Sebelumnya ... The Dark Hole Part 1
Sepuluh menit perjalanan, melewati beberapa blok rumah, Io dan Ai tiba di lapangan sekolah. Lapangan berukuran sepuluh kali lima belas meter itu terletak pada bagian belakang sekolah, berbatasan dengan hutan kecil yang menghubungkan sekolah mereka dengan sebuah bukit di belakangnya.
Jo belum datang, dan itu membuat mereka berdua sedikit kecewa. “Dia berbohong,” ujar Ai dengan nada kecewa. Ia masih sempat berharap kalau Jo adalah salah satu orang yang akan membantunya mengatasi semua ini.
“Bisa juga tidak.” Io menanggapi dengan enteng. Ia menyandarkan sepedanya pada sebuah pohon besar, lalu melepas tas ransel dari punggungnya. “Mungkin dia sedang dalam perjalanan kemari. Ini masih kurang beberapa menit lagi. Kita yang terlalu cepat.”
“Itu karena kau terlalu bersemangat,” sahut Ai yang membuat Io menoleh cepat padanya. Matanya menyipit. “Jadi kau tidak?”
“Bukan begitu maksudku … hanya saja …,” Ai tergagap. Ia tak menyangka kalau kakaknya akan menanggapinya serius. “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Io mendesah dramatis. “Keluarkan bukunya!” Ia menerima buku dari Ai dan langsung membukanya. “Menurut buku ini, dark hole adalah jalan penghubung antara dunia manusia dengan dunia lain,” kata Io sambil terus memindai kata demi kata di buku itu.
“Apa itu?” tanya Io, bingung.
“Dunia dimana sesosok makhluk penguasa kegelapan bersemayam di sana ,” Io mengakhiri kata-katanya lalu melihat ke Ai. Kini mereka saling berpandangan lalu secara bersamaan melihat ke arah dark hole yang berjarak beberapa meter saja dari mereka. Mereka sengaja menutupi lubang itu dengan semak-semak. Lubang itu semakin hari semakin membesar. Yang awalnya hanya sebesar kepalan tangan sekarang sudah dua kalinya.
“Hai, kalian!” suara dari balik semak mengagetkan Ai dan Io. Jo berlari tergopoh menghampiri mereka. Lelaki berusia empat puluh tahunan itu membawa sebuah buku lain yang lebih besar dan tebal.
“Aku menemukan jawaban atas semua kekacauan ini,” kata Jo. Kini ia duduk berhadapan dengan mereka.
“Benarkah?!” tanya Ai dan Io serentak, sangat antusias. Jo membuka sebuah halaman pada buku itu.
“Ini ada hubungannya dengan legenda Golden Dragon,” kata Jo sambil memperlihatkan gambar yang tertera pada buku. Seekor naga raksasa dengan tiga cula di kepalanya. Ekornya panjang dan terlihat kuat. Sayapnya lebar dan kokoh. Ia menyemburkan lidah api panjang yang merah menyala.
“Inikah penguasa kegelapan itu?” tanya Ai dengan nada lambat. Matanya terpaku pada sosok naga itu.
“Bukan. Tapi ini adalah penyelamat kita,” jawab Jo. Tangannya memindai pada paragraf di bawah gambar. “Di sini dikatakan, di dalam perut naga ini terkandung sebuah telur raksasa berupa kristal putih. Kristal itulah yang bisa menyumbat kembali dark hole,” jelasnya panjang-lebar.
“Berarti kita harus membunuhnya?” tanya Io sedikit ragu.
“Ya, mau bagaimana lagi. Kalau ingin mengambilnya, ya harus membunuhnya,” ujar Jo sambil mengendikkan bahu.
“Sepertinya memang arus ada yang dikorbankan,” gumam Ai, lalu menghela nafas panjang. Bahunya melorot.
***
“Io… Io… Bangun!”
Tubuh Io berguncang. Dengan cepat matanya terbuka lebar. “Aku dimana?”
Ai duduk di sampingnya, setengah membungkuk. “Di dalam tenda.”
“Di dalam tenda?!” Io segera bangkit dari posisi tidur, lalu duduk sambil melihat sekitar dan terus berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Kau pikir dimana? Semalam kita berkemah di sini.” Jawab Ai. Ia jadi ikutan bingung dengan sikap Io.
