Laman

Jumat, 06 Januari 2017

[BOOK REVIEW] : THE PAJAMA GAME


Data Buku
Judul              :      The Pajama Game
Penulis           :      Eugenie Seifer Olson
Penerbit         :      Gramedia Pustaka Utama
Halaman        :      432 halaman
Tahun terbit   :      2009

Sinopsis
Rebecca Brecker mengalami krisis percaya diri saat menjadi guru sains di sebuah sekolah dasar. Dia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan yang lain. Sekarang dia bekerja di sebuah toko pakaian di dalam sebuah mall megah. Krisis percaya dirinya semakin memburuk hingga dia mengganti namanya dengan Moxie. Dia juga menjadi pasien seorang Psikiater.

Aku memakai nama Moxie sudah hampir 10 tahun, tapi kadang aku masih belum terbiasa mendengarnya.
~Halaman 23~

Keseharian Moxie disibukkan dengan menata berbagai berbagai macam barang yang harus dipajang dan dijual di toko. Dia juga harus melayani pembeli dengan berbagai macam karakter yang kebanyakan menyebalkan. Belum lagi dia harus berhadapan para pengutil yang membuat supervisornya selalu ngomel tantang selisih jumlah barang dengan stok di komputer.

Di sana, terlihat Catherine. Sebetulnya bukan orang yang benar-benar bernama Catherine; itu hanya kode yang diajarkan perusahaan kami untuk dipakai apabila kam menduga ada seseorang yang sedang mengutil.
~Halaman 48~

Suatu hari Moxie bertemu denganAllan. Dia adalah tipikal pelanggan setia. Secara berkala Allan berbelanja di toko. Dia selalu meminta pendapat Moxie untuk setiap hadiah yang dibelinya di toko untuk seseorang. Bagi Moxie, Allan adalah pelanggan yang senantiasa dinanti. Meski dia lelaki, dia tak canggung masuk ke toko yang menjual berbagai macam pakaian dalam wanita. Allan punya selera yang bagus. Dan yang terpenting, dia tampan dan mempesona. Moxie tertarik pada Allan. Lelaki bermata hijau itu merespon perasaannya. Beberepa kali mereka berkencan, sekedar jalan-jalan atau juga makan malam.

Selama beberapa hari berikutnya, aku menunggu-nunggu kehadiran Allan di toko.
~Halaman 57~

Kami sedang berjalan santai menyusuri Newburry Street, dan aku berada dalam kondisi kebahagiaan sempurna. Satu tanganku memegang cone es krim, sementara tangan yang satu lagi sebentar-bentar bergesekan dnegan tangan Allan. Hal terbaiknya adalah dari dalam tasku mencuat seikat bunag daisy gerbera warna permen yang dibungkus 3 lapis plastik bening yang tadi diulurkan Allan dnegan malu-alu padaku waktu kami bertemu di pojok jalan.
~Halaman 313~

Suatu hari Moxie merasakan sesuatu yang aneh dalam tubuhnya. Dia merasa sangat lelah, sesekali demam, dan ngantuk yang sangat. Tapi Moxie tetap bertahan demi kencannya dengan Allan. Moxie merelakan jam istirahatnya agar dapat waktu ekstra. Dia menunggu Allan menjemputnya di depan mall. Lima menit, sepuluh menit, setengah jam. Allan tak kunjung datang.

“Dia tidak datang,” kataku, leherku tercekat. Suaraku bergetar dan lirih sementara air mataku mulai mengalir.
~Halaman 345~

“Lalu kenapa mengajakku makan malam? Atau pergi kemanapun kalau memang begitu, Allan?” tanyaku parau.
~Halaman 360~

Perpaduan rasa kecewa yang sangat dengan kondisi tubuhnya yang semakin memburuk, akhirnya Moxie pingsan. Dia dibawa ke rumah sakit. Dari gejala yang didapat, dokter mendiagnosanya dengan penyakit Lupus.

“Kenapa tidak ada yang bisa tahu aku menderita penyakit apa padahal gejalaku begitu banyak?”
~Halaman 355~

“Kalau gejalanya datang dan pergi, dan kau menemui dokter-dokter yang berlainan, tidak akan ada yang dapt gambaran penyakit secara utuh.”
~Halaman 356~

Di saat Moxie sedang dalam proses bertahan dari penyakitnya, hubungannya dengan Allan merenggang. Disaat bersamaan Steve, teman seapartemen Moxie, mulai memberikan perhatian lebih. Awalnya Moxie mengira Steve adalah seorang kriminal. Ini beralasan, karena penampilannya yang mengerikan.

