Selasa, 01 September 2015

JEJAK SANG HITAM


         Bel pulang berdering. Ku masukkan semua buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Aku pulang lewat gerbang belakang. Kulihat Aldi bersama beberapa temannya sibuk bergerombol. Entah apa yang sedang mereka lakukan. Aku terus berjalan melewati mereka, menuju ke halte bus yang ada di jalan Slamet Riyadi. Sebuah bus berhenti, aku masuk ke dalamnya.
Perlahan bus bergerak menuju ke bunderan Gladag. Aku duduk di samping jendela. Ku lihat keluar, lalu lintas mendadak ramai. Beberapa anak sekolah dengan berkendara motor keluar dari gang sekolahku, lalu berarak searah dengan bus yang ku tumpangi. Mereka memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi, lalu menghilang di keramaian lalu lintas.
Hampir mendekati bunderan Gladag, mendadak busku berhenti. Seorang pengguna jalan meminta sopir untuk berputar. Dari penjelasan yang ku dengar, ada tawuran di sana. Aku coba melihat dari kaca jendela, tapi kacanya tak bisa ku buka. Aku putuskan turun, lalu berjalan mendekati tempat kejadian.
Dari kejauhan, pertigaan Gladag berubah seperti medan pertempuran. Banyak batu melayang. Dua belah kubu merangsek maju tak mau kalah. Kuperhatikan salah satu kubu, mereka mengenakan seragam batik yang sama denganku. Kurapatkan jaket hingga menutup semua seragamku. Kulihat dari kejauhan mereka terus berperang batu, beberapa senjata tajam pun beradu.
Saat aku ingin melihat lebih dekat lagi, seseorang menarik perhatianku. Aldi, ia ada di antara mereka. Ku coba mengingat kembali kejadian sebelumnya. Mungkinkah Aldi tadi sedang mempersipkan diri untuk tawuran?!
Aku merapat pada pohon besar di samping trotoar jalan. Ada sosok lain didepanku, ia memunggungiku. Aku coba mengintai. Sepertinya aku mengenalnya. Ia menatap tajam medan pertempuran, bahkan matanya tak berkedip. Sedangkan di sana polisi sibuk melerai, hingga akhirnya dikeluarkan tembakan peringatan. Siswa yang tawuran kocar kacir melarikan diri. Namun beberapa diantaranya tertangkap petugas.
Syukurlah cepat selesai, kataku dalam hati. Kembali ku lihat sosok di depanku. Ia membalikkan badan. Wajahnya tampak kecewa. Ia berjalan mendekat, tampak jelas wajahnya olehku.
“Alex?” Spontan aku memanggilnya, dan itu membuatnya kaget. Seketika wajah dinginnya muncul. Beberapa saat, ia hanya menatapku tajam, lalu berlalu bagitu saja. Tatapannya membuatku begidik. Benar-benar tatapan mata yang dingin, menakutkan.
***
Aku menanti Aldi di depan gerbang sekolah, namun tak kunjung ku temukan. Sosoknya baru muncul ketika jarum menunjukkan tepat pukul tujuh. Ia datang terlambat dan tampak kacau, rambut acak-acakan. Ia seperti bukan Aldi yang ku kenal. Aku dan Aldi berteman sejak kecil, bahkan kami bertetangga. Orang tua kami pun berteman baik. Aldi yang dulu adalah anak yang pandai, selalu juara kelas. Namun akhir akhir ini Aldi berubah. Sering bolos, tidak mengerjakan PR bahkan nilainya hancur. Aku sering mencuri dengar saat ibu Aldi sharing dengan ibuku, bagaimana perubahan sikap Aldi yang temperamen, mudah tersinggung dan marah. Dan itu menjadi alasan kuat bagiku untuk mencari tahu, apa yang menyebabkan Aldi berubah.
Ketika jam istirahat, aku berusaha mengutit Aldi. Ku lihat ia bersama dengan Alex, hanya berdua, di belakang sekolah. Sepertinya mereka terlibat pembicaraan serius. Alex memegang pundak Aldi. Ku lihat Aldi menatap tajam ke mata Alex. Mata Alex berubah menghitam. Berkilau. Lama mereka saling menatap. Sesaat kemudian Aldi tampak gontai dan hampir terjatuh. Tapi Alex menahannya, lalu meninggalkanya. Aldi masih berdiri mematung, tampak linglung. Aku coba mendekat. Ku tepuk bahunya. Ia terkejut, lalu melihat pada tanganku. “Kau mau apa?”