Tiba-tiba pintu tenda terbuka. Jo menyembulkan kepalanya. “Sarapan sudah siap. Ayo cepat makan. Kita butuh banyak tenaga hari ini.”
Kedua remaja itu bangkit lalu keluar tenda. Sesaat kemudian mereka telah duduk pada batu yang melingkari sisa-sisa api unggun yang semalam mereka gunakan. Api unggun yang tak lagi berwarna merah menyala tetapi sudah menjadi abu-abu terang.
“Semalam aku sudah mempelajari buku ini.” Jo mengambil buku di sampingnya lalu membuka sebuah halaman dan menyodorkannya pada Io dan Ai yang masih memegang piring berisi sarapan mereka.. “Ini adalah peta yang menunjukkan dimana Golden Dragon tidur.” Jo memperlihatkan sebuah halaman hanya dengan beberapa garis berwarna berbeda yang meliuk-liuk. Ada beberapa tanda di sana , yang menunjukkan suatu tempat tersembunyi.
“Lalu dimana Golden Dragon sekarang?” Kini Io yang lebih bersemangat dibanding Ai.
“Dia sudah tertidur berabad-abad lamanya di antara dua bukit kembar,” tambah Jo lagi.
“Bukit kembar?! Itu berarti…,” Io dan Ai menoleh ke arah yang sama. “Bukit belakang sekolah.”
“Kita harus masuk ke dalam hutan dan menemukan telaga di sana --,” Jo menunjuk ke peta.
“Kalau begitu kita berangkat sekarang.” Potong Io cepat. Ia meletakkan piringnya, lalu bangkit dan mengangkat ranselnya.
Jo menoleh ke Io dan mencoba menahannya. “Hei. Habiskan dulu sarapanmu.”
“Kita tidak punya banyak waktu.” Io menoleh ke Ai, mencoba mencari dukungan. “Ayo!”
Ai bergeming. “Kalau benar kita harus bertarung, aku tak mau jika harus bertarung dalam keadaan kelaparan.”
Jawaban Ai membuat Io geram. Ia meletakkan tasnya dan kembali ke piringnya. Mereka menghabiskan waktu hampir satu jam untuk sarapan dan membongkar tenda, lalu mulai berjalan masuk lebih dalam ke dalam hutan. Io yang memimpin perjalanan. Ia berada paling depan, disusul Ai dan Jo.
“Yang mana? Kiri atau kanan?” Rombongan berhenti seketika saat Io bingung harus memilih satu diantara dua jalan di depannya. “Persimpangan ini tak ada di peta.”
“Cek sekali lagi!” Ai dan Jo ikut memperhatikan peta. Tapi tetap saja tak ada tanda.
Io terdiam sejenak. “Kita undi koin. Kalau angka kita ke kiri, tapi kalau gambar kita ke kanan.” Ia mengeluarkan koin dari saku jaketnya, melemparkannya ke atas dan membiarkan koin itu jatuh di tangannya, lalu dia menutup tangannya rapat.
“Angka.” Seru Jo.
“Bagus.” Io memasukkan kembali koinnya ke saku jaketnya, lalu berbalik. “Kita ke kiri.”
Ai menoleh ke Jo dengan dahi berkerut. Jo hanya mengendikan bahu, tak bisa memberikan jawaban atas keputusan Io yang tiba-tiba berubah. “Bukankah seharusnya kita ke kanan?”
Io mengingkari perkatannya sendiri. “Tapi instingku mengatakan kita akan menemukan sesuatu di sana ,” Io menunjuk ke arah semak. Ia tak ambil pusing protes Ai. Itulah Io. Sosok yang keras kepala dan penuh kejutan. Tak banyak yang bisa dilakukan dengan keputusan Io.
“Golden Dragon sangat berbahaya. Dia pemarah dan lincah ..,” Jo terus bercerita sepanjang perjalanan, dan cerita itu membuat Ai penasaran.
“Apa berarti untuk membunuhnya kita harus benar-benar bertarung?”
“Tentu saja.” Sahut Io. “Mana ada makhluk yang mau dengan suka rela menyerahkan nyawanya?”
