Jumat, 08 Januari 2016

[CERPEN] : TITIP RINDU BUAT RASYA



Andai dicipta kisah, tak pernah usai
tiada derita kan ku hindari
masih di sini, menunggu
bersama waktu
dan hangat rindu, terbakar
menjalar pada sela pijar
: bidadariku

Sore yang mendung di Solo. Aditya menatap lurus langit yang tertutup gumpalan awan kelabu, seperti gulali. Angin berhembus agak kencang dari lantai dua puluh satu dimana ia berdiri sekarang. Ia keluarkan sehelai kertas dari sakunya. Sisa remasan tangan membekas pada tiap lekuknya. Dengan sedikit ragu dibukanya kertas berwarna merah muda itu. Matanya memindai setiap huruf yang tertulis di atasnya. Perlahan, dengan cermat ia berusaha memahami setiap kata.
Di belakangnya, Aryo duduk menyandarkan punggungnya pada kursi kayu. Tangannya mempermainkan mug biru gelap bergambar bunga matahari. Diputar ke kanan, lalu ke kiri.
“Jadi, sebenarnya, yang terjadi adalah..?!” pertanyaan Aryo menggantung. Aditya hanya terdiam. Hatinya antara iya dan tidak. Ia berbalik, berjalan mendekat pada Aryo, menarik salah satu kursi.
“Rasya tak bicara sepatah kata pun padaku. Bahkan ia tak menemuiku. Surat ini diselipkan di antara laporan, dan dititipkan pada Ria, sekretarisku,” ujar Aditya, tertunduk lesu. Wajahnya murung.
Selama ini dia hanya mampu memendam rasa pada Rasya. Gadis pujaannya sejak SMU. Mereka satu sekolah, satu kelas. Bahkan ketika kuliah pun satu universitas. Tapi siapa sangka cintanya hanya akan terpendam di hati saja. Tak bisa ia ungkapkan. Karna ia tak kuasa. Ia merasa beda kasta. Rasya adalah anak orang kaya. Sedang dia adalah orang biasa. Namun ada sesuatu yang berbeda dari Rasya. Ia tak pernah membanggakan kekayaan orang tuanya. Ia tipe perempuan mandiri, low profile dan cerdas. Itu yang memikat Aditya.
Aryo merelakan untuk menemani Aditya meski sebentar lagi ia harus memimpin rapat bagian pemasaran. Dicecapnya sedikit kopi panas yang masih mengeluarkan asap putih. “Sepertinya, kamu sungguh menyukainya.”
“Suatu malam aku bermimpi tentangnya. Dia mengenakan gaun pengantin warna putih tulang, menungguku di taman bunga dengan sebuah kolam di tengahnya. Kolam yang dipenuhi oleh teratai. Bunga kesukaannya,” Aditya terdiam, mengenang. Tangannya memutar gelas yang isinya tinggal setengah. “Sejak saat itu aku percaya dia memang ditakdirkan untukku.”
“Lalu, kenapa kau tak pernah mengungkapkannya?” Aryo menatap lurus Aditya yang masih tertunduk lesu. Aditya tak menjawab.
“Kalau begitu,” Aryo bangkit dari duduknya, sudah saatnya ia masuk ruangan rapat, “jangan terlalu yakin dengan mimpi itu,” ia mengambil nafas, “lagi pula kau selalu pesimis dengan cintamu. Siapa tahu dengan berjalannya waktu akan ada cinta yang lain,” Aryo berbalik, hendak berjalan menuju ruangan.
“Sepertinya tidak,” suara Aditya menghentikan langkah Aryo. Aditya mengambil nafas panjang, “dia cinta matiku.”
Aryo berbalik, memandang ke Aditya. Ada rasa bimbang di hatinya. Tak tega melihat sahabatnya terus berduka.
“Pergilah ke bandara!” suara Aryo berpacu dengan hembusan angin yang mulai menderu kencang. Langit semakin menghitam. “Dia akan berangkat ke Jakarta pagi ini untuk menemui saudaranya, lalu pulang ke Australia.”
Aryo mendekat ke Aditya, “kalau kau benar-benar mencintainya, perjuangkan cintamu.”
Aditya mendongakkan kepala, memandang Aryo yang berdiri di depannya, penuh tanya.
“Sebenarnya Rasya mengundurkan diri dari perusahaan bukan untuk pindah tempat kerja. Tapi karena dia harus kembali ke Australia. Entah untuk sementara atau selamanya. Ayahnya sakit keras, dia diminta untuk pulang,” ujar Aryo.
Aditya berdiri, mendekat ke Aryo. Kini mereka saling berhadapan. Aditya mengerutkan  dahinya, “dari mana kamu tahu?”
“Rasya sendiri yang cerita padaku. Dia memintaku merahasiakannya darimu.”
“Tapi kenapa?” tanya Aditya, tak percaya. Kedua tangan Aryo memegang pundak Aditya, semacam isyarat untuk memintanya tegar.
“Kau sedang mengerjakan proyek besar. Dia tak ingin mengganggumu. Asal kau tahu. Rasya sangat bangga padamu. Apalagi saat kau bisa meraih mimpimu. Dia berbahagia untukmu,” ujar Aryo, mencoba meyakinkan Aditya.
Aditya mundur beberapa langkah. Seketika ia berbalik lalu berlari menuju ke lift. Di tekannya tombol turun. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, dengan cepat menekan nomor Rasya. Tapi tak bisa tersambung. Dikepalkan tangannya lalu mengayunkan tinju ke dinding lift. Ia geram, kesal.
Aditya segera berlari menuju mobilnya begitu pintu lift terbuka pada lantai basemant. Ia tak ingin membuang waktu sedetik pun. Mendung telah menganakkan gerimis saat Aditya melaju bersama mobilnya masuk ke jalan raya utama menuju ke bandara Adi Sumarmo. Hujan semakin deras. Jalanan macet. Beberapa kali Aditya melihat ke jam tangannya. Ia berpacu dengan waktu.
“Arghh…” Aditya bertambah geram. Beberapa kali ia memencet klakson mobilnya, memberi isyarat pada pengendara yang lain agar memberi jalan.
Mobil Aditya terus merangsek maju hingga berhasil menerobos kemacetan. Pada pertigaan terakhir, Aditya membelokkan mobilnya ke kanan. Meski jalanan licin tapi Aditya tetap menggeber mesin mobilnya, tak memperdulikan angka di speedometer. Aditya tak tahu kapan lagi akan bertemu dengan Rasya. Aditya ingin Rasya tahu betapa ia sangat menyayanginya, dan akan selalu ada untuknya.