“Tadi ibumu ke rumahku. Kau sudah tidak pulang beberapa hari.”
“Itu bukan urusanmu.” Aldi ketakutan.
“Tapi ibumu cemas.” Aldi menjauh dariku, sambil sesekali melihat ke tanganku. Ia berlari menuju kelas. Ku coba mengikuti.
Kelas terdengar riuh. Beberapa teman sedang adu mulut. Ku perhatikan dengan seksama. Akhir-akhir ini aura di kelas ini berubah. Sama seperti sikap anak-anak di kelas ini. Mereka mudah tersinggung dan marah. Tak jarang mereka brutal. Bagaimana jika kegelapan memang ada di kelas ini. Aku berpikir untuk  mengeluarkan sedikit kekuatan. Kekuatanku yang tak akan bereaksi dengan siapapun kecuali, orang tersebut menyimpan kekuatan hitam. Tapi mungkinkah?!
Suara mereka yang beradu mulut semakin tinggi dan penuh emosi. Ini membuatku semakin bingung. Tanpa ku sadari aku bertabrakan dengan Amel, murid paling manis dan paling pendiam di kelas ini. Amel terjatuh. Aku minta maaf. Tapi Amel tampak marah, bahkan ia memakiku. Tak pernah Amel bersikap seperti ini. Ku pegang tangannya, mencoba membantunya berdiri, tapi Amel malah menjerit. Ia merangkak mundur ketakutan.
Sekarang aku yakin, ada yang tidak beres dengan semua penghuni kelas ini. Bahkan murid yang tadinya hanya adu mulut, sekarang mereka adu jotos. Tak ada satu pun yang berusaha melerai. Bahkan mereka memberi semangat seperti sedang ada pertandingan. Mereka sedang diadu selayaknya hewan.
Aku coba mendekat untuk melerai. Kali ini aku yakin ada kekuatan hitam bersama mereka. Tak banyak kekuatan yanga akan ku keluarkan, hanya seperlunya saja untuk menyadarkan, karna pada dasarnya mereka adalah manusia. Bukan mereka yang musti dimusnahkan, tapi cukup kekuatan itu saja.
Ku sibak kerumunan. Tangan ku telah siap melerai mereka yang tengah bergumun, adu jotos. Sedikit lagi tanganku menyentuh mereka, tapi buru-buru ditepis oleh Alex. Aku melihat ke arah Alex. Dia menatapku tajam. Ku lihat pada teman yang lain, mereka pun serupa. Seolah memandangku dengan kebencian. Aku mundur, bergegas keluar kelas. Pemandangan yang sama di luar kelas. Kenapa semua murid memandangku dengan tatapan menakutkan seperti itu. Sepertinya mereka ingin menerkamku.
Aku berlari menghindar dari tatapan-tatapan itu. Jantungku berdegub kencang. Aku berhenti di aula, lalu mengatur nafas. Tak satu pun orang di sini. Ya Tuhan, apa yang terjadi. Aku lari seperti pengecut. Bukankah seharusnya ku sentuh mereka dengan cinta dan kasih sayang.
Huffhh… Ku berjalan sekeliling, sepi. Ku buka pintu aula, lalu melangkahkan kaki masuk ke dalamnya. Ku melangkah ke tengah. Aneh, kurasakan sebuah kekuatan besar menyelimuti sekitar. Tanganku bersinar. Sesosok bayangan muncul di belakangku. Dengan cepat aku menoleh ke belakang. “Alex?!”
Sekonyong-konyong Alex ada di hadapanku. Dari mana dia datang?! Aku yakin sudah mengunci pintunya, dan hanya itu pintu satu-satunya untuk masuk ke aula ini. Dia mendekat ke arahku. Tak ingin sesuatu terjadi, aku pun mundur. Tiba-tiba asap putih muncul di sekitarku. Teman-teman sekolah bermunculan satu persatu, menembus dindin aula. Ah, pantas saja pintu masih tertutup rapat ketika Alex datang, rupanya mereka mampu ber telekinesis.
Aku terdesak, di antar Alex dan temen-teman sekolah yang kini sudah berubah menjadi, seperti zombie, berjalan gontai, kaku dan tatapan mata kosong. Alex semakin mendekat ke padaku, bahkan sangat dekat. Ia menatapku, matanya berubah menghitam, mengkilat. Aku rasakan sebuah energi menyergapku. Suara-suara aneh bergema di telingaku. Alex berusaha menghipnotis aku. Energinya terus mendesakku. Jantungku berdegub kencang, nafaku tercekat. Aku merasa pening dan hampir roboh. Secara reflek tanganku menyentuh tubuh Alex. Alex tersentak. Kilatan hitam di mata nya sirna seketika. Alex melangkah mundur.