Hampir satu jam perjalanan, tibalah mereka di sebuah danau dengan airnya yang berwarna hijau kebiruan. Di seberangnya sebuah rumah tua dengan gapura tinggi terbuat dari kayu. Io tersentak. Tiba-tiba ia menghentikan langkah dan membuat orang-orang di belakangnya menabraknya. Pemandangan di depannya, sesuatu yang tak asing baginya. Seperti de javu.
“Kenapa berhenti?” tanya Jo sambil melihat ke Ai yang meringis dan mengelus dahinya yang sakit karena menabrak tas ransel Io.
“Rumah itu ...,” kata Io tanpa menoleh ke belakang. Suaranya terputus. Ia berdiri kaku. Matanya memandang lurus pada rumah. Lanjutnya, “ Aku pernah melihatnya.”
“Kau pernah kemari sebelumnya?” tanya Jo lagi, merasa dirinya melewatkan sesuatu dari Io. Tapi Io menggeleng. Lanjut Jo, “lalu dimana kau melihatnya?”
“Di mimpiku." Io masih belum mau berkedip dari pemandangan di depannya.
“Apa kau yakin?” Kini Ai yang ingin memastikan kalau kakaknya itu tidak sedang bercanda.
Io mengangguk mantap. “Kita harus masuk ke sana untuk mengambil pedang itu.”
“Pedang?!” Seru Jo dan Ai serentak. Keduanya makin tak mengerti.
Io berbalik cepat, berjalan mendekat ke Ai dan Jo. “Pedang yang ada dalam mimpiku.”
“Kenapa semua tentang mimpimu. Ada apa dengan mimpimu?” Ai mulai geram. Ia menganggap gurauan Io tidak lucu.
“Entahlah. Aku merasa kalau mimpiku itu memberiku pentunjuk.” Io berusaha membela diri.
“Cukup!” Ai sudah tak tahan dengan sikap kakaknya. “ Aku tidak suka gurauanmu.”
“Aku tidak bergurau. Aku –.“ Io kaget dengan sikap Ai yang tak lagi percaya padanya.
“Hei, sudah. Jangan bertengkar!” Jo menoleh ke Io lalu ke Ai, mencoba melerai. “Kalau memang mimpimu benar, itu berarti kita harus cepat ke sana dan menyelesaikan semua ini.”
Io masih tersungut saat berbalik dan berjalan memasuki halaman, menaiki beranda rumah, lalu membuka pintunya. Di depannya, sebuah ruangan besar dengan sebuah batu besar di tengahnya. Batu itu tersinari oleh cahaya matahari yang menerobosi atap rumah. Mereka mendekat perlahan. Ini tak sama dengan apa yang ada di mimpinya. Tak ada kakek di sana. Justru yang mereka temukan adalah sebuah pedang yang menancap di atas batu. Di bawahnya sebuah prasasti. Hanya untuk yang terpilih.
Semua saling memandang. Hingga akhirnya Jo maju. Ia memegang erat ujung pedang dan berusaha sekuat tenaga menariknya, pedang itu tak bergerak. Ia kemudian menoleh ke arah Ai dan Io. “Cobalah!”
Ai dan Io serentak menggeleng.
“Tak ada salahnya mencoba, kan?” Pinta Jo, sedikit memaksa.
Io memberanikan diri untuk mencoba, tapi tetap saja pedang itu tak bergerak. Lalu giliran Ai. Ia menahan nafasnya lalu memejamkan mata. Baru saja dia akan menariknya sekuat tenaga, pedang itu tiba-tiba bergerak. Pedang itu berkilauan. Ai mampu mengangkatnya lalu membaca ukiran pada ujung pedang, Lord Swarrow, lalu melihat pada Io dan Jo yang masih terkagum dengan apa yang terjadi.
“Ai, kaulah yang terpilih,” seru Io. Wajah mereka berbinar seketika. Ada denting harapan tentang petualangan ini akan terus berlanjut. “Sekarang, kau yang memimpin misi ini.”
***
Jo, Ai dan Io berjalan menyusuri sebuah gua. Di sanalah Golden Dragon tertidur selama ini. Hanya ini satu-satunya jalan masuk. Gelap, sangat gelap. Tak ada secercah cahaya pun, hingga mereka harus menyalakan senter. Jalan setapak pada gua tidak begitu lebar, hanya cukup dilalui oleh satu orang saja. Di sepanjang dinding dilapisi oleh cairan hitam pekat.