***

Rasya menutup ponselnya lalu memasukkannya ke dalam tas ransel abu-abu di pangkuannya. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya yang terduduk di kursi tunggu lalu menyilangkan kaki. Di luar sana hujan semakin deras. Penerbangannya delay. Rencananya ia akan transit ke Jakarta sebelum lanjut ke Australia.
Di saat penumpang lain kesal dengan penerbangan yang delay, namun tidak dengan Rasya. Ia seakan diberi waktu untuk berpikir, menunggu. Ada yang membuat hatinya harap-harap cemas. Sejak kemarin dia belum bicara dengan Aditya, bahkan belum berpamitan. Aditya terlalu sibuk dengan proyek yang sedang ditanganinya. Padahal ada sesuatu yang ingin disampaikannya, tak terwakili oleh siapapun. Ada penyesalan di hatinya. Mungkin ini adalah hari terakhir. Kalau surat yang kemarin dititipkannya pada Ria, sekretaris Aditya, sampai pada Aditya dan dibacanya, akankah Aditya menemuinya? Menghalaunya pergi? Atau akan biasa saja? Bagi Aditya dirinya ini siapa?
Berbagai macam pertanyaan terus menghantui pikirannya. Rasya semakin resah. Diremasnya ponsel yang ada di tangannya. Ia mengigit bibir bawahnya untuk membantu menekan perasannya. Ditariknya nafas panjang, matanya terpejam, lalu dihembuskan perlahan.
Sebenarnya ia masih ingin berada di kota Solo. Kota yang mempertemukannya dengan Aditya beberapa tahun yang lalu. Kota dimana kenangan-kenangan indah mereka terangkai semenjak SMU, kuliah hingga sekarang mereka menjadi rekan kerja. Ia berharap dapat terus berada di dekat Aditya, memberikan support untuknya serta melihatnya meraih satu per satu mimpinya.
Aditya berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang ia kenal. Ia dari keluarga sederhana. Namun ia punya banyak mimpi dan cita-cita. Dan untuk mewujudkannya, ia bekerja keras dan pantang menyerah. Luar biasa. Dengan kata lain, Adityalah yang ia inginkan. Meski Rasya sendiri bergelimang harta namun ia tak ingin pasangan hidupnya kelak hanya berpangku tangan. Apalagi sampai mengandalkan warisan orang tuanya. Tak ada salahnya jika Rasya begitu hati-hati dengan perasaannya. Ia tak ingin jatuh hati pada orang yang salah, yang hanya memanfaatkannya, bukan mencintainya dengan tulus.
Untuk kesekian kalinya Rasya menghitung waktu. Antara iya dan tidak, antara tetap tinggal atau beranjak. Rasya menebak-nebak kedatangan Aditya. Tak ada tanda-tanda apa pun. Hingga ia putuskan mengemasi semua barangnya. Sementara ia menunggu penerbangannya yang delay, ia akan membeli secangkir kopi penghangat tubuhnya yang mulai terasa kaku karena dingin. Namun, belum sempat ia bangkit dari duduknya seseorang memanggil namanya. Dari arah samping kanannya, seseorang berlari sambil sesekali melihat sekeliling. Dialah sosok yang sedari tadi ditunggunya.