“Siapa kau sebenarnya?” Alex menatap lurus ke arahku.
“Almira. Apa kau tak mengenalku?” Suaraku bergetar.
“Hmm, Almira. Atau mungkin, aku bisa memanggilmu Fairylove.” Alex memberikan tekanan pada kata-kata terakhirnya.
“Terserah, tak masalah.” Aku berusaha untuk terlihat tegar.
Alex terdiam sejenak. “Aku benci kebaikan. Aki benci kasih sayang. Aku benci cinta. Karna itu hanya akan melemahkan kekuatanku. Kekuatan kegelapan.”
“Ow, jadi itu alasanmu, menghilangkan kebaikan dari orang-orang ini, lalu mengubahnya menjadi jahat menjadi brutal.”
“Hahaha…” Alex tertawa, suaranya membahana.
“Semakin banyak kejahatan dan kebencian yang terjadi, aku akan semakin kuat.” Lanjut Alex.
“Lihatlah mereka, teman-temanmu. Kalau kau memang peri penyayang, coba hentikan mereka.” Alex tersenyum sinis.
Aku berbalik ke arah teman-temanku. Mereka mulai meraung. Aku coba untuk tenang. Aku ayunkan tangan ke depan, konsentrasi penuh untuk memusatkan energi. Savastarpikerska. Tanganku mulai memutih , lalu bercahaya. Pancarannya mulai mengena ke mereka. Ku alirkan energi positif. Mereka mulai silau, lalu berteriak kesakitan. Ini berarti kekuatanku mulai bekerja. Sekonyong-konyong cahaya hitam keluar dai tubuh mereka satu persatu. Teriakan kesakitan semakin keras. Tapi aku merasakan ada yang tidak beres. Aku merasakan lelah. Ini terlalu banyak, mereka menguras tenagaku. Aku mulai melemah. Tapi aku tetap berusaha fokus.
“Argghhh…!!!” Ku paksakan terus agar energiku keluar. Hingga satu persatu mereka tumbang, pingsan. Hingga akhirnya, aku pun terjatuh lemas, tersungkur di lantai. Aku melihat pada Alex. Sepertinya dia sangat menikmati pertempuran ini.
“Aha, hanya sebegitukah kekuatanmu?” Alex melepaskan lipatan tangannya di dada. Lalu mengarahkan tangan kangannya lurus ke arahku. Sesuatu serasa mencekik leherku. Aku tak mampu melihat apa itu, aku hanya mampu merasakan semakin tercekik. Sepertinya ia melakukan teleportasi padaku. Alex tak berani bersentuhan langsung denganku.
Perpanjangan tangan Alex mengangkatku tinggi, kakiku melayang di atas tanah, lalu melemparku ke dinding. Kurasakan benturan hebat di punggungku, kepalaku sedikit pening. Dalam keadaan lemah aku berusaha bangkit, tapi sekali lagi Alex mengangkatku tinggi. Tapi kali ini ia merapatkan tubuhku ke tembok.
“Ckckck… Ternyata, tak sesulit yang ku bayangkan.” Alex mendekat padaku.
“Almira yang baik hati… Almira yang suka menolong… Almira yang tidak sombong… Aku muak..!!!” Alex membentak. Tangannya mencengkram lebih kuat. Kali ini aku benar-benar tak bias bernafas. Aku coba meraba-raba tembok sekitarku. Ada sebauh lukisan di belakang kepalaku. Aku berusaha melepasnya. Terus ku tarik, dan akhirnya…
“Aarghh…” Ku lempar lukisan itu ke arah Alex, tepat mengenai wajahnya. Seketika itu pula perpanjangan tangan Alex melepaskan cengkramannya. Aku terjatuh ke lantai. Badanku terasa sakit tapi ku paksakan untuk bangkit. Meslimesta. Aku rasakan tenagaku seperti hempasan gelombang, menyapu Alex hingga terpental ke rak. Seketika itu pula rak roboh dan menimbunnya.
Dalam langkah gontai, aku mendekat padanya. Aku mulai mengatur nafas, lalu memfokuskan kekuatanku. Hanya untuk berjaga-jaga kalau Alex tiba-tiba saja bangkit dan menyerangku. Alex bergerak dari dalam tumpukan. Tapi ia tak bisa berbuat apapun karna tubuhnya tertindih rak paling besar. Hanya kepala dan salah satu tangannya saja yang terlihat.
