Andai dicipta kisah, tak pernah usai
tiada derita kan ku hindari
masih di sini, menunggu
bersama waktu
dan hangat rindu, terbakar
menjalar pada sela pijar
: bidadariku
Sore yang
mendung di Solo. Aditya menatap lurus langit yang tertutup gumpalan awan
kelabu, seperti gulali. Angin berhembus agak kencang dari lantai dua puluh satu
dimana ia berdiri sekarang. Ia keluarkan sehelai kertas dari sakunya. Sisa
remasan tangan membekas pada tiap lekuknya. Dengan sedikit ragu dibukanya
kertas berwarna merah muda itu. Matanya memindai setiap huruf yang tertulis di
atasnya. Perlahan, dengan cermat ia berusaha memahami setiap kata.
Di
belakangnya, Aryo duduk menyandarkan punggungnya pada kursi kayu. Tangannya
mempermainkan mug biru gelap bergambar bunga matahari. Diputar ke kanan, lalu
ke kiri.
“Jadi,
sebenarnya, yang terjadi adalah..?!” pertanyaan Aryo menggantung. Aditya hanya
terdiam. Hatinya antara iya dan tidak. Ia berbalik, berjalan mendekat pada
Aryo, menarik salah satu kursi.
“Rasya tak
bicara sepatah kata pun padaku. Bahkan ia tak menemuiku. Surat ini diselipkan
di antara laporan, dan dititipkan pada Ria, sekretarisku,” ujar Aditya,
tertunduk lesu. Wajahnya murung.
Selama ini
dia hanya mampu memendam rasa pada Rasya. Gadis pujaannya sejak SMU. Mereka
satu sekolah, satu kelas. Bahkan ketika kuliah pun satu universitas. Tapi siapa
sangka cintanya hanya akan terpendam di hati saja. Tak bisa ia ungkapkan. Karna
ia tak kuasa. Ia merasa beda kasta. Rasya adalah anak orang kaya. Sedang dia
adalah orang biasa. Namun ada sesuatu yang berbeda dari Rasya. Ia tak pernah
membanggakan kekayaan orang tuanya. Ia tipe perempuan mandiri, low profile dan cerdas. Itu yang memikat
Aditya.
Aryo
merelakan untuk menemani Aditya meski sebentar lagi ia harus memimpin rapat
bagian pemasaran. Dicecapnya sedikit kopi panas yang masih mengeluarkan asap
putih. “Sepertinya, kamu sungguh menyukainya.”
“Suatu
malam aku bermimpi tentangnya. Dia mengenakan gaun pengantin warna putih
tulang, menungguku di taman bunga dengan sebuah kolam di tengahnya. Kolam yang
dipenuhi oleh teratai. Bunga kesukaannya,” Aditya terdiam, mengenang. Tangannya
memutar gelas yang isinya tinggal setengah. “Sejak saat itu aku percaya dia
memang ditakdirkan untukku.”
“Lalu,
kenapa kau tak pernah mengungkapkannya?” Aryo menatap lurus Aditya yang masih
tertunduk lesu. Aditya tak menjawab.
“Kalau
begitu,” Aryo bangkit dari duduknya, sudah saatnya ia masuk ruangan rapat, “jangan
terlalu yakin dengan mimpi itu,” ia mengambil nafas, “lagi pula kau selalu
pesimis dengan cintamu. Siapa tahu dengan berjalannya waktu akan ada cinta yang
lain,” Aryo berbalik, hendak berjalan menuju ruangan.
“Sepertinya
tidak,” suara Aditya menghentikan langkah Aryo. Aditya mengambil nafas panjang,
“dia cinta matiku.”
Aryo
berbalik, memandang ke Aditya. Ada rasa bimbang di hatinya. Tak tega melihat
sahabatnya terus berduka.
“Pergilah
ke bandara!” suara Aryo berpacu dengan hembusan angin yang mulai menderu
kencang. Langit semakin menghitam. “Dia akan berangkat ke Jakarta pagi ini
untuk menemui saudaranya, lalu pulang ke Australia.”
Aryo
mendekat ke Aditya, “kalau kau benar-benar mencintainya, perjuangkan cintamu.”
Aditya mendongakkan
kepala, memandang Aryo yang berdiri di depannya, penuh tanya.
“Sebenarnya
Rasya mengundurkan diri dari perusahaan bukan untuk pindah tempat kerja. Tapi karena
dia harus kembali ke Australia. Entah untuk sementara atau selamanya. Ayahnya
sakit keras, dia diminta untuk pulang,” ujar Aryo.