Ai merasa jijik dengan cairan yang lengket di tangannya. Cairan itu meredam cahaya. Karena menurut legenda Golden Dragon sangat aktif jika melihat cahaya.
“Apa ini?” Tanya Ai, tapi tak seorangpun menjawab. Masing-masing tengah sibuk mengamati sekitar.Akhir lorong adalah sebuah tebing curam, yang menghubungkan lorong gua dengan ruangan besar di tengah gunung.
“Suara apa itu?” Tanya Ai lagi. Sebuah suara yang membuat bulu kuduknya berdiri.
“Matikan senternya!” Pinta Jo cepat.
“Kenapa?” Io penasaran.
“Itu suara nafas Golden Dragon,” jawab Jo setengah berbisik.
“Suara nafas?!” seru Io dan Ai serentak dengan nada ngeri.
“Ya ampun, suara nafasnya saja sudah menakutkanku.” Ai merapat ke dinding gua, bersembunyi di antara stalakmit besar yang menjulang kokoh di hadapannya.
“Kau takut?” Tanya Io dengan nada sinis.
Ai berguman. Tatapan mata Io yang seperti itu selalu mengintimidasinya, mengingatkannya akan dosa-dosanya. Ia tak mau jadi pecundang.“ Ti … Tidak.”
Jo mengeluarkan sesuatu dari tas ranselnya. “Pakai ini.” Kacamata inframerah yang akan membantu mereka melihat dalam gelap.
“Keren. Ini seperti di film perang.” Io menerimanya dengan berbinar.
“Hei, Nak. Kita memang sedang berperang.” Timpal Jo.
Mereka melangkah ke depan perlahan, memasang tambang dan menjulurkannya hingga ke bawah. Satu per satu mereka turun. Sesampainya di dasar, mereka bisa merasakan hembusan nafas Golden Dragon. Ia ada di sana, di depan mereka. Perlahan mereka mendekat.
Mereka berdiri di depan Golden Dragon. Dekat, sangat dekat. Ai mengeluarkan pedang Lord Swarrow dari sarung pembungkusnya, yang sedari tadi dibawa di punggung. Io dan Jo melangkah mundur, memberi kesempatan pada Ai melakukan tugasnya, selain itu juga untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi sesuatu.
Ai mengangkat pedangnya. Ia siap mengayunkannya saat tiba-tiba Golden Dragon membuka matanya. Rupanya Lord Swarrow bereaksi terhadap keberadaan penguasa kegelapan dan pengikutnya. Ia bercahaya. Cahaya itulah yang membangunkan Golden Dragon.
Ai terbelalak saat Golden Dragon mengangkat kepala dan mulai meraung. Tubuhnya kaku. Ketakutan seketika menyergapnya. Ia tak pernah mengalami hal semacam ini. Kalau hanya bertarung, setiap seminggu sekali ia diharuskan bertarung sesama anggota Tae Kwon Do sekolah. Tapi ini dengan naga yang suaranya saja menggetarkan dinding gua. Tangan Ai bergetar dan pedangnya hampir jatuh. Sedang Io dan paman Jo berlari mundur, bersembunyi di balik batu besar.
“Seharusnya dia bisa lebih dari itu.” Mata Jo menyipit. Dahinya berkerut.
“Maksudmu?”
“Aku tahu riwayat leluhur kalian.” Jo menoleh ke Io. “Leluhur kalian adalah penjaga pulau ini. Ketika pulau ini diserang penguasa kegelapan, leluhur kalian memimpin perlawanan. Hingga akhirnya penguasa kegelapan kalah dan dipenjarakan di dark hole.”
Io menelan ludah dengan susah, sedikit ngeri dengan cerita Jo. “Benarkah?! Lalu Golden Dragon?”
“Sebenarnya dia adalah tunggangan dari penguasa kegelapan.”
“Dimana penguasa kegelapan itu?”
“Ditawan dalam dark hole. Jika dark hole terbuka, dia akan menyerap semua cahaya di dunia ini. Cahaya itulah sumber kekuatan penguasa kegelapan. Itu sebabnya kita harus segera menutupnya kembali sebelum dia bangkit.”
Golden Dragon menegakkan tubuhnya. Ia menatap Ai tajam. Sedang Ai hanya terdiam, mencoba mengumpulkan keberanian. Seketika Ai merasakan rasa terbakar menjalar di seluruh tubuhnya. Sebuah kekuatan kini telah bangkit dalam dirinya. Dia memutar Lord Swarrow lurus. Ia sudah siap dengan segala serangan.
