Cika
merebahkan tubuhnya di atas sofa merah di ruang tengah. Ditariknya nafas
panjang, sesaat kemudian dihembuskannya perlahan. Seragam sekolah merah putih
masih melekat di tubuhnya. Mama Cika dengan berpakaian rapi muncul dari ruang
makan.
“Cika,
sudah pulang sayang. Makan dulu ya. Mama sudah siapkan di meja makan.” Kata
Mama pada Cika sambil menenteng tas tangannya. Mama berjalan ke arah Cika lalu
duduk di sampingnya.
“Sebentar
Ma. Cika sedang ngadem ni.” Sahut Cika, malas. “Mama mau ke mana?”
“Mau
belanja sebentar buat kebutuhan akhir bulan.” Mama membelai rambut Cika, anak
si mata wayangnya.
“Ikut
dong Ma.” Cika merayu Mama dengan manja. Ditarik-tariknya lengan baju Mama.
“Memangnya
kamu nggak ada PR atau ulangan?” Mama menatap wajah Cika dengan lembut. Cika
terdiam. Dia teringat PR matematika yang diberika bu Dewi seminggu yang lalu
dan sampai saat ini belum ia kerjakan. Belum lagi ulangan bahasa Indonesia
untuk besok. Tapi Cika sangat ingin ikut dengan Mama jalan-jalan.
Hmmm…
Kan masih siang. Belajarnya kan bisa nanti sore. Kata Cika dalam hati.
“Hmm…
Nggak kok Ma… Nggak ada” Suara Cika terbata.
“Tapi
tadi katanya capek.” Mama coba mengingatkan Cika. Diusapnya rambut Cika dengan
lembut.
“Itu
kan tadi, sekarang sudah hilang kok.” Cika mencoba berkilah.
“Ya
sudah cepetan ganti baju. Mama tunggu di luar ya.” Ucapan Mama membuat Cika
bangkit dari kemalasannya. Ia sangat bersemangat sekarang.
Cika
sangat senang hari itu. Jalan-jalan ke mall, belanja ini itu. Ia benar-benar
telah melupakan tugas-tugasnya. Sepulang di rumah, Dini, teman bermain Cika,
sudah menunggu di depan rumah.
“Cika,
main yuk!” Ajak Dini pada Cika dari atas sepeda mini biru mudanya.
“Main?!”
Cika merasa ragu sesaat. Ia teringat PR dan ulangan besok pagi. Hmmm…
Tapi sekarang kan masih sore. Aku bisa belajar nanti malam.
“Ayo!”
Cika mengingkari janjinya tadi siang, bahwa sepulang jalan-jalan ia akan
selesaikan PR dan belajar untuk ulangan.
Sore
itu Cika habiskan bermain bersama Dini hingga malam menjelang. Lampu meja
belajar mulai dinyalakan. Buku pelajaran telah disiapkan. Cika menarik kursi
lalu duduk manis di belakang meja. Tapi tiba-tiba Cika ingat sesuatu. Malam ini
film kesukaannya akan diputar di televisi. Tidak akan aku lewatkan. Nonton
film dulu, baru belajar. Lagi-lagi Cika mengingkari janjinya.
Cika
menyalakan televisi yang ada di kamarnya. Ditinggalnya buku pelajaran, dan
digantinya dengan bantal-bantal yang ia susun nyaman di atas karpet yang
terhampar di depan televisi.
Cika
menikmati film kegemarannya dengan senang, ditemani es krim yang dibelinya
tadi siang dan beberapa snack kesukaannya.
Film
berakhir hampir tengah malam, sedangkan mata Cika sudah tak tahan lagi.
Berlahan lahan di sekitarnya seakan meredup. Perlahan tapi pasti Cika mulai
tumbang di depan televisi, diantara tumpukan bantal yang menyangga kepalanya.
Lelap pun mulai menyelimuti. Cika tenggelam dalam mimpi.
Kriiiinnngggg…
Weker
di meja belajar Cika memecah keheningan kamar. Cika tersetak kaget. Sesekali
dia menguap sambil tangannya mengucek-ucek mata. Dicarinya jam dinding.
“Ha?!
Jam enam?!” Cika bangkit dari posisi duduknya. Langkahnya bergegas ke kamar
mandi.
“Tak
ada waktu lagi.” Suaranya panik. Hanya dalam setengah jam dia harus siap dengan
baju seragamnya. Dilangkahkannya kaki dengan sepatu bertali yang belum rapi
benar. Langkahnya terseok karna harus pula berkonsentrasi dengan buku-buku pelajaran
yang ada di dalam tasnya. Rupanya Cika lupa belum menjadwal pelajaran hari ini.
Setibanya
di meja makan, Papa sedang asyik membaca koran, sedangkan Mama menikmati
sarapannya.
“Ayo
Pa, kita berangkat!” Cika meminum susunya dengan terburu-buru.
“Ayo
Pa...!” Cika merengek sambil menarik-narik kemeja Papanya.
Di
dalam mobil pun Cika tidak mau diam. “Pa, cepet sedikit dong mobilnya.”
“Kenapa
terburu-buru. Bukankah biasanya juga berangkat jam segini?” Tanya Papa yang
merasa aneh dengan tingkah Cika. Cika hanya terdiam. Dia teringat akan PR yang
belum diselesaikannya. Cika berharap masih ada waktu, jadi ia bisa
menyelesaikannya di sekolah. Beberapa kali Cika melihat ke jam tangannya. Sudah
hampir jam tujuh. Aduh, nggak keburu ni. Kata Cika dalam hati.
Sesampainya
di sekolah Cika bergegas ke kelas. Dan benar Ibu Dewi, walikelas sekaligus guru
matematika Cika sudah di depan pintu. Aduh, PRku…?! Jantung
Cika berdegub kencang. Dia memasuki kelas dengan rasa takut di dada.
“Sekarang
keluarkan PR kalian.” Cika kebingungan. Ia belum mengerjakan satu pun PR yang
diberikan, hingga akhirnya bu Dewi memberinya hukuman. Cika harus menyelesaikan
PRnya di ruang guru, dan mengulangnya hingga sepuluh kali.
Lelah
sudah tangan Cika. Dia kembali ke kelas ketika jam pelajaran berikutnya.
Barulah ia ingat kalau ada ulangan bahasa Indonesia. Tapi tak ada waktu lagi.
Bu Ratna, guru bahasa Indonesia, sudah masuk kelas. Beliau memerintahkan semua
murid untuk menutup buku dan menyiapkan selembar kertas karena ulangan akan
segera dimulai. Cika mengeluarkan kertas kosong perlahan. Ada takut dalam
hatinya. Tentu saja, dia kan belum belajar. Semenjak soal di bacakan hingga jam
ulangan hampir usai, tak satu pun jawaban tertulis di kertas Cika.
Cika
menyesal, sangat menyesal. Andai saja kemarin Cika tidak berbohong pada Mama
kalau ada PR dan ulangan hari ini, pastilah Mama akan menyuruh Cika belajar.
Andai Cika tidak menunda mengerjakan PR dan belajar untuk ulangan, pastinya
Cika tidak dihukum dan bisa mengerjakan ulangan dengan baik, tidak seperti
sekarang ini.
Mama,
maafkan Cika. Suara Cika dalam
hati, penuh penyesalan. Matanya memerah, air mata tak mampu di bendungnya. Cika
menyesali perbuatannya dan berjanji tak akan mengulangi.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^