Aditya
berdiri, mendekat ke Aryo. Kini mereka saling berhadapan. Aditya
mengerutkan dahinya, “dari mana kamu
tahu?”
“Rasya
sendiri yang cerita padaku. Dia memintaku merahasiakannya darimu.”
“Tapi
kenapa?” tanya Aditya, tak percaya. Kedua tangan Aryo memegang pundak Aditya,
semacam isyarat untuk memintanya tegar.
“Kau
sedang mengerjakan proyek besar. Dia tak ingin mengganggumu. Asal kau tahu.
Rasya sangat bangga padamu. Apalagi saat kau bisa meraih mimpimu. Dia
berbahagia untukmu,” ujar Aryo, mencoba meyakinkan Aditya.
Aditya
mundur beberapa langkah. Seketika ia berbalik lalu berlari menuju ke lift. Di
tekannya tombol turun. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, dengan cepat
menekan nomor Rasya. Tapi tak bisa tersambung. Dikepalkan tangannya lalu
mengayunkan tinju ke dinding lift. Ia geram, kesal.
Aditya
segera berlari menuju mobilnya begitu pintu lift terbuka pada lantai basemant.
Ia tak ingin membuang waktu sedetik pun. Mendung telah menganakkan gerimis saat
Aditya melaju bersama mobilnya masuk ke jalan raya utama menuju ke bandara Adi
Sumarmo. Hujan semakin deras. Jalanan macet. Beberapa kali Aditya melihat ke
jam tangannya. Ia berpacu dengan waktu.
“Arghh…”
Aditya bertambah geram. Beberapa kali ia memencet klakson mobilnya, memberi
isyarat pada pengendara yang lain agar memberi jalan.
Mobil
Aditya terus merangsek maju hingga berhasil menerobos kemacetan. Pada pertigaan
terakhir, Aditya membelokkan mobilnya ke kanan. Meski jalanan licin tapi Aditya
tetap menggeber mesin mobilnya, tak memperdulikan angka di speedometer. Aditya tak tahu kapan lagi akan bertemu dengan Rasya.
Aditya ingin Rasya tahu betapa ia sangat menyayanginya, dan akan selalu ada
untuknya.
***
Rasya
menutup ponselnya lalu memasukkannya ke dalam tas ransel abu-abu di
pangkuannya. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya yang terduduk di kursi
tunggu lalu menyilangkan kaki. Di luar sana hujan semakin deras. Penerbangannya
delay. Rencananya ia akan transit ke
Jakarta sebelum lanjut ke Australia.
Di saat
penumpang lain kesal dengan penerbangan yang delay, namun tidak dengan Rasya. Ia seakan diberi waktu untuk
berpikir, menunggu. Ada yang membuat hatinya harap-harap cemas. Sejak kemarin
dia belum bicara dengan Aditya, bahkan belum berpamitan. Aditya terlalu sibuk
dengan proyek yang sedang ditanganinya. Padahal ada sesuatu yang ingin
disampaikannya, tak terwakili oleh siapapun. Ada penyesalan di hatinya. Mungkin
ini adalah hari terakhir. Kalau surat yang kemarin dititipkannya pada Ria,
sekretaris Aditya, sampai pada Aditya dan dibacanya, akankah Aditya menemuinya?
Menghalaunya pergi? Atau akan biasa saja? Bagi Aditya dirinya ini siapa?
Berbagai
macam pertanyaan terus menghantui pikirannya. Rasya semakin resah. Diremasnya
ponsel yang ada di tangannya. Ia mengigit bibir bawahnya untuk membantu menekan
perasannya. Ditariknya nafas panjang, matanya terpejam, lalu dihembuskan
perlahan.
Sebenarnya
ia masih ingin berada di kota Solo. Kota yang mempertemukannya dengan Aditya
beberapa tahun yang lalu. Kota dimana kenangan-kenangan indah mereka terangkai
semenjak SMU, kuliah hingga sekarang mereka menjadi rekan kerja. Ia berharap
dapat terus berada di dekat Aditya, memberikan support untuknya serta
melihatnya meraih satu per satu mimpinya.
Aditya
berbeda dengan kebanyakan laki-laki yang ia kenal. Ia dari keluarga sederhana.