Golden Dragon mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya bersama lidah api yang menjilat, menyebar ke segala arah. Ai mundur selangkah, lalu berlari dan melompat tinggi. Diayunkannya Lord Swarrow, tapi Golden Dragon mampu menghindar. Ia mengepakkan sayapnya lalu terbang mengitari dinding tebing.
Ai mendarat dengan mantap, lalu berbalik, mencoba mencari keberadaan Golden Dragon. Golden Dragon berputar lalu menukik tajam, mencoba menghantam Ai, namun Ai berlari ke belakang. Ia menapakkan kakinya pada lereng bukit, berlari dengan posisi sembilan puluh derajat, melompat lalu melakukan salto. Diayunkannya Lord Swarrow hingga memangkas ekor Golden Dragon. Golden Dragon mengerang. Lagi-lagi suaranya menggetarkan dinding tebing. Io dan Jo sampai harus menutup telinga.
Ai bergeming. Ia berdiri tegak menghadap Golden Dragon, mengangkat Lord Swarrow, dan bersiap dengan serangan berikutnya. Ai berlari kencang menuju ke sisi kiri Golden Dragon saat naga itu lengah karena lukanya. Ia berlari tegak lurus pada dinding tebing lalu melompat dan berputar hingga berhasil mendarat di kepala Golden Dragon. Jurus itu beberapa kali diulangnya karena memang itulah salah satu cara agar bisa menyaingi makhluk dengan tinggi sepuluh kali tinggi tubuhnya.
Golden Dragon menyadari keberadaan Ai di kepalanya. Dari kejauhan Ai terlihat seperti kutu di kepala Golden Dragon. Golden Dragon menggeliat dan itu menyebabkan keseimbangan Ai terganggu. Ai terpeleset dan bergantungan di samping kepala Golden Dragon. Tangan kirinya berpegangan pada salah satu tanduk Golden Dragon sedang tangan kirinya menggenggam erat Lord Swarrow.
“Kalian! Tolong aku!” Seru Ai. Sedari tadi ia tak melihat Ai dan Jo.
“Bertahan Ai!” Seru Io dari balik batu. Nafasnya menderu melihat adiknya bergelantungan. “Apa yang harus kita lakukan?”
“Kenapa tanya aku? Harusnya kau yang lebih tahu,” elak Jo.
“Aku?” Io menunjuk hidungnya sendiri.
“Kau ingat mimpimu? Mimpi itulah yang telah membimbing kita. Kau bisa melihat masa depan lewat mimpi.”
“Aku tidak mengerti!” Io semakin bingung. Ia mulai panik.
“Jangan berdebat terus! Cepat tolong aku!” Ai masih terus bertahan meski Golden Dragon terus mengibaskan kepalanya, berharap genggaman tangan Ai melemah dan terjatuh. Dengan begitu akan makin mudah baginya untuk menjadikan Ai sasaran empuk.
Jo terus mendesak Io untuk mengingat kembali mimpinya. “Io, coba ingat lagi!” Jo percaya banyak petunjuk dalam mimpi itu.
“Setelah pedang itu, kakek dalam mimpiku berkata, tiga nyawa dalam satu jiwa. Apa maksudnya?”
“Kalian! Cepatlah!” Ai geram. Ia merasa ditinggalkan. Seharusnya ini adalah pertempuran mereka, bukan perorangan.
“Tiga ...,” Io menoleh ke Golden Dragon. “Tanduknya! Ai, potong tanduknya!”
“Tanduk?!” Ai melihat tanduk yang digenggamnya. Ia berusaha naik ke atas lalu menencapkan Lord Swarrow. Golden Dragon menggeliat kesakitan. Ai diam, menjaga posisinya agar tak goyah. Sesaat kemudian ia mengangkat Lord Swarrow lalu mengayunkannya cepat. Tebasan Lord Swarrow memenggal habis ketiga tanduk Golden Dragon.
Golden Dragon mengerang keras. Sebentar kemudian terkulai lemas. Ai yang berada di atas masih sempat melompat ke belakang, meluncur melalui leher Golden Dragon menuju punggungnya. Ia bertahan di sana , menunggu leher Golden Dragon yang panjang tergeletak di tanah meski masih menghembuskan nafas lemah.