Alex melihat ke arahku yang berdiri di depannya.”Ayo, bunuh aku!” Kulihat darah segar mengalir di wajahnya.
“Kau, manusia?”
“Kenapa? Kau tak tega menyakitiku kan?” Suara Alex mengejekku. “Hahaha… Kekuatanmu adalah kelemahanmu.”
Sejenak kata-kata Alex terngiang di kepalaku. Benarkah?! Cahaya di tanganku meredup. Perlahan tanganku turun. Sejenak aku bimbang. Dan rupanya, itu terbaca oleh Alex. Dari satu tangannya, mendadak, ia melancarkan serangan ke arahku. Namun tingkat kewaspadaanku masih tinggi. Sebelum serangannya mengenaiku, ku lakukan eksekusi akhir. Sippliciador.
Seranganku mengenai Alex. Puing-puing beterbangan. Sedangkan tubuh Alex terseret mundur hingga menghantam tembok, lalu mengejang. Perlahan cahaya hitam keluar dari tubuhnya. Cahaya yang sama dengan temen-teman yang lain, hanya saja intensitasnya lebih pekat. Alex mengerang kesakitan, sesaat kemudian berteriak. “Arrgghh..!!”
 Aku berlari mendekat. Alex tertelungkup, pingsan. Berceceran darah di sekitarnya. Ku coba balikkan badannya.
“Aaa..” Aku merangkak mundur. Sebuah kristal menyilaukanku, dan membuatku terbakar. Seperti inikah rasanya, saat Alex dan teman-teman yang lain menyentuhku?!
***
            Di selasar rumah sakit, ibu Aldi menunggu di depan bangsal.
            “Masuklah, Aldi sudah siuman.” Aku tersenyum, lalu masuk ke kamar perawatan. Ku lihat Aldi sedang duduk santai, punggungnya bersandar pada tumpukan bantal.
            “Nasi liwet.” Aku pamerkan bungkusan daun pisang, lalu meletakkannya di meja. Aldi menatapku lama, dan itu membuatku tidak enak.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Akhirnya Aldi bersuara.
“Kau tak masuk kelas beberapa hari, hingga para guru menanyakanmu padaku.”
“Kenapa bias begitu?” Aku berpikir. Aldi sedang bercanda, atau memang tidak ingat apa yang terjadi. Aku bingung menjawabnya. Tapi untungnya, aku terselamatkan oleh dokter yang datang untuk mengecek kesehatannya.
Aku pamit undur diri. Dan ketika aku melewati ruang perawatan Alex, aku beranikan diri untuk masuk, Alex sedang berbaring di tempat tidurnya.
“Dari mana kau dapatkan kristal itu?” Akhirnya, pertanyaan itu keluar juga dari mulutku.
“Petir itu, ia yang mengirimkannya padaku.” Alex bercerita asal mula kekuatannya. Dari semuanya, hanya Alex yang masih ingat kejadian itu. Apakah karena Alex awal dari semua?!
Dalam perjalanan pulang, ku nikmati pemandangan malam jalan Slamet Riyadi dari balik jendela taksi. Di sepanjang kanan kirinya dipenuhi pedagang kaki lima dengan menu kulinernya, dengan konsep lesehan khas Solo. Taksi berhenti di pertigaan Gladag. Ku buka pintu perlahan, lalu keluar, memandang patung Slamet Riyadi berdiri kokoh di depanku. Sedang di belakangku, semburan air mancur yang melingkar memercikan air hingga ke jalan. Aku berjalan menuju sebuah lapangan. Jika memang petir itu yang membawa kekuatan hitam ini, maka ia pula yang harus mengambilnya.
Hujan merinai dan semakin deras. Ku ambil kristal hitam dari kotak penyimpanan, lalu meletakkannya di tengah lapangan. Aku berlari menepi, tanganku melepuh.

Kristal itu bersinar terang mengundang petir menyambar bersahutan. Hingga petir terbesar menyambar tanah. Ledakan cahaya terjadi. Kristal hitam lenyap seketika. Tak ada jejak sedikit pun. Ku lihat langit, mendadak cerah penuh bintang. Akankah semua kembali seperti semula?! Hati yang penuh sayang dan cinta?! Semoga.


2 komentar:

Terimakasih telah berbagi komentar ^^