Namun ia punya banyak mimpi dan cita-cita. Dan untuk mewujudkannya, ia bekerja
keras dan pantang menyerah. Luar biasa. Dengan kata lain, Adityalah yang ia
inginkan. Meski Rasya sendiri bergelimang harta namun ia tak ingin pasangan
hidupnya kelak hanya berpangku tangan. Apalagi sampai mengandalkan warisan
orang tuanya. Tak ada salahnya jika Rasya begitu hati-hati dengan perasaannya. Ia
tak ingin jatuh hati pada orang yang salah, yang hanya memanfaatkannya, bukan
mencintainya dengan tulus.
Untuk
kesekian kalinya Rasya menghitung waktu. Antara iya dan tidak, antara tetap
tinggal atau beranjak. Rasya menebak-nebak kedatangan Aditya. Tak ada
tanda-tanda apa pun. Hingga ia putuskan mengemasi semua barangnya. Sementara ia
menunggu penerbangannya yang delay,
ia akan membeli secangkir kopi penghangat tubuhnya yang mulai terasa kaku
karena dingin. Namun, belum sempat ia bangkit dari duduknya seseorang memanggil
namanya. Dari arah samping kanannya, seseorang berlari sambil sesekali melihat
sekeliling. Dialah sosok yang sedari tadi ditunggunya.
***
Tunggu!
jangan biarkan rasaku melarut
bersama hujan, di sudut mata
merintih duka
aku terlena
atas bisu, membungkam
cinta yang terpendam
Aditya
berlari menuju terminal keberangkatan. Dia menyapukan pandangan perlahan,
menyibak satu persatu sosok di sekitarnya.
“Rasya!!” berulang
kali nama itu diteriakkan, namun tak ada hasil. Tak terlihat sosok Rasya.
Aditya terus merangsek maju di antar antrian pembelian tiket, namun tak ada
juga. Apakah Rasya telah pergi? Sedikit panik, sekali lagi ia mengarahkan
pandangan ke satu persatu wajah di sekitarnya. Dengan nafas berat, ia berjalan
menuju deretan bangku di dekatnya. Beberapa penumpang sedang menunggu
keberangkatan. Ia terduduk sambil mengatur nafas. Dari kejauhan, jauh di
sebelah kirinya, sosok yang tak asing baginya. Ia pun bangkit, dan sekali lagi
meneriakkan namanya.
“Rasya!!”
Gadis
dengan swater merah muda dan scraft warna senada menoleh ke arahnya, kemudian bangkit
dari duduknya, berdiri menghadap Aditya yang berlari ke arahnya. Aditya
berhenti tepat di depan Rasya. Ia berdiri sedikit membungkuk. Nafasnya
tersengal-sengal. Sesaat kemudian ia menegakkan tubuhnya.
“Kenapa?!”
suara Aditya sedikit tinggi. “Tak pantaskah, sepatah kata perpisahan?” Aditya
menatap lurus gadis di depannya.
“Aku… pikir…”
Rasya menjawab dengan terbata, “akan lebih baik jika aku pergi tanpa banyak
kata.” Suara Rasya bergetar, matanya berkaca-kaca. Sebuah percikan rasa di
hatinya.
Suasana
hening sesaat.
Aditya
menarik tangan Rasya hingga tubuhnya jatuh di peluknya. Perlahan ia berbisik di
telingan Rasya. “Aku mencintaimu dan tak akan melepasmu apa pun yang terjadi.”
Rasya
terdiam, merasakan gedupan jantung Aditya yang berdetak kencang. Bahkan lebih
kencang dari deguban jantungnya sendiri. Desir itu hadir lagi, menelisip di
dalam hati. Ia mengangguk perlahan. Bulir bening mulai mengalir dari sudut
matanya. Ia tak dapat berkata apa-apa selain merasakan rasa bahagia yang
menyelimuti jiwanya.
Seperti
rasa ini
ku simpan rapi di
dasar hati
meski jarak tak mampu
menaungi
tak akan kubiarkan ia
pergi
: sesali
“Akhirnya,
aku bisa mendengar kata-kata itu langsung dari mulutmu,” kata Rasya, lirih.
Aditya
melepas pelukannya. Menatap lembut wajah Rasya. Tangannya menggenggam erat tangan
Rasya, seakan tak rela jika gadis yang dicintainya pergi jauh darinya. “Maaf,
jika aku tak pernah jujur padamu.”
