Data Buku
Judul
: Fenomenologi Wanita Ber-High Heels
Penulis
: Ika Noorharini
Penerbit
:
Artha Kencana Mandiri
Review
Seumur
hidup saya tidak pernah membayangkan mengenakan sepatu bertumit tinggi. Melihat
orang lain mengenakan sepatu dengan bagian belakang tinggi dan runcing saja
sudah membuat saya linu. Pernah beberapa kali, karena iseng dan penasaran, saya
mencoba. Baru berdiri di atasnya saja sudah membuat saya harus menahan
keseimbangan agar tidak jatuh. Maklum, selama ini saya lebih nyaman mengenakan
flat shoes. Bagi saya yang sedari sekolah sudah terkenal tomboy, dengan sebareg
aktivitas dan juga mobilitas tinggi, flat shoes adalah segalanya. Saya bisa
berjalan cepat, berlari, atau bahkan melompat dengan ringan dan nyamannya.
Seiring
dengan berjalannya waktu, saya mulai dikepung oleh orang-orang yang mengenakan
high heels. Ibu dan adik saya, keduanya memiliki koleksi high heels. Demikian
pula teman-teman sekantor. Mungkin hanya saya yang mengenakan flat shoes di
antara perempuan di departemen saya. Hingga suatu hari saya mendapatkan promosi
di tempat kerja. Pada hari yang sama pula, ibu saya mengajak bicara empat mata.
Wadew ... Ada apa, ini? (^_^!)
Ternyata,
ini lebih dari sekedar pembicaraan ibu dan anak. Ini lebih pada pembicaraan
sesama perempuan, terutama mengenai penampilan. Jadi intinya adalah, ibu
meminta saya –yang terkenal cuek- untuk lebih memperhatikan penampilan,
salah satunya adalah tentang sepatu. Saya harus mengenakan high heels,
karena menurut ibu dengan memakai sepatu model seperti itu, penampilan
seseorang akan terlihat lebih profesional dan meyakinkan. Aihh ... ^^
Yeah,
itulah cerita awal mula saya mengenal dan mengenakan high heels. Butuh
perjuangan, memang. Nguplek seharian di toko sepatu, mencoba satu persatu dari
sekian banyak model heels, akhirnya saya memilih Wedges. Itupun saya tidak akan
mengenakannya seharian di tempat kerja. Saya hanya mengenakannya saat berangkat
dan pulang kerja, atau saat saya harus pergi ke suatu tempat atau juga saat
bertemu klien. Saat aktivitas normal, duduk di belakang meja kerja, langsung
saja high heels berganti dengan sesuatu yang flat, haha ... Da da bye bye high
heels :P :P Apakah Anda tahu bagamana rasanya? Ini seperti merelakan mantan
yang pernah menyakiti hati Anda untuk pergi, ikhlaaaassss ... ^^
Cerita
itu pula yang saya ingat saat pertama kali membaca buku Fenomenologi Wanita Ber-high
heels. Buku karya Ika Noorharini
ini seakan membawa saya pada kenangan pertama kali mengenal dan mengenakan high
heels. Buku setebal 101 halaman ini banyak membahas seluk beluk high heels.
Mulai dari sejarah, perkembangan model dan berbagai macam alasan perempuan
mengenakannya.
Menurut
buku bersampul gelap ini, sepatu yang kini digandrungi oleh sebagian perempuan
di seluruh dunia ini sudah ada sejak zaman dahulu. Ini dibuktikan dengan adanya
peninggalan benda-benda bersejarah yang memiliki kemiripan dengan sepatu high
heels sekarang ini. Namun anehnya, bukan perempuan yang pertama kali
mengenakannya. Justru para lelaki. OMG ... Serius?!
Yup!
Lelaki dari Persia-lah yang pertama kali memperkenakan high heels. Hanya saja,
pada zaman dahulu, high heels digunakan pada saat menaiki kuda agar posisi
tubuh tetap tegap saat menungganginya. Sehingga mereka tetap nampak gagah dan maskulin. Kemudian high heels diadaptasi lelaki eropa untuk menunjukkan superioritas dan juga tingkat sosialnya dalam masyarakat.
Seiring
perkembangan zaman dimana high heels telah menjadi identitas sebagian
perempuan, maka fungsi high heels pun bergeser dari yang hanya
sekedar sepatu dan fashion menjadi sebuah identitas. Dalam buku ini disebutkan
bahwa ada banyak alasan bagi perempuan untuk memakai high heels. Mulai
dari tuntutan pekerjaan hingga pembentukan identitas diri.
Sebagaimana
opini yang telah terbentuk di dalam masyarakat dimana perempuan yang memakai high
heels identik dengan perempuan yang bekerja. Dengan memakai high
heels, perempuan membentuk citra diri sebagai seorang pekerja yang sukses. Ini
berarti ada peningkatan perasaan positif, kepercayaan diri, penambahan
kecantikan secara fisik, dan empowered.
