Jumat, 05 Juni 2015

MAAFMU

“Terima kasih. Kau telah mempermudah jalanku,” suara David disusul tawa yang membahana.
Aku merasa bodoh sekarang. Pesona David telah memperdayaiku. Seharusnya aku tidak menghiraukan ajakan David untuk bersekongkol menjatuhkan kakakku, mengalahkannya dalam pencalonan ketua OSIS. Sikap licik David telah berhasil membuatnya kalah telak dengan suara hanya 181. Itu sangat jauh dibanding suara yang didapat David, 419 suara.
“Maafkan aku,” pintaku pada Kak Irfan yang duduk di depanku. Ia hanya tediam, menahan marah. “Aku tak bermaksud menjelek-jelekkan kakak,”
“Aku hanya kesal pada kakak karena tidak memasukkan aku sebagai tim sukses,”
“Kau tidak masuk saja telah berhasil membuat semuanya jadi berantakan, bagaimana kalau masuk, pasti semua hancur.”

Kak Irfan terdiam lalu membuang nafas panjang. Ia berdiri dan meninggalkanku dalam kedaan bersalah. Image yang ia bangun selama 3 tahun di SMU sebagai siswa teladan dan berprestasi aku runtuhkan begitu saja dalam sehari. Mungkin, tak akan ada pengampunan darinya, meski ribuan maaf telah aku lontarkan.
***
Pelantikan ketua OSIS segera dimulai. Semua murid berkumpul di lapangan layaknya upacara. Aku sengaja mengambil barisan paling depan agar aku bisa melihat dengan jelas wajah kemenangan David. Saat kepala sekolah mengumumkan ketua OSIS yang baru, David berjalan maju ke mimbar. Aku pun tak sabar mengikutinya maju ke depan.
“Rifka?” tanya kepala sekolah, heran melihatku maju ke depan. David yang berdiri di sampingku menahan amarah. Wajahnya merah padam.
“Maaf, Pak, jika saya lancang. Ijinkan saya berbicara sesuatu,” tanpa persetujuan kepala sekolah segera aku ambil mic.
“Pemimpin adalah teladan. Dia harus punya sikap yang jujur dan kesatria. Bukan pengecut dan licik,” mendadak aku seperti berorase di depan publik.
“Apa maksudmu?” tanya kepala sekolah, bingung dengan apa yang sebenarnya yang ingin aku katakan.
“David telah berbuat curang. Ia meminta saya untuk menfitnah calon ketua OSIS yang lain, Irfan Dwi Pratomo,” tak tahan rasanya aku menyimpan kebenaran itu sendiri. Aku ingin semua tahu bahwa desas desus yang mengatakan bahwa Kak Irfan pengguna narkoba adalah tidak benar.
“Kau memfitnah kakakmu sediri?” tanya kepala sekolah, tak percaya. Aku hanya mengangguk, penuh penyesalan.
“Bohong. Dia bohong, Pak,” David berusaha mengelak. “Jangan asal tuduh. Kalau tak punya bukti, itu fitnah,”
“Aku punya buktinya,” aku mengeluarkan ponsel dari saku baju. Memutar rekamannya lalau mendekatkannya ke mic agar semua mendengar.
Untung saat itu aku sempat merekam pembicaraan saat David memintaku membantunya melancarkan siasat liciknya. Sebagai gantinya, dia akan menjadikanku kekasihnya. Itulah kebodohanku. Tersihir oleh pesona ketampanan David, hingga mau melakukan apa saja untuknya.
“Itu suaramu, kan, David?” tanya kepala sekolah, mempertegas.
“Itu…” David kehilangan kata-katanya. Ia tak mampu lagi menutupi kebohongannya.
“Ya, benar. Itu suara David,” salah satu murid di barisan tengah tiba-tiba berteriak.
“Saya di sini untuk mengungkapkan kebenaran, sekaligus meminta maaf pada kak Irfan, kakak saya, calon ketua OSIS sekolah kita,” kataku, penuh harap kak Irfan mau memaafkan.
“Pemilihan harus diulang, Pak,” teriak murid yang lain.
“Setuju..!!!” murid-murid mulai ricuh.
“Baiklah. Meski kita telah kehilangan banyak waktu dan tenaga, tapi demi kejujuran dan sportifitas, akan diadakan pemilihan ulang besok pagi,” ujar kepala sekolah menenangkan.
***
“Kejujuran itu terkadang harus dibayar dengan mahal, ya,” kataku pada kak Irfan yang duduk di sampingku sambil menikmati es krim coklat yang mulai lumer. Siang itu, di warung belakang sekolah, terasa sejuk. Bukan hanya karena kami sedang menikmati es krim, tapi juga karena ketegangan di antar aku dan Kak Irfan mulai mencair.
“Apa kau tidak menyesal?” tanya kak Irfan. Pertanyaannya mengandung banyak makna untukku.
“Menyesal untuk apa?” tanyaku.
“Tidak jadi kekasihnya David,” jawab Kak Irfan sambi melirik ke arahku.
“Sepertinya lebih enak jadi adik kak Irfan dari pada kekasihnya David. Setiap hari ditraktir es krim,” kataku sambil terkekeh.
“Ih, maunya …”

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berbagi komentar ^^