Rasya
mengangguk perlahan. Matanya menyambut mata coklat Aditya yang sedari tadi
memandangnya. Mereka terdiam sesaat. Rasa grogi dan malu mendadak menyelimuti
keduanya. Sedangkan langit menahan gerimis, menyibakkan awan hingga mentari
kembali nampak.
“Bukankah
seharusnya pesawatmu sudah berangkat?” tanya Aditya, mencoba mencairkan
suasana.
“Delay,”
Rasya tersenyum tipis.
“Lagi
pula,” lanjutnya, “kalau pun aku tertinggal pesawat karena menunggumu datang,
tak masalah. Aku bisa pergi dengan penerbangan berikutnya.”
Aditya
tersenyum mendengar kata-kata Rasya. Sebuah pengorbanan, pikirnya.
“Tapi
hatiku tak bisa menunggu. Bahkan untuk detik berikutnya. Aku tak mampu.” Rasya merasakan
kelegaan. Ia telah ungkapkan semua rasanya. Kejujuran yang selama ini
terpendam.
“Sepertinya
kau tahu aku akan menyusulmu,” ujar Aditya, penuh selidik.
Rasya
mengangguk. “Aryo menelfonku. Dia cerita semua padaku.”
Rasya
bercerita singkat tentang telpon Aryo. Aditya menunduk, mendengarkan cerita
Rasya dengan seksama. Sesaat kemudian ia mengangkat kepala menatap lurus pada
Rasya.
“Libur akhir
tahun nanti aku akan menyusulmu ke Australia,” kata Aditya. Rasya terdiam.
Sungguh sebuah kejutan untuknya.
“Janji?!”
Rasya tersenyum sambil mengangkat kelingkingnya. Aditya mengangguk sambil
menautkan kelingkingnya pada kelingking Rasya.
“Aku akan
bertemu dengan orang tuamu.”
“Memangnya
kau berani?” Rasya meledek.
“Hari ini,
aku hampir menyesal seumur hidupku. Tapi tak akan kuulangi.” Aditya terdiam
sesaat, “Aku tak ingin kehilanganmu.”
“Aku akan
selalu menunggumu.” Mata Rasya bertemu dengan mata Aditya. Aditya mengangguk,
mantap.
Kini mereka
duduk di bangku yang sekarang kosong karena sebagian orang telah masuk ke pesawat.
Rasya tak mau cepat-cepat pergi. Ia berharap waktu berhenti. Membiarkannya
menikmati saat-saat seperti ini. Ini adalah saat terakhirnya bersama Aditya.
paling tidak untuk hari ini.
Rasya
mengeluarkan sebatang coklat dari sakunya, menyodorkannya pada Aditya yang kini
duduk di sampingnya. Aditya mematahkan ujungnya sedikit lalu memasukkan
potongan coklat itu ke mulutnya.
“Kau masih
selalu membawanya.” Mulut Aditya mengunyah cokelat yang mulai lumer sambil mengenang
waktu istirahat di sekolah dulu. Saat mereka sering berbagi, bukan hanya sekedar
cokelat tapi juga kisah hidup mereka.
Rasya menggigit
sedikit coklatnya sambil memandang langit biru dari dinding kaca bandara. Ia
menyandarkan kepalanya pada bahu Aditya kemudian menyilangkan tangan kirinya
pada tangan kanan Aditya.
“Kau lihat
pelangi itu?” tanya Rasya. Matanya memberi isyarat ke langit.
“Seperti
itulah hidupku sekarang dengan hadirmu. Penuh warna. Dan aku ingin tetap
seperti itu,” ujar Rasya, tersenyum manis. Wajahnya yang tirus terbingkai poni rambutnya
yang kemerahan.
Aditya
tersenyum, tangan kirinya mengacak poni Rasya perlahan, penuh sayang. Tak ada
lagi gundah di hatinya. Begitu pula Rasya, kepergiannya akan selalu membawa
hati Aditya, bersamanya.
THE END
Udah kaya ftv ya.. Sedih haru bahagia.. Rasya :') :)
BalasHapusIya, kah? Wah, berarti ada peluang dong diajukan ke PH :D :D
Hapussaya suka sama ceritanya Mbak, bagus..!! *jempol*
BalasHapusTerimakasih, Mak Irawati. Semoga makin semangat menulis lagi ^^
Hapusgak tau kenapa, aku paling seneng sama adegan ngacak poni. berasa ronantisnya :)
BalasHapusCie cie ... Manja manja gimana gitu ^^
Hapus