Tapi ciri khasnya yang paling menarik perhatian adalah daun telinga yang sobek dan dua bekas luka kemerahan yang memanjang di lehernya, dimulai dari bawah daun telinga koyak itu di sebelah kanan dan lurus sampai ke atas tulang selangka di sebelah kiri.
~Halaman 55~

“Biar aku yang ambil,” Steve menawarkan. “Kan aku sudah bilang kau bisa menyuruh-nyuruhku, dan kelihatannya ini tugas yang cukup bagus.”
~Halaman 374~

Review
Awal saya menemukan novel ini adalah saat salah satu penyewaan buku di kota saya tutup. Dia menjual semua buku koleksinya dengan sangat murah. Tentu saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ada beberapa buku yang saya beli. Salah satunya adalah novel ini.
Membaca novel karya Eugenie Seifer Olson ini memang membutuhkan kesabaran ekstra. Di bagian awal dari kisah hidup Moxie memang diceritakan sedikit membosankan. Ceritanya hanya berkutat tentang keseharian Moxie di toko tempatnya bekerja, tugas-tugas yang harus di lakukan, konfliknya dengan teman sekerja. Ini menjadikan ceritanya berjalan lambat. Hampir saya menyerah membacanya. Sempat saya tinggal beberapa minggu, namun akhirnya saya baca kembali dan menyelesaikannya.
Novel bersampul hijau baby muda ini mengisahkan tentang Moxie yang mengalami krisis kepercayaan diri. Sering berganti nama hingga akhirnya dia nyaman dnegan nama Moxie. Dulu dia adalah seorang guru, namuan akhirnya berganti pekerjaan menjadi pelayan toko. Ini juga yang membuat Moxie terkadang merasa perubahan hidupnya sangat drastis.
Ngomong-ngomong soal berganti nama, ada beberapa orang yang juga melakukannya. Ada yang benar-benar berganti nama hingga sampai ke semua urusan administrasi, ada juga yang hanya menggunakan nama alias. Alasannya pun bermacam. Seperti Moxie, misalnya. Dia merasa kurang nyamana dengan nama yang diberikan orang tuanya. Ada juga yang melakukannya dengan alasan sebagai penanda perubahan dalam hidupnya. Semisal, dia punya masa lalu yang kelam dan kini sudah memperolah pencerahan, kemudian dai berganti nama. Selain itu, ada juga yang melakukannya dengan alasan bisnis, agar namanya lebih menjual.
Dalam ceita ini, saya kurang suka dengan tokoh Allan, lelaki yang mampu menarik hati Moxie. Bagi saya, Allan adalah lelaki yang kurang tegas dalam bersikap. Ini yang membuat Moxie kecewa. Hingga membuat hubungan mereka merenggang.
Kisah romantisme yang disajikan dalam novel The Pajama Game menjadikannya tergolong novel dewasa. Ada kalimat-kalimat menggoda di dalamnya. Ada juga beberapa kata kasar dan umpatan sehingga kurang cocok untuk remaja.
Saya berusaha berpikir positif saat membaca kembai novel ini hingga akhirnya selesai. Di tengah-tengah cerita, saya mulai mendapatkan nyawa dari cerita ini. Terutama kisah persahabatan antara Moxie dengan Gerard, seorang lelaki yang bekerja di toko parfum. Mereka bekerja di mall yang sama. Mereka berdua begitu kompak. Ada juga pertemanan antara Moxie dengan Sue, seorang pekerja kebun binatang dimana Moxie biasa menyendiri untuk menenangkan diri. Begitu pula dengan Joe, seorang lelaki tua yang memiliki toko mainan di seberang jalan apartemen Moxie.
Dari cerita ini pula, saya kembali diingatkan untuk tidak menilai seseorang dari luarnya. Seperti Steve yang awalnya dikira adalah seorang kriminal, tapi ternyata adalah seorang sarjana komputer sekaligus seorang seniman. Pun Catherine si pengutil yang memberikan sedikit kebahagiaan kepada para narapidana perempuan lewat berbagai macam pakaian dalam cantik. Bahkan pada akhirnya Moxie menjulukinya sebagai Robin Hood.

Skor :
3 dari 5 bintang


- Hana Aina -


Baca juga, ya ...

6 komentar:

  1. kalau dari jumlah halaman, tebal ya...tapi ukutan besar bukunya 1/4 folio atau setengah folio, Mbak? teruuuss kok harganya murah bingitttz ruhh...limaribu? #komentargagalfokus

    BalasHapus
  2. wah kalo aku mungkin gak bakal selesai tu baca novelnya soalnya aku orangnya kurang sabar haha .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untungnya saya sabar ya orangnya. Jadi tetap bertahan untuk membaca :D :D

      Hapus
  3. Kalau aku buku tebal nggak masalah sih mbak, yang penting cerita awalnya menarik... kalau awalnya kurang, biasanya agak males sih hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar juga. Untung saya baca ulang. Eman-eman, sudah dibeli tapi nggak dibaca ^^

      Hapus

Terimakasih telah berbagi komentar ^^