Ai melompat ke bawah. Kakinya sekarang bisa menyentuh tanah. Ia mendekat pada perut Golden Dragon. Sebenarnya ia tak tega melihat Golden Dragon yang tengah sekarat sambil sesekali mengerang. Tapi mau tak mau ia harus membunuhnya untuk mendapatkan kristal itu. Ai mengangkat Lord Swarrow, menancapkannya tepat di perutnya lalu membuat sayatan melintang hingga perutnya terbuka. Sedikit celah terbentuk di sana, membiarkan seberkas cahaya berkilauan keluar, menyebar.
Io dan Jo berlari mendekat.
“Buka lebih lebar!”seru Jo. Kristal bening berbentuk tabung sebesar bayi memancarkan cahaya terang hingga mereka bisa melepas kacamata mereka..
Seketika tanah bergetar. Dinding gua mulai runtuh.
“Cepat ambil kristalnya dan keluar dari sini!” Seru Jo. Io bergegas mengambil Kristal itu dan memasukkannya ke dalam tas. Lalu kedua kakak adik itu berlari ke dinding gua, memanjatnya hingga sampai di lorong tempat mereka masuk.
Ai menoleh ke bawah. Jo masih ada di sana “Cepatlah! Gua ini akan runtuh!” Teriaknya. “Kalian keluar dulu dan segera tutup dark hole. Aku akan menyusul!” Seru Jo dan terus memaksa mereka untuk cepat keluar.
Butuh tenaga ekstra untuk berlari dari mulut gua ke dark hole. “Lubangnya cepat sekali membesar. Aku harap kristal ini cukup menutupnya,” kata Io saat membantu Ai meletakkan Kristal itu hingga pas pada mulut dark hole. Ada tenaga perlawanan saat kristal itu di masukkan. Tapi mereka tetap berusaha mendorongnya hingga menutup dark hole dengan sempurna. Dari kristal itu berpendar semakin terang, lalu cahayanya menyebar. Seperti degradasi pelangi. Cahaya itu terus memantul ke segala arah dan diserap oleh semua benda di dunia ini. Warna warni dunia telah kembali seperti semula. Daun hijau, batang coklat, langit biru, awan putih, matahari kekuningan. Ai melihat tubuhnya, lalu ke Io dan sekitarnya. Perlahan tubuh mereka kembali seperti semula. Tidak lagi seperti film hitam putih.
***
“Siapa Jo?” Tanya seorang petugas perpustakaan bernama Kevin saat Io dan Ai kembali ke tempat itu untuk memastikan kalau Jo baik-baik saja. Kemarin Jo tidak ikut mereka menutup dark hole.
“Petugas di sini. Dia pernah mengajak kami ke lantai tiga.” Jawab Io.
“Tak ada yang bernama Jo disini. Lagi pula lantai tiga sedang di renovasi, tertutup untuk umum.”
Setelah berdebat hampir satu jam, akhirnya Ai dan Io menyerah dan pulang ke rumah. Meski Jo yang mereka maksud tidak mereka temukan, tapi mereka senang semua telah kembali seperti semula. Dunia yang penuh warna.
Io membuka pintu depan lalu masuk ke dalam rumah, diikuti Ai di belakangnya. Di ruang tamu Zack dan Scarlet berdiri saling bersebelahan. Ia memandang ke sebuah lukisan yang baru saja terpasang di dinding.
“Siapa mereka?” Suara Ai mengagetkan keduanya.
“Ini ayah,” katanya sambil menunjuk ke foto lelaki kecil yang ternyata adalah dirinya. Lalu telunjuknya beralih ke lelaki setengah baya yang berdiri di belakang bocah lelaki itu. “Ini kakekmu.” Tangannya bergerak lagi pada foto lelaki dengan rambut memutih sempurna. “Dan ini kakek buyutmu.”
“Kakek buyut?” Seru mereka serentak setelah mengamati dengan seksama sosok di foto itu. Mereka berpandangan. Io menyipitkan mata dan dibalas dengan endikan bahu oleh Ai. Sosok kakek buyut mereka mengingatkan mereka pada lelaki yang telah menemani mereka berpetualang hingga mengalahkan Golden Dragon.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^