Setiap
pagi, aku membawakanmu kopi. Kopi yang sama sejak seribu hari keberadaanku di
sini. Kau suka kopi pahit, dan pekat. Sesuai dengan kepribadianmu yang dingin,
misterius, namun memikat. Orang menganggapmu manusia angkuh. Tapi bagiku,
keangkuhanmu adalah bukti kekuasaanmu. Kekuasaan atas orang-orang di sekitarmu.
Kekuasaanmu atas diriku dan hatiku.
“Jangan
pernah mengedepankan perasaan. Itu hanya akan melemahkanmu,” katamu lirih, saat
jarak wajah kita hanya sejengkal. Kupandang lurus matamu yang hitam, berharap
ada lorong disana untukku masuk menuju hatimu. Hati yang selama ini kau
sembunyikan dari dunia.
Yeah,
mungkin kau benar. Aku hanya perempuan yang mengedepankan perasaan, yang
terjerat jaring pesona yang ... entah sengaja atau tidak telah kau tebarkan.
Itu mengikatku begitu erat. Hingga mematahkan logikaku akan kenyataan siapa
kau, siapa aku.
Dan
pagi ini tak kutemukan kau. Ah, bodohnya aku. tentu saja. Ini hari
pernikahanmu. Dan kau tak mengundangku. Semudah itu kau lupa, aku selalu
menemanimu dalam semua keputusasaan, membangkitkanmu dari setiap keterpurukan.
Aku
berdiri di depan bangunan yang menjulang, lalu menengadah. Lantai 13 Hotel
Paramitha. Disanalah kau akan melangsungkan pernikahan.
“Maaf,
Mbak. Ada yang
bisa saya bantu?” tanya seorang lelaki berpakaian jas lengkap. Dari alat
komunikasi yang dibawanya, mungkin dia salah satu pegawai keamananmu.
“Saya
Apsari, asisten pribadi Pak Indra. Saya membawakan beberapa barang yang
tertinggal,” jawabku setenang mungkin.
Lelaki
itu memintaku menunggu. Dia berbicara dengan seseorang lewat alat komunikasi
yang digenggamnya. Ah, sial! Aku tak punya banyak waktu!
“Mari,
Mbak. Saya antara ke kamar Pak Indra,” katanya sambil berjalan mendahuluiku
melalui lorong dengan hiasan buket bunga di kanan dan kirinya. Dia berhenti di
sebuah kamar, mengetuk pintu, lalu membukanya.
Aku
bergeming. Saat melihatmu, mendadak aku seperti lumpuh. Lelaki itu
mempersilahkanku masuk. Aku melangkah seperti zombi.
“Apa
yang tertinggal?” tanyamu tanpa basa basi.
“Aku,
perasaanku, hidupku.” Aku menutup pintu dan berharap tak seorangpun selain
kita. “Semua tentangku kau tinggalkan!”
Kau
menatapku lurus. “Berulangkali kukatakan, jangan pernah bermain perasaan,”
sahutmu cepat. Tapi aku tak peduli.
“Berulangkali
kucoba, tapi aku tak bisa.” Suaraku bergetar. “Jeratmu terlalu kuat. Kau telah
menguasaiku.” Ada
yang basah di sudut mataku. “Tetaplah bersamaku, Indra.”
“Jangan
bodoh!” Suaramu meninggi. “Kalau pernikahan ini gagal, suntikan dana ke
perusahaan juga akan gagal!” Kau menghela nafas panjang, mengalihkan
pandanganmu dariku, lalu kembali menatapku. “Maaf, aku tak punya jalan lain.”
Aku
berlari ke arahmu. “ Biarkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya.” Kau
berusaha menepis, namun kemudian mengiyakan. Sesaat kemudian hening, seolah
waktu mengamini kebersamaan kita.
“Maafkan
aku juga, Indra,” kataku lirih dalam tangis.
Tubuhmu
berguncang sekali. Lanjutku, “Aku pun tak ada jalan lain.” Tubuhmu berguncang
untuk kedua kali. “Kalau pun kehidupan tak mengizinkan kita bersama ...”
Kurasakan cairan hangat ditanganku seiring semakin dalam aku menancapkan belati
ke tubuhmu. “ ... biarlah kematian yang menyatukan kita.”
Kutatap
nanar tubuhmu tergeletak di lantai.
Angin
menerpa kulitku dari satu-satunya jendela di kamarmu. Kini aku telah berdiri di
tepiannya. Menatap tanpa daya semua kenangan kita yang perlahan mulai sirna.
Aku mulai gontai dan tak mampu bertahan. Kubiarkan tubuhku melayang. Tapi aku
lupa, sayang. Aku hanya kupu-kupu yang patah sayapnya, yang tak mampu lagi
terbang.
The End
Related Post :
Waduw...keinget drama mandarin Love At The Aegean Sea, sad ending juga seperti ini. Tapi bedanya yang cewek masuk RSJ, duh perasaan itu emang mematikan ya kalo kita nggak bisa mengontrolnya.
BalasHapusAih, belum pernah nonton film nya.
HapusBenar, perasaan itu mematikan ^^