Antara Kau, Aku, dan Embun
Kita terdiam
Kopimu utuh, panasnya tak kau sentuh
Hingga baranya mendentum runtuh
Lalu kususun lagi, kebisuan menjadi elegi
Namun hening tetaplah
Menghitung wujud bayangmu yang kian rebah
Di luar,
langit masih basah
Mengembunkan
kaca dengan bulir kata
Di sana , kita mengeja resah
Seolah tak
ada esok, lalu kita pisah
Solo, 121215
Suatu Pagi yang Basah
Suatu pagi
Saat mentari
meninggi
Kau menangis,
mengadu pada bumi
Semalam telah
kau puaskan dahaga
Pada kisah
yang tak lagi sempurna
Waktu
membuatmu terjaga
Menamatkan aksara
tanpa kata
“Ini bukan
tangis. Ini hanya gerimis.”
Katamu,
seolah tak ada lagi rindu
Kau sematkan
pada ragu
Solo, 121215
Masih Tentang Gerimis
Gerimis turun
sepanjang waktu
Dan kau
hitung tajam rintiknya
: satu satu
Tak ada suara
Hanya katak
kegirangan karena hujan tiba
Aku suka
gerimis, katamu
Di sanalah
aku mampu menyembunyikan tangis
Lalu
perkabungan yang sempurna
Bahkan
kehilangan di antara rintiknya tanpa jeda
Gerimis pun
makin menderu
Meluruh
rasamu dalam gigil tanpa seru
Lalu kau
menjelma basah
Seolah mampu memendam
harumu rendah
Solo, 121215
Duh jd inget FFku tentang hujan...
BalasHapusAyo, Mbak! Di-sharing di facebook. Ntar aku baca :D :D
HapusBacanya bikin hati ikutan gerimis :'
BalasHapusButuh payung, Mbak? Hehehe ^^
HapusHadeeeh, menyentuh perih hingga ke dasar hati.
BalasHapusHaha ... Mbak Ety, lebay, ah (^^,,)
HapusDalem... tp memang nyata byk terjadi..
BalasHapusIya, kah? Berarti pas, dong, ya :D :D
HapusUhuk...dibuat dari lubuk hati terdalam kayaknya nih. :D
BalasHapusTsaahhh ... E tapi, hatiku kan lagi nggak germis :P :P
Hapuspuisinya bagus mbak
BalasHapusTerimakasih :))
Hapus