Sore tadi Ariel membawakan sesuatu untukku. Sekotak
mungil yang dia genggam di tangan kirinya dan dia angsurkan ke telapak
tanganku.
"Bukalah saat menjelang tidur nanti," katanya. Aku
tak sabar menanti malam. Aku ingin segera membuka kotak mungil berbungkus pink
itu.
Kini malam telah menjelang. Kantukku mulai menyerang. Aku
bersiap membuka kotak itu, ketika tiba-tiba ringtone yang aku setel khusus
untuk Ariel berbunyi.
"Ya?” Sapaku dengan heran.
"Beib, maaf... salah ngasih kotak. Jangan dibuka ya.
Pliss." Omaygot… Jadi apa isi kotak ini dan untuk siapa? Tanyaku
menyeruak.
“Tapi....” Telfon terputus sebelum tanyaku terlontar. Aku
bingung, bimbang, bercampur penasaran. Harus aku buka. Lagipula kotak itu sudah
terlanjur diberikan untukku. Satu persatu aku lucuti bungkusnya. Ternyata ada
sebuah kotak kecil lagi di dalamnya. Segera saja aku buka. Sebuah cincin. Ya
Tuhan, betapa bahagianya aku, sebuah cincin yang indah. Tapi tunggu dulu. Kotak
ini bukan untukku, lalu untuk siapa?! Ada surat di dalamnya.
Untuk gadisku tersayang,
Terimalah cincin ini sebagai tanda cintaku padamu. Cincin
ini sangat berharga untukku, jadi jaga baik-baik ya. Salam sayang dan cinta
selalu.
Malaikat penjagamu,
Ariel
Berbagai macam praduga berseliweran. Jantungku berdegub
kencang. Aku coba menguhubungi Ariel, tapi handphonenya mati. Bergegas aku
menuju garasi. Malam ini juga aku harus bertemu Ariel. Dia harus menjelaskan
apa yang sebenarnya terjadi.
Mesin mobil aku hidupkan, dengan segera aku tancap gas.
Aku masih berusaha menghubungi Ariel, tapi tetap saja nihil.
Ada sesuatu yang seakan ingin meledak di dadaku. Aku tak
bisa konsentrasi menyetir. Beberapa lampu merah aku lewati. Sekali lagi aku
pencet nomor Ariel, masih tidak aktif. Tanganku semakin menggenggam erat setir
mobil. Aku mulai kalut. Bahkan tak aku hiraukan speedometer yang telah melebihi
batas kecepatan.
Tikungan terakhir menuju rumah Ariel. Thanks God, aku
berhasil melaluinya dengan mulus. Rumah nomor tiga belas, berpagar hitam rendah
dengan taman mungil di depannya. Aku hentikan mobil lalu melihat ke jam tangan.
Sudah jam sebelas malam, tapi lampu masih menyala di ruang depan.
Aku bergegas membuka pintu mobil. Belum sempat aku
melangkahkan kaki, sesuatu membuat tensiku semakin naik. Aku melihat Ariel
keluar rumah bersama seorang gadis. Tangan Ariel merangkul gadis itu. Ekspresi
wajahnya terkejut melihatku.
“Erin, ada apa malam-malam begini?”
“Mengembalikan kotakmu.” Aku berjalan mendekat, lalu
melemparkan kotak itu padanya. “Ini.” Ariel menangkap kotak itu dengan sigap.
Sesaat, diamatinya kotak tersebut dengan bungkus yang sudah acak-acakan.
“Kau…sudah…” Kata-kata Ariel terbata.
“Ya, aku sudah membukanya.” Jawabku lantang. Nafasku
mulai tak teratur. “Siapa gadis itu?” Pandanganku tertuju pada gadis di samping
Ariel. Mendung mulai menggelayut di kedua mataku.
Ariel menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan
panjang. Tapi tetap tak ada satu katapun keluar dari mulutnya.
“Kalau kau memang tak mencintaiku lagi, lebih baik kita
putus.” Suaraku bergetar.
“Erin, sumpah demi Tuhan, aku sangat mencintaimu.
Bagaimana lagi aku harus membuktikannya padamu.”
“Kau mencintaiku?! Lalu dia, kau mencintainya juga?!”
Mataku mulai sembab dan memerah. Sesekali masih sempat kulirik gadis yang
sekarang berdiri di belakang Ariel, seolah ingin bersembunyi dariku. Gadis
dengan poni samping yang membingkai wajah tirusnya, wajah yang mulai ketakutan.
Sedang tangannya menarik-narik kemeja Ariel.
Ariel mencoba menenangkan dan melepas genggaman tangan
gadis itu dari kemejanya. “Sebentar sayang.”
“Sayang?! Kau memanggilnya sayang?!” Mendung di mataku
telah menjelma menjadi awan hitam yang tak mampu lagi membendung titik-titik
air. Hujan deras di mataku. Aku membalikkan badan dan ingin segera berlari.
Namun tangan Ariel menahan tanganku.
“Erin, aku mencintaimu. Sampai kapan pun aku tetap
mencintaimu.” Suara Ariel melembut. Kata-kata Ariel berlanjut. “Dia adalah
adikku Arie.”
Ha?! Adik?! Selama ini Ariel tidak pernah bercerita
padaku kalau dia punya adik.
“Sedang cincin itu adalah peninggalan ibu yang dititipkan
padaku untuk adikku. Karnanya cincin itu sangat berharga untukku.” Penjelasan
Ariel menurunkan tensiku perlahan. Nafasku pun mulai teratur.
“Dan untuk adikku satu-satunya, aku akan selalu menjadi
pelindungnya.” Hatiku berdesir, merasa bersalah dengan segala prasangkaku pada
Ariel.
Ariel menatapku dengan lebut. Aku memberanikan diri
membalas tatapannya. Sesaat kemudian tangan kirinya mengambil sesuatu dari saku
celana. Sebuah kotak mungil lagi?! Oh tidak, apa lagi kali ini?!
Ariel tersenyum manis, lalu merendahkan tubuhnya.
“Duhai gadis yang kupuja di kala siang dan kumimpi di
kala malam. Maukah kau mendampingiku menghabiskan sisa hidupku?!”
Aku merasakan perubahan tekanan darah di sekitar wajahku.
Pipiku merona. Ya Tuhan, ini seperti adegan dalam sinetron. Seorang pangeran
yang melamar tuan putrinya. Hatiku berbunga. So sweet.
Tenang Erin, tenang. Hatiku berbicara, sedangkan bibirku
berkata “Ya aku bersedia."
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berbagi komentar ^^