Manusia yang hidup
dalam kelompok masyarakat akan mengkonstruksi idendtitas sesuai dengan kondisi
sosialnya, baik dari internal ke eksternal maupun sebaliknya secara sirkulatif.
~ Fenomenologi
Perempuan Ber-high heels : 11 ~
Namun,
dibalik keanggunan high heels terselip kisah miris dimana
keanggunan tersebut harus dibayar mahal dengan rasa sakit saat menggenakannya.
Penggunaan high heels dalam kurun waktu lama akan melemahkan otot
kaki. Dalam buku ini dikatakan, seorang perempuan akan bertahan selama 1 jam 6
menit, selebihnya dia akan merasakan sakit, paling tidak kesemutan.
Karenanya
1 dari 3 perempuan yang mengenakan high heels mempunyai kebiasaan
melepasnya saat memiliki kesempatan, seperti saat mereka sudah tidak harus
menemui klien penting atau tidak berada di tempat umum. Namun semua
kesengsaraan ini akan terbayar dengan munculnya perasaan anggun, seksi, dan
percaya diri. Menahan sakit untuk sebuah kecantikan, ini sering dilakukan
perempuan. Kontradiksi yang menarik, bukan ^^
Buku Fenomenologi
Perempuan Ber-high heels ini menarik untuk dibaca siapa saja, baik
perempuan penggila high heels, yang kontra terhadap high heels, atau
juga yang netral. Di dalam buku mengetengahkan cerita para perempuan pengguna
high heels termasuk suka duka mereka. Ini dapat menjadi tambahan pengetahuan
yang menarik bagi pembacanya.
Buku
ini ditulis menggunakan bahasa yang sedikit formal dan ada kesan sedikit kaku.
Yeah, karena ternyata, pada awalnya tulisan ini merupakan naskah tesis dari penulis sendiri untuk program magister-nya.
Secara fisik buku ini menarik sekaligus mengandung misteri.
Biasanya untuk sampul buku dipilih kombinasi warna-warna cerah. Apalagi jika
buku tersebut membahas tentang fashion. Namun buku ini memiliki sampul berwarna
abu tua cenderung ke hitam, seolah-oleh menyembunyikan sebuah misteri yang akan
terkuak saat Anda membacanya. Cover yang menampilkan 2 perempuan dengan pakain
minim dan memakai high heels mengesankan seksi. Namun bila dilihat dari gestur
tubuh serta ekspresi wajah, seolah kedua perempuan tersebut berusaha
mengkomunikasikan sesuatu dalam diri mereka..
Buku
ini dicetak di atas kertas yang lumayan tebal dan kedap air jika dibandingkan dengan
buku kebanyakan. Sangat terkesan elegan dan mewah. Yang saya suka adalah adanya
beberapa ilustrasi cantik menghiasi pada beberapa ruas buku.
Pikiran positif
pada diri wanita adalah faktor utama untuk dapat mengendalikan tubuh sesuai
dengan keinginan isi kepala.
~ Fenomenologi
Perempuan Ber-high heels : 85 ~
Skor
:
4
dari 5 bintang
- Hana Aina -
Baca juga, ya ...
Selalu ada cerita dibalik suatu benda,,, tak terkecuali sepatu hight heels
BalasHapusIyes ^^
HapusWah. Saya termasuk perempuan yang berpantang pake hak tinggi. Kecuali kefefet
BalasHapusSenasib kita, Bu ^^
HapusJadi tahu tentang high heels.
BalasHapusKalau saya jadi pegel lihatnya..mencobanya? Pernaah dan akhirnya terkilirlah kaki..hikz
Hati-hati, Mbak. Latihan jalan dulu ^^
HapusReview nya kereen..
BalasHapusTerimakasih ^^
HapusBukunya bagus ya mba. Reviewnya mba juga kerennn
BalasHapusIya, Bun. Menambah wawasan ^^
HapusWeiss, bukunya pake pendekatan symbolic interaction theory. Sosiologi banget ya Mak... Nah kalo maslah high-heels, disini para cewek jagonya. Udah pada tinggi-tinggi haknya, jalannya juga cepet-cepet. Heran saya...
BalasHapusApa itu symbolic interaction theory? (^_^!)
HapusReviewnya bagus mbak :) seneng bacanya.
BalasHapusHihi saya udah tinggi, di lain kesempatan jg harus memakai heels. Malah bikin ngga pede :( karna terlalu tinggi diantara smua orang
Wah, mungkin bisa pakai heels yang nggak begitu tinggi ^^
Hapussaya punya bukunya tp blom selesai d baca
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusGak kuat dah kalo sama huuhuuu....
BalasHapus