Data Buku
Judul
: The Pajama Game
Penulis
: Eugenie Seifer Olson
Penerbit
:
Gramedia Pustaka Utama
Halaman
:
432 halaman
Tahun
terbit : 2009
Sinopsis
Rebecca
Brecker mengalami krisis percaya diri saat menjadi guru sains di sebuah sekolah
dasar. Dia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan
yang lain. Sekarang dia bekerja di sebuah toko pakaian di dalam sebuah mall
megah. Krisis percaya dirinya semakin memburuk hingga dia mengganti namanya dengan
Moxie. Dia juga menjadi pasien seorang Psikiater.
Aku
memakai nama Moxie sudah hampir 10 tahun, tapi kadang aku masih belum terbiasa
mendengarnya.
~Halaman 23~
Keseharian
Moxie disibukkan dengan menata berbagai berbagai macam barang yang harus dipajang
dan dijual di toko. Dia juga harus melayani pembeli dengan berbagai macam
karakter yang kebanyakan menyebalkan. Belum lagi dia harus berhadapan para
pengutil yang membuat supervisornya selalu ngomel tantang selisih jumlah barang
dengan stok di komputer.
Di sana, terlihat
Catherine. Sebetulnya bukan orang yang benar-benar bernama Catherine; itu hanya
kode yang diajarkan perusahaan kami untuk dipakai apabila kam menduga ada
seseorang yang sedang mengutil.
~Halaman 48~
Suatu
hari Moxie bertemu denganAllan. Dia adalah tipikal pelanggan setia. Secara
berkala Allan berbelanja di toko. Dia selalu meminta pendapat Moxie untuk
setiap hadiah yang dibelinya di toko untuk seseorang. Bagi Moxie, Allan adalah
pelanggan yang senantiasa dinanti. Meski dia lelaki, dia tak canggung masuk ke
toko yang menjual berbagai macam pakaian dalam wanita. Allan punya selera yang
bagus. Dan yang terpenting, dia tampan dan mempesona. Moxie tertarik pada
Allan. Lelaki bermata hijau itu merespon perasaannya. Beberepa kali mereka
berkencan, sekedar jalan-jalan atau juga makan malam.
Selama
beberapa hari berikutnya, aku menunggu-nunggu kehadiran Allan di toko.
~Halaman 57~
Kami
sedang berjalan santai menyusuri Newburry Street, dan aku berada dalam kondisi
kebahagiaan sempurna. Satu tanganku memegang cone es krim, sementara tangan
yang satu lagi sebentar-bentar bergesekan dnegan tangan Allan. Hal terbaiknya
adalah dari dalam tasku mencuat seikat bunag daisy gerbera warna permen yang
dibungkus 3 lapis plastik bening yang tadi diulurkan Allan dnegan malu-alu
padaku waktu kami bertemu di pojok jalan.
~Halaman 313~
Suatu
hari Moxie merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuhnya. Dia merasa sangat lelah,
sesekali demam, dan ngantuk yang sangat. Tapi Moxie tetap bertahan demi
kencannya dengan Allan. Moxie merelakan jam istirahatnya agar dapat waktu
ekstra. Dia menunggu Allan menjemputnya di depan mall. Lima menit, sepuluh
menit, setengah jam. Allan tak kunjung datang.
“Dia tidak
datang,” kataku, leherku tercekat. Suaraku bergetar dan lirih sementara air
mataku mulai mengalir.
~Halaman 345~
“Lalu
kenapa mengajakku makan malam? Atau pergi kemanapun kalau memang begitu,
Allan?” tanyaku parau.
~Halaman 360~
Perpaduan
rasa kecewa yang sangat dengan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk, akhirnya
Moxie pingsan. Dia dibawa ke rumah sakit. Dari gejala yang didapat, dokter mendiagnosanya
dengan penyakit Lupus.
“Kenapa
tidak ada yang bisa tahu aku menderita penyakit apa padahal gejalaku begitu
banyak?”
~Halaman 355~
“Kalau
gejalanya datang dan pergi, dan kau menemui dokter-dokter yang berlainan, tidak
akan ada yang dapt gambaran penyakit secara utuh.”
~Halaman 356~
Di
saat Moxie sedang dalam proses bertahan dari penyakitnya, hubungannya dengan
Allan merenggang. Disaat bersamaan Steve, teman seapartemen Moxie, mulai
memberikan perhatian lebih. Awalnya Moxie mengira Steve adalah seorang
kriminal. Ini beralasan, karena penampilannya yang mengerikan.
Tapi ciri
khasnya yang paling menarik perhatian adalah daun telinga yang sobek dan dua
bekas luka kemerahan yang memanjang di lehernya, dimulai dari bawah daun
telinga koyak itu di sebelah kanan dan lurus sampai ke atas tulang selangka di
sebelah kiri.
