera membalikkan tubuh
Johan yang sudah tak berdaya dengan sebuah luka tembak di punggung, merebahkan
kepalanya perlahan di pangkuannya.
“Maafkan aku, Tera … tak
bisa menepati janjiku,” kata-kata Johan terbata.
“Apa maksudmu?” suara
Tera bergetar.
“Ingatlah, Terataiku.
Kau pasti bisa bertahan,” ujar Johan mantap.
“Kakak?” Suara Alan
dari belakang, mendekat pada Tera dan Johan.
“Jaga terataiku,”
Johan memohon pada Alan. Alan menjawabnya dengan anggukan.
“Aku menyayangimu,
Tera,” Johan tersenyum.
“Kak Johan,” suara
Tera lirih mengiringi air matanya yang menderas.
***
Takkan selamanya
tanganku mendekapmu
takkan selamanya raga
ini menjagamu
seperti alunan detak
jantungku
tak bertahan melawan
waktu
dan semua keindahan
yang memudar
atau cinta yang telah
hilang
(Tak Ada yang Abadi, by Peterpan)
Teratai Puteri Gara
menatap nanar pada batu nisan di depannya. “Mungkin, seumur hidup aku akan
memendam rasa ini tanpa bisa mengungkapkannya. Aku tahu betapa kau
menyayangiku, tapi aku lebih dari itu,”
Tera mengambil nafas
panjang. “Aku mencintaimu, kak Jo,”
Tera kini tinggal
bersama kakek dan neneknya di pinggiran kota. Ia mencari ketenangan dari carut
marut dan menata hidupnya yang porak poranda. Seperti remaja pada umumnya, ia
melanjutkan sekolah di sebuah SMU dan bergaul bersama teman-teman sebayanya.
“Sebentar lagi akan
hujan,” ujar Alan yang sekarang menjadi penjaganya. Namun sampai kapan pun
Johanlah yang menjaga hatinya.
“Ya, kita pergi dari
sini,”
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^