***

Tunggu!
jangan biarkan rasaku melarut
bersama hujan, di sudut mata
merintih duka
aku terlena
atas bisu, membungkam
cinta yang terpendam

Aditya berlari menuju terminal keberangkatan. Dia menyapukan pandangan perlahan, menyibak satu persatu sosok di sekitarnya.
“Rasya!!” berulang kali nama itu diteriakkan, namun tak ada hasil. Tak terlihat sosok Rasya. Aditya terus merangsek maju di antar antrian pembelian tiket, namun tak ada juga. Apakah Rasya telah pergi? Sedikit panik, sekali lagi ia mengarahkan pandangan ke satu persatu wajah di sekitarnya. Dengan nafas berat, ia berjalan menuju deretan bangku di dekatnya. Beberapa penumpang sedang menunggu keberangkatan. Ia terduduk sambil mengatur nafas. Dari kejauhan, jauh di sebelah kirinya, sosok yang tak asing baginya. Ia pun bangkit, dan sekali lagi meneriakkan namanya.
“Rasya!!”
Gadis dengan swater merah muda dan scraft warna senada menoleh ke arahnya, kemudian bangkit dari duduknya, berdiri menghadap Aditya yang berlari ke arahnya. Aditya berhenti tepat di depan Rasya. Ia berdiri sedikit membungkuk. Nafasnya tersengal-sengal. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya.
“Kenapa?!” suara Aditya sedikit tinggi. “Tak pantaskah, sepatah kata perpisahan?” Aditya menatap lurus gadis di depannya.
“Aku… pikir…” Rasya menjawab dengan terbata, “akan lebih baik jika aku pergi tanpa banyak kata.” Suara Rasya bergetar, matanya berkaca-kaca. Sebuah percikan rasa di hatinya.
Suasana hening sesaat.
Aditya menarik tangan Rasya hingga tubuhnya jatuh di peluknya. Perlahan ia berbisik di telingan Rasya. “Aku mencintaimu dan tak akan melepasmu apa pun yang terjadi.”
Rasya terdiam, merasakan gedupan jantung Aditya yang berdetak kencang. Bahkan lebih kencang dari deguban jantungnya sendiri. Desir itu hadir lagi, menelisip di dalam hati. Ia mengangguk perlahan. Bulir bening mulai mengalir dari sudut matanya. Ia tak dapat berkata apa-apa selain merasakan rasa bahagia yang menyelimuti jiwanya.

    Seperti rasa ini
    ku simpan rapi di dasar hati
    meski jarak tak mampu menaungi
    tak akan kubiarkan ia pergi
    : sesali

“Akhirnya, aku bisa mendengar kata-kata itu langsung dari mulutmu,” kata Rasya, lirih.
Aditya melepas pelukannya. Menatap lembut wajah Rasya. Tangannya menggenggam erat tangan Rasya, seakan tak rela jika gadis yang dicintainya pergi jauh darinya. “Maaf, jika aku tak pernah jujur padamu.”
Rasya mengangguk perlahan. Matanya menyambut mata coklat Aditya yang sedari tadi memandangnya. Mereka terdiam sesaat. Rasa grogi dan malu mendadak menyelimuti keduanya. Sedangkan langit menahan gerimis, menyibakkan awan hingga mentari kembali nampak.
“Bukankah seharusnya pesawatmu sudah berangkat?” tanya Aditya, mencoba mencairkan suasana.
“Delay,” Rasya tersenyum tipis.
“Lagi pula,” lanjutnya, “kalau pun aku tertinggal pesawat karena menunggumu datang, tak masalah. Aku bisa pergi dengan penerbangan berikutnya.”
Aditya tersenyum mendengar kata-kata Rasya. Sebuah pengorbanan, pikirnya.
“Tapi hatiku tak bisa menunggu. Bahkan untuk detik berikutnya. Aku tak mampu.” Rasya merasakan kelegaan. Ia telah ungkapkan semua rasanya. Kejujuran yang selama ini terpendam.
“Sepertinya kau tahu aku akan menyusulmu,” ujar Aditya, penuh selidik.
Rasya mengangguk. “Aryo menelfonku. Dia cerita semua padaku.”
Rasya bercerita singkat tentang telpon Aryo. Aditya menunduk, mendengarkan cerita Rasya dengan seksama. Sesaat kemudian ia mengangkat kepala menatap lurus pada Rasya.
“Libur akhir tahun nanti aku akan menyusulmu ke Australia,” kata Aditya. Rasya terdiam. Sungguh sebuah kejutan untuknya.
“Janji?!” Rasya tersenyum sambil mengangkat kelingkingnya. Aditya mengangguk sambil menautkan kelingkingnya pada kelingking Rasya.
“Aku akan bertemu dengan orang tuamu.”
“Memangnya kau berani?” Rasya meledek.
“Hari ini, aku hampir menyesal seumur hidupku. Tapi tak akan kuulangi.” Aditya terdiam sesaat, “Aku tak ingin kehilanganmu.”
“Aku akan selalu menunggumu.” Mata Rasya bertemu dengan mata Aditya. Aditya mengangguk, mantap.
Kini mereka duduk di bangku yang sekarang kosong karena sebagian orang telah masuk ke pesawat. Rasya tak mau cepat-cepat pergi. Ia berharap waktu berhenti. Membiarkannya menikmati saat-saat seperti ini. Ini adalah saat terakhirnya bersama Aditya. paling tidak untuk hari ini.
Rasya mengeluarkan sebatang coklat dari sakunya, menyodorkannya pada Aditya yang kini duduk di sampingnya. Aditya mematahkan ujungnya sedikit lalu memasukkan potongan coklat itu ke mulutnya.
“Kau masih selalu membawanya.” Mulut Aditya mengunyah cokelat yang mulai lumer sambil mengenang waktu istirahat di sekolah dulu. Saat mereka sering berbagi, bukan hanya sekedar cokelat tapi juga kisah hidup mereka.
Rasya menggigit sedikit coklatnya sambil memandang langit biru dari dinding kaca bandara. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Aditya kemudian menyilangkan tangan kirinya pada tangan kanan Aditya.
“Kau lihat pelangi itu?” tanya Rasya. Matanya memberi isyarat ke langit.
“Seperti itulah hidupku sekarang dengan hadirmu. Penuh warna. Dan aku ingin tetap seperti itu,” ujar Rasya, tersenyum manis. Wajahnya yang tirus terbingkai poni rambutnya yang kemerahan.
Aditya tersenyum, tangan kirinya mengacak poni Rasya perlahan, penuh sayang. Tak ada lagi gundah di hatinya. Begitu pula Rasya, kepergiannya akan selalu membawa hati Aditya, bersamanya.


THE END

6 komentar:

  1. Udah kaya ftv ya.. Sedih haru bahagia.. Rasya :') :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kah? Wah, berarti ada peluang dong diajukan ke PH :D :D

      Hapus
  2. saya suka sama ceritanya Mbak, bagus..!! *jempol*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih, Mak Irawati. Semoga makin semangat menulis lagi ^^

      Hapus
  3. gak tau kenapa, aku paling seneng sama adegan ngacak poni. berasa ronantisnya :)

    BalasHapus

Terimakasih telah berbagi komentar ^^