~Halaman 55~
“Biar aku
yang ambil,” Steve menawarkan. “Kan aku sudah bilang kau bisa
menyuruh-nyuruhku, dan kelihatannya ini tugas yang cukup bagus.”
~Halaman 374~
Review
Awal
saya menemukan novel ini adalah saat salah satu penyewaan buku di kota saya
tutup. Dia menjual semua buku koleksinya dengan sangat murah. Tentu saya tidak
mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ada beberapa buku yang saya beli. Salah
satunya adalah novel ini.
Membaca
novel karya Eugenie Seifer Olson ini memang membutuhkan kesabaran ekstra. Di
bagian awal dari kisah hidup Moxie memang diceritakan sedikit membosankan.
Ceritanya hanya berkutat tentang keseharian Moxie di toko tempatnya bekerja,
tugas-tugas yang harus di lakukan, konfliknya dengan teman sekerja. Ini
menjadikan ceritanya berjalan lambat. Hampir saya menyerah membacanya. Sempat
saya tinggal beberapa minggu, namun akhirnya saya baca kembali dan
menyelesaikannya.
Novel
bersampul hijau baby muda ini mengisahkan tentang Moxie yang mengalami krisis
kepercayaan diri. Sering berganti nama hingga akhirnya dia nyaman dnegan nama
Moxie. Dulu dia adalah seorang guru, namuan akhirnya berganti pekerjaan menjadi
pelayan toko. Ini juga yang membuat Moxie terkadang merasa perubahan hidupnya
sangat drastis.
Ngomong-ngomong
soal berganti nama, ada beberapa orang yang juga melakukannya. Ada yang
benar-benar berganti nama hingga sampai ke semua urusan administrasi, ada juga
yang hanya menggunakan nama alias. Alasannya pun bermacam. Seperti Moxie,
misalnya. Dia merasa kurang nyamana dengan nama yang diberikan orang tuanya.
Ada juga yang melakukannya dengan alasan sebagai penanda perubahan dalam
hidupnya. Semisal, dia punya masa lalu yang kelam dan kini sudah memperolah
pencerahan, kemudian dai berganti nama. Selain itu, ada juga yang melakukannya
dengan alasan bisnis, agar namanya lebih menjual.
Dalam
ceita ini, saya kurang suka dengan tokoh Allan, lelaki yang mampu menarik hati
Moxie. Bagi saya, Allan adalah lelaki yang kurang tegas dalam bersikap. Ini
yang membuat Moxie kecewa. Hingga membuat hubungan mereka merenggang.
Kisah
romantisme yang disajikan dalam novel The
Pajama Game menjadikannya tergolong novel dewasa. Ada kalimat-kalimat
menggoda di dalamnya. Ada juga beberapa kata kasar dan umpatan sehingga kurang
cocok untuk remaja.
Saya
berusaha berpikir positif saat membaca kembai novel ini hingga akhirnya
selesai. Di tengah-tengah cerita, saya mulai mendapatkan nyawa dari cerita ini.
Terutama kisah persahabatan antara Moxie dengan Gerard, seorang lelaki yang
bekerja di toko parfum. Mereka bekerja di mall yang sama. Mereka berdua begitu
kompak. Ada juga pertemanan antara Moxie dengan Sue, seorang pekerja kebun
binatang dimana Moxie biasa menyendiri untuk menenangkan diri. Begitu pula
dengan Joe, seorang lelaki tua yang memiliki toko mainan di seberang jalan
apartemen Moxie.
Dari
cerita ini pula, saya kembali diingatkan untuk tidak menilai seseorang dari luarnya.
Seperti Steve yang awalnya dikira adalah seorang kriminal, tapi ternyata adalah
seorang sarjana komputer sekaligus seorang seniman. Pun Catherine si pengutil
yang memberikan sedikit kebahagiaan kepada para narapidana perempuan lewat
berbagai macam pakaian dalam cantik. Bahkan pada akhirnya Moxie menjulukinya
sebagai Robin Hood.
Skor :
3
dari 5 bintang
- Hana Aina -
Baca juga, ya ...
kalau dari jumlah halaman, tebal ya...tapi ukutan besar bukunya 1/4 folio atau setengah folio, Mbak? teruuuss kok harganya murah bingitttz ruhh...limaribu? #komentargagalfokus
BalasHapusHaha ...
HapusItu buku pinjam di perpus, Bu ^^
wah kalo aku mungkin gak bakal selesai tu baca novelnya soalnya aku orangnya kurang sabar haha .
BalasHapusUntungnya saya sabar ya orangnya. Jadi tetap bertahan untuk membaca :D :D
HapusKalau aku buku tebal nggak masalah sih mbak, yang penting cerita awalnya menarik... kalau awalnya kurang, biasanya agak males sih hehe
BalasHapusBenar juga. Untung saya baca ulang. Eman-eman, sudah dibeli tapi nggak dibaca